RSS

Proposal ilmiah tentang rokok

Industri Rokok dan Pembangunan Desa:
Eksistensi Pabrik Rokok Subur Terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi
Masyarakat Desa Astanalanggar Kabupaten Cirebon Tahun 1971-2009

Oleh
Rifky Azhari
0705447



1. Latar Belakang Masalah Penelitian
Dewasa ini kemiskinan semakin marak saja terdapat di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (http://www.bps.go.id/), presentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5% atau 34,5. Hal ini sangat kontras sekali dengan cita-cita bangsa yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan bahwa Indonesia ingin menjadi negara yang adil dan makmur. Dengan banyaknya angka kemiskinan di Indonesia, secara otomatis akan memperlambat proses pembangunan di negara tersebut.
Berbagai program telah dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk menaggulangi semakin meluasnya kemiskinan tersebut, salah satunya adalah pengembangan perekonomian dengan pendekatan “dari bawah” (http://www.menkokesra.go.id). Dengan cara seperti ini, pembangunan di setiap daerah akan lebih merata. Karena dengan pendekatan tersebut, pembangunan tidak lagi terfokus kepada daerah perkotaan saja. Dengan demikian diharapkan setiap daerah mampu untuk mengoptimalkan potensi perekonomian yang ada di daerahnya masing-masing, sehingga pemerataan kesejahteraan penduduk pun akan lebih merata. Terdapat dua kata kunci dalam pembangunan daerah tersebut, yaitu pembangunan daerah disesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah masing-masing dan adanya keseimbangan pembangunan antar daerah. Dalam implementasinya, bermacam cara telah dilakukan, seperti pengembangan industri di desa-desa baik itu industi rumah tangga maupun industri kecil.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan industri daerah sangat berperan besar dalam pembangunan perekonoman dan pembangunan di daerah tersebut, termasuk industri kecil. Dengan adanya industri kecil di daerah tersebut, maka masyarakat akan terserap sebagai tenaga kerja, sehingga angka kemiskinan dapat ditekan. Demi kelancaran program tersebut diperlukan suatu kebijakan strategis yang mampu mendorong berkembangnya industri kecil, khususnya yang terdapat di pedesaan.
Pemerintah sudah berupaya agar pertumbuhan industri kecil di setiap tingkat terus meningkat setiap tahunnya. Salah satu kebijakan pemerintah tersebut dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) no 10 tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah, serta Undang-Undang no 9 tahun 1995 tentang usaha kecil. Dengan peraturan itu, maka pemerintah berupaya untuk memberdayakan usaha menengah agar nantinya merka dapat berkembang dan meningkat jumlahnya menjadi usaha yang tangguh, mandiri dan unggul serta mempunyai daya saing yang tinggi baik dalam negeri maupun luar negeri. Peraturan ini berlaku untuk semua industri yang terdapat di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah industri rokok.
Terdapatnya perubahan orientasi industri, dimana tidak hanya fokus di daerah perkotaan tetapi juga mulai melihat potensi desa untuk mendirikan industrinya. Hal itu juga terjadi di Kabupaten Cirebon. Di Kabupaten Cirebon sendiri banyak terdapat industri rokok, khususnya industri rokok kretek. Tercatat 61 pabrik rokok kretek yang tersebar di 6 kecamatan dan 9 desa di Kabupaten Cirebon (Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Cirebon, 2009: 1-2). Maraknya industri rokok di Kabupaten Cirebon ini tentu saja membawa konsekuensi terhadap dinamika sosial-ekonomi desa yang ada di wilayah tersebut. Memang jika dilihat secara geografis, kondisi alam di Kabupaten Cirebon sendiri dinilai sangat startegis sebagai daerah indstri rokok. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, serta Kota Cirebon sendiri sangat strategis untuk daerah pemasarannya.
Kondisi geografis Kabupaten Cirebon yang merupakan dataran rendah, maka sebagian besar mata pencaharian warganya adalah sebagai petani dan buruh tani dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dilihat dari penghasilan para petani dan buruh tani, setidaknya penghasilan tersebut belum dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan hidup masyarakat Kabupaten Cirebon. Mengingat hasil panen pada umumnya rata-rata hanya dapat dilaksanakan dua kali dalam setahun. Oleh karena itu, kehadiran industri rokok diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan dalam menunjang kebutuhan hidup masyarakat Kabupaten Cirebon.
Begitu pula yang terjadi di Desa Astanalangga Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon. Pekerjaan masyarakat di desa tersebut mayoritas adalah petani dan buruh tani harus tunjang dengan usaha lainnya. Mengingat jika mereka hanya mengandalkan sektor pertanian saja yang panen dua kali dalam setahun, kebutuhan mereka akan sulit untuk terpenuhi. Untuk menanggulangi masalah tersebut, mereka akhirnya memilih pekerjaan tambahan sebagai tenaga kerja di perusahaan rokok yang ada di desa tersebut.
Di Desa Astanalangga Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon terdapat 28 industri rokok, jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan desa lainnya yang terdapat di Kabupaten Cirebon. Diantara banyaknya pabrik rokok di desa ini, PR (Pabrik Rokok) Subur bisa disebut sebagai pionir awal berkembangnya pabrik rokok. PR Subur ini adalah industri rokok dengan jenis kretek. Mulai merintis usaha pada tahun 1960 awalnya memproduksi adalah rokok “putih” atau rokok tak bermerk. Hingga pada awal tahun 1971 pemerintah Kabupaten Cirebon mulai “mencium” potensi dari perusahaan ini hingga akhirnya pada tahun ini juga diberikan izin pendirian industri rokok dengan nama PR Subur. Produk dari PR Subur ini menggunakan merk dagang Panah Mas.
Dalam pembuatan rokok, tidak semua orang dapat melakukannya. Diperlukan suatu keahlian khusus agar mutu dari produk yang dihasilkan akan terjamin. Maka untuk itu dipilihlah para wanita yang dinilai tekun dan rapih dalam mengerjakan sesuatu dibandingkan dengan laki-laki. Maka tak heran di setiap perusahaan rokok banyak sekali pekerja wanita. Pekerja laki-laki memang ada, tetapi mereka hanya ditugaskan sebagai pengangkut tembakau, atau yang bertugas menjadi distributor ke warung-warung rokok saja.
Setiap industri pasti mengalami pasang surut. Begitu pula dengan PR Subur. Pada tahun 1971 dan 1998-2003 industri ini mengalami perkembangan yang pesat. Sedangkan dari akhir tahun 1971-1998 industri ini pernah merasakan “gulung tikar” akibat kebijakan harga cukai yang melambung cukup tinggi. Dengan naiknya harga cukai pengusaha rokok Subur tidak mampu untuk membeli cengkeh, karena keuntungan yang mereka peroleh tak sebanding dengan harga cukai pada masa itu. Di tahun 1998 PR Subur melihat adanyanya suatu peluang usaha, disaat Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi akibat lemahnya fundamental perekonomian Indonesia (Adiningsih, 2008: 8). Akibat dari lemahnya fundamental perekonomian tersebut adalah naiknya harga-harga barang dan penurunan daya beli masyarakat. Berbagai cara dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya akan tetapi kebutuhan untuk merokok bagi beberapa masyarakat harus terpenuhi. PR Subur memberikan alternatif untuk memenuhi kebutuhan akan rokok masyarakat dengan menawarkan rokok yang harganya relatif terjangkau dengan Rp. 500 /bungkus. Dengan harga tersebut, minat masyarakat untuk membeli rokok dari PR Subur pun meningkat.
Pada tahun 2003, produk dari PR Subur ini telah mampu menjangkau pasar rokok di Bengkulu, Palembang, dan Papua. Proses pendistribusian produk dilakukan pada awalnya dengan tidak sengaja. Ketika ada warga Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon pulang ke kampung halamnnya setelah merantau cukup lama. Ketika kembali ke tempat asal warga tersebut, mereka membawa rokok dari PR Subur. Di daerah rantau tersebut mereka membagikan rokok yang dibawa kepada teman-temannya, respon dari konsumen tersebut sangat bagus. Hingga akhirnya permintaan akan rokok dari PR Subur itu pun mengalami peningkatan.
Sebenarnya banyak masalah yang mampu menghambat perkembangan dari PR Subur. Masalah itu berasal dai persaingan dengan perusahaan rokok kecil sendiri, perusahaan rokok besar, serta kebijakan pemerintah. Persaingan dengan pabrik rokok lain dinilai relatif kecil yaitu, hanya masalah persaingan harga jual dan pendistribusian produk rokok ke pasaran. Untuk menaggulangi masalah tersebut, para pengusaha rokok yang ada di Desa Astanalanggar telah melakukan kesepakatan tentang pembagian daerah pendistribusian dari rokok yang telah dihasilkan oleh pabrik rokok masing-masing.
Persaingan dengan perusahaan rokok besar pun terjadi dalam dinamika perusahaan rokok Subur. Berdasarkan hasil penelitian awal, masalah yang sering dihadapi oleh PR Subur serta pabrik rokok lainnya adalah pengawasan yang sangat ketat dari Dirjen Bea dan Cukai terhadap pabrik rokok kecil. Jika industri rokok kecil sangat diawasi sekali dalam hal pembuangan limbah rokok sehingga limbah tersebut tidak bisa dipergunakan kembali dengan alasan tidak baik untuk kesehatan, maka yang terjadi di perusahaan rokok besar adalah sebaliknya. Limbah yang ada di perusahaan rokok besar justru dipergunakan kembali untuk pembuatan rokok dengan merk berbeda dan dijual di pasaran. Masalah lainnya yang terjadi adalah perbedaan kualitas antara rokok yang dihasilkan oleh pabrik rokok kecil dengan perusahaan rokok besar yang berujung kepada minat beli masyarakat terhadap rokok tersebut. Untuk menyiasati masalah itu, PR Subur membuat bungkus dari rokok yang merka produksi hampir sama seperti kemasan rokok yang dihasilkan oleh perusahaan rokok besar.
Pada tahun 2009, Menteri Keuangan Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan no 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai no P-43/BC/2009 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau, serta Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai no SE-27/BC/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembaka. Latar belakang dikeluarkannya peraturan itu adalah agar sistem tarif cukai hasil tembakau menjadi sederhana, terciptanya kelancaran administrasi penerapan tarif cukai hasil tembakau dan peningkatan pelayanan bagi pengusaha pabrik hasil tembakau atau importer.
Dengan adanya kebijakan tersebut, hampir seluruh industri rokok yang terdapat di Kabupaten Cirebon mengalami “gulung tikar” dalam berproduksi, termasuk juga PR Subur. Hal ini dikarenakan dalam kebijakan tersebut dinyatakan kenaikan PPN untuk industri rokok kecil sebesar 8,4% /batang bandingkan dengan kenaikan PPN pabrik rokok besar yang hanya 1,5% /batang. Hal tersebut sungguh memberatkan bagi para industri rokok kecil seperti PR Subur. Dengan keuntungan sebesar Rp. 5000/ 200 bungkus dianggap tak sebanding dengan pajak yang harus mereka keluarkan. Belum lagi dengan peraturan tersebut, semua industri rokok kecil harus mengurangi jumlah produknya. Akan tetapi para pengusaha rokok kecil terutama PR Subur berusaha agar industri ini tetap berjalan sehingga pembangunan serta dinamika sosial-ekonomi masyarakat di desa tersebut dapat berjalan dengan lancar.
Masyarakat menilai jika pabrik itu masih berproduksi, mereka akan diuntungkan, khususnya para perempuan. Pabrik rokok ini mampu menyerap seluruh pekerja wanita yang terdapat di desa tersebut. Dengan demikian, maka perekonomian masyarakat di Desa Astanalanggar dapat berjalan. Selain itu, sebagian keuntungan yang diperoleh dari penjualan rokok dialokasikan untuk pembangunan Desa Astanalanggar, seperti untuk pembangunan jembatan, pendirian mushala, serta pendirian sekolah. Limbah dari sisa tembakau yang digunakan untuk rokok pun dapat dimanfaatkan bagi pertanian warga sebagai pencegahan terhadap hama sebelum padi ditanam. Bahkan dari limbah rokok tersebut, pada akhir tahun 2009 Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon mengusulkan adanya pembuatan pupuk dari bahan limbah rokok. Namun sayang hal itu baru sebatas wacana dan belum terealisasikan.
Pemerintah Daerah Cirebon sendiri sudah berupaya menyelamatan pabrik rokok kecil di Kabupaten Cirebon ini agar tetap berproduksi. Upaya tersebut baru sebatas sosialisasi peningkatan mutu, sosialisasi masalah pengoptimalisasi SDM, serta bantuan berupa alat-alat produksi. Namun, upaya dinilai tidak cukup membantu. Karena masalah utama dari pabrik rokok tersebut adalah peraturan pemerintah yang dinilai menghambat mereka untuk berproduksi.
Dari beberapa pemaparan tersebut, peneliti memfokuskan kajian yang menarik untuk dikaji yaitu bagaimana PR Subur ini mampu bertahan pasca dikeluarkannya Peraturan pemerintah yang dirasa menghambat produksi dari PR Subur seta persaingan dari industri rokok besar? Alasan mengambil tentang pasang surut PR Subur di Desa Astanalangga Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon adalah, Pertama, kurangnya penulisan sejarah, khususnya sejarah lokal tentang perkembangan industri rokok kecil di Kabupaten Cirebon dalam rentang waktu 1971-2009 yang merupakan salah satu sektor berhubungan langsung dengan masyarakat. Kedua, pengambilan daerah Desa Astanalangga Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon sebagai pusat kajian dikarenakan daerah ini merupakan daerah yang mempunyai pabrik rokok kretek terbanyak di Kabupaten Cirebon. Ketiga, pengambilan PR Subur didasarkan bahwa pabrik rokok ini dianggap sebagai industri rokok pertama yang ada di Desa Astanalanggar. Keempat, industri ini menjadi salah satu mata pencaharian sambilan yang juga dapat disejajarkan dengan mata pencaharian utama merka yaitu bertani. Selain itu juga, alasan lain yang menjadi pertimbangan adalah peneliti mengharapkan dengan mengkaji pembahasan ini semoga dapat menemukan dan memberikan solusi alternatif terbaik bagi pengusaha rokok kecil agar tetap bertahan sehingga pembangunan di desa tersebut akan tetap berjalan.
Tahun kajian yang peneliti fokuskan tahun 1971-2009. Hal tersebut didasarkan tahun 1971 sebagai tahun awal berdirinya secara resmi industri rokok PR Subur setelah dari tahun 1960 perusahaan ini menjadi peusahaan yang belum mendapat izin dari PEMDA Cirebon. Tahun 2009 dijadikan sebagai akhir kajian karena pada tahun itu perkembangan industri rokok kecil mengalami masa yang sulit pasca dikeluarkannya peraturan pemerintah yang dinilai cukup menghambat perkembangan dari industri rokok kecil termasuk PR Subur. Persaingan antar perusahaan rokok lainnya juga meningkat. Sehingga dengan adanya hambatan tersebut, membuat para pengusaha PR Subur harus memutar otak agar usahanya tetap berjalan.
Berdasarkan fakta di atas, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji permasalahan tentang dinamika industri rokok kecil yang terdapat di Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon ini, khususnya PR Subur. Sekaligus peneliti juga ingin mengetahui seberapa besar kontribusi PR Subur terhadap perkembangan sosial-ekonomi masyarakat Desa Astanalanggar. Oleh karena itu, peneliti merumuskan permasalahan tersebut dalam sebuah proposal penelitian yang berjudul Industri Rokok dan Pembangunan Desa: Eksistensi Pabrik Rokok Subur Terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Desa Astanalanggar Kabupaten Cirebon Tahun 1971-2009.


2. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan beberapa pokok pemikiran yang dipaparkan di atas terdapat satu permasalahan utama yang akan dikaji yaitu “bagaimana PR Subur ini mampu bertahan pasca dikeluarkannya peraturan pemerintah yang dinilai menghambat produksi rokok serta persaingan dari industri rokok besar? Agar permasalahan yang akan dikaji lebih jelas dan fokus, penulis akan memberikan batasan permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi sosial-ekonomi masyarakat Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon antara kurun waktu 1971-2009?
2. Bagaimana upaya para pengusaha rokok Subur dalam mengembangkan Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon selama kurun waktu kajian?
3. Bagaimana konsekuensi keberadaan industri rokok Subur dalam mengembangkan Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon selama 38 tahun?
4. Bagaimana peran pemerintah daerah Kabupaten Cirebon dalam menangani permasalahan industri rokok kecil ini?

3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menjawab berbagai pertanyaan permasalahan yang telah dirumuskan sebagai berikut, yakni untuk :
1. Mendeskripsikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon. antara kurun waktu 1971-2009. Ada pun aspek yang akan diteliti meliputi kondisi sosial, ekonomi, serta tingkat pendidikan masyarakat Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon.
2. Mendeskripsikan upaya dari pengusaha rokok Subur dalam mengembangkan industri rokok Subur di Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon selama kurun waktu kajian melalui berbagai faktor untuk melihat peningkatan dan penurunan industri ini baik dari segi faktor modal, tenaga kerja, produksi, dan pemasarannya, serta upaya pengusaha dalam menyiasati adanya peraturan pemerintah yang menghambat perkembangan industri rokok kecil dan persaingan usaha dari perusahaan rokok besar.
3. Menjelaskan konsekuensi keberadaan industri rokok Subur terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon selama 38 tahun sebagai suatu pola pembangunan industri pedesaan di Kabupaten Cirebon. Ada pun konsekuensinya meliputi tingkat kesejahteraan yakni penghasilan berupa upah yang diterima oleh pekerja, keuntungan yang diperoleh pengusaha, munculnya tingkat pendidikan yang baru, pembangunan fisik yang sudah dilakukan di desa tersebut dan sebagainya.
4. Menjelaskan peran pemerintah daerah Kabupaten Cirebon dalam menangani permasalahan industri rokok kecil pada umumnya dan PR Subur khususnya yang meliputi perhatian PEMDA Cirebon terhadap industri rokok kecil yang berupa bantuan dan sosialisasi.peningkatan mutu produksi.
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Memperkaya penulisan mengenai sejarah khususnya sejarah lokal di Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon. Sehingga nantinya dapat menimbulkan wawasan baru dan mengembangkan sejarah lokal di desa tersebut.
2. Memberikan pengetahuan tentang dinamika masyarakat pedesaan di Kabupaten Cirebon terutama di sekitar Pabrik Rokok Subur dalam memenuhi kelangsungan hidupnya.
3. Memberikan solusi alternatif tentang permasalahan yang terjadi di industri rokok kecil sehingga nantinya dapat diimplementasikan secara bersama-sama dengan PEMDA Cirebon serta pengusaha PR Subur itu sendiri.

4. Kajian Pustaka
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa konsep. Konsep tersebut yaitu tentang pembangunan desa dan kewirausahaan. Dengan konsep tersebut, diharapkan akan membantu peneliti dalam penelitian tentang Perkembangan Industri Rokok Subur di Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon Tahun 1971—2009.
Konsep pertama yang peneliti gunakan adalah tentang pembangunan desa. Peter Hagul (1992: 15) dalam bukunya yang berjudul Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat, menjelaskan bahwa pembangunan desa adalah suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk pedesaan menguasai lingkungan sosial yang disertai meningkatnya tingkat hidup merka akibat dari penguasaan tersebut. Surjadi (1983: 21) dalam bukunya yang berjudul Pembangunan Masyarakat Desa, menjelaskan bahwa pasca Perang Dunia II kesadaran akan pembangunan yang menekankan pembangunan kearah yang sempit dan spesifik dihubungkan dengan kebutuhan serta kesejahteraan anggota masyarakat setempat mulai tumbuh.
Dalam implementasinya, sebagian besar pemerintah negara-negara berkembang mulai mendorong pembangunan taraf nasional dan menyiapkan program-program spesial yang menstimulir dan menolong orang-orang untuk mengembangkan cara-cara hidup masyarakat setempatnya, program ini kemudian dikenal juga sebagai Pembangunan Masyarakat. Pembangunan ini dipandang sebagai suatu proses transformasi pada dasaranya akan membawa perubahan dalam proses alokasi sumber-sumber ekonomi, proses distribusi manfaat, dan proses akumulasi yang membawa pada peningkatan produksi, pendapatan dan kesejahteraan (Sumodiningrat, 1997: 17). Dengan demikian angka kemiskinan dan pengangguran di desa dapat ditekan secara perlahan tapi pasti.
Dalam pembangunan ini, masyarakat desa tentu saja boleh mengadakan penyesuaian dirinya untuk mengubah dan mengembangkan cara-cara hidupnya tanpa bantuan dari luar dalam jenis apa pun. Akan tetapi dewasa ini kebanyakan masyarakat desa justru memerlukan bantuan untuk memungkinkan mereka mengadakan penyusuaian pada perkembangan yang cepat berlangsung disekelilingnya. Di Indonesia sendiri program pembangunan masyarakat desa sudah ada sejak tahun 1947 melalui Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan yang kemudian terbentuklah kementerian khusus yang mengurusi pembangunan masyarakat desa yang disebut Kementerian Pembangunan (Surjadi, 83: 310).
Berbagai program pun telah dilaksanakan agar pembangunan desa berjalan dengan lancar. Namun hal tersebut terlepas dari masalah-masalah yang terjadi dalam penerapannya. Ada pun masalah yang terjadi diantaranya sasaran yang dituju hanya kelompok yang sama atau orang yang itu-itu saja. Dengan kata lain, berbagai layanan itu hanya dapat dirasakan oleh sekelompok kecil orang desa saja (Surjadi, 83: 312).
Konsep berikutnya yang akan digunakan peneliti adalah Kewirausahaan. Kewirausahaan menurut Gambhir (Sunendar, 2007: 10) adalah one who owns, organizes, manages and assumes the risk of business or enterprise. Dari definisi tersebut, terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu kepemilikan (ownership) dan resiko (risk). Maksudnya, setiap orang yang ingin menjadi wirausahawan harus memiliki kepemilikan dan siap menanggung resiko apa pun nanti.
Di berbagai negara, wirausahawan sering dianggap sebagai model peranan atau contoh yang patut ditiru karena ia memiliki semangat, tekad, dan kreativitas. Lebih dari itu, mereka seringkali dianggap sebagai “pahlawan ekonomi” yang mempunyai kemampuan untuk berinovasi dan menciptakan serta memanfaatkan peluang ekonomi yang ada di hadapan merka.
Kewirausahaan tidak hanya menyangkut kepentingan ekonomi saja, tetapi juga kepentingan sosial dan kepentingan-kepentingan lain yang bersifat personal atau kolektif, bahkan kepentingan untuk berprestasi juga ada dalam kewirausahaan. Hal ini juga berlaku untuk usaha tradisional yang memprioritaskan untuk mempertahankan dan melanggengkan pekerjaan, wirausaha berusaha mengambil resiko dengan bereksperimen menciptakan pekerjaan baru. Terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan dalam usaha tradisional. Pertama, usaha tradisional dapat dipenuhi oleh satu keterampilan saja, seperti pembuatan rokok. Kedua, wirausaha terus berupaya menemukan cara-cara baru untuk bertahan dan memperluas jangkauan usahanya khususnya untuk factor distribusi produk yang dihasilkannya.
Untuk memahami perilaku wirausaha dengan baik, kita harus mengidentifikasi karekteristik yang berhubungan erat dengan wirausahawan. Timmons (Sunendar, 2007: 17-18) memaparkan sedikitnya terdapat beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh wirausahawan, yaitu:
1. Komitmen dan tekad
2. Kepemimpinan
3. Pencarian peluang
4. Toleransi terhadap resiko dan ketidakpastian
5. Kreatif, mandiri dan mampu beradptasi
6. Bermotivasi tinggi
Berdasarkan pernyataan di atas peneliti menangkap adanya karakteristik tersebut dalam jiwa pengusaha rokok Subur. Mereka memiliki komitmen yang ditinggi terhadap pekerjaan. Dengan jiwa kepemimpinan yang dimiliki oleh pengusaha rokok Subur mereka dapat mengambil keputusan tepat menyangkut produksi dan distribusi dari rokok itu. Pengusaha rokok Subur pintar melihat peluang, kondisi masyarakat yang sedang sulit, sedangkan keinginan untuk merokok relatif tinggi maka pada tahun 1998 pengusaha rokok ini memulai kembali produksi rokoknya setelah dari akhir tahun 1971 mereka “gulung tikar”.

5. Metode dan Teknik Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini tadalah metode historis. Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1986: 32). Sebagaimana dikemukakan pula oleh Ismaun (2005: 35) bahwa metode ilmiah sejarah adalah proses untuk menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peningggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan cerita sejarah yang dapat dipercaya.
Mengenai langkah-langkah dalam penelitian ini menurut Sjamsuddin (2007: 85-239) antara lain sebagai berikut :
1. Heuristik, yaitu proses pengumpulan sumber-sumber sejarah yang berhubungan dengan skripsi ini. Dalam tahap ini, penulis melakukan pencarian sumber-sumber sejarah baik yang berupa wawancara, buku, dokumen, maupun artikel. Realisasi dari tahap ini, penulis mencaba melakukan wawancara terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam masalah yang akan dikaji, mengunjungi beberapa perpustakaan yang dianggap mempunyai sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji. Diantaranya penulis mengunjungi Perpustakaan UPI, dan Perpustakaan Palasari. Selain itu, penulis juga mencoba mengkaji sumber-sumber artikel dari internet yang dianggap relefan dengan pembahasan ini.
2. Kritik Sumber, merupakan langkah selanjutnya dari metode ilmiah sejarah yang dilakukan ketika sumber-sumber sejarah telah ditemukan. Kritik sumber terbagi kedalam dua, yaitu Kritik Eksternal dan Kritik Internal. Kritik Eksternal ditujukan untuk menilai otentisitas sumber sejarah. Dalam kritik ekstern dipersoalkan bahan dan bentuk sumber, umur, dan asal dokumen, kapan dibuat, dibuat oleh siapa, instansi apa, atau atas nama siapa. Dalam tahapan ini, penulis mencoba menilai sumber-sumber sejarah tersebut berdasarkan ketentuan dari kritik eksternal. Kritik Internal lebih ditujukan untuk menilai kredibilitas sumber dengan mempersoalkan isinya, kemampuan pembuatannya, tanggung jawab dan moralnya. Pada tahap ini, penulis membandingkan isi dari sumber-sumber sejarah dari satu penulis buku dengan penulis buku lainnya dengan maksud agar fakta-fakta sejarah yang diperoleh lebih valid untuk mendukung pembahasan yang akan dikaji.
3. Interpretasi adalah proses pemberian penafsiran atas fakta-fakta sejarah yang telah dikritisi melalui kritik sumber. Dalam hal ini, proses ini dilakukan untuk memberikan makna pada fakta-fakta sejarah agar dapat mendukung peristiwa yang dikaji. Dalam tahap ini, penulis memberikan penafsiran pada fakta-fakta sejarah yang diperoleh selama penelitian dengan menghubungkan beberapa fakta menjadi suatu kesatuan makna yang sejalan dengan peristiwa tersebut.
4. Historiografi merupakan tahapan terakhir dari metode ilmiah sejarah dalam penulisan skripsi ini. Dimana dalam historiografi ini, fakta-fakta yang telah melalui berbagai macam proses kemudian disusun menjadi satu kesatuan sejarah yang utuh sehingga terbentuklah suatu skripsi. Dalam proses ini, penulis mengerahkan seluruh daya pemikiran dan menuangkannya ke dalam skripsi dengan tujuan untuk menghasilkan suatu sintesis dari seluruh penelitian yang telah dilakukan.
Untuk mendukung hasil sintesis, peneliti menggunakan pendekatan interdisipliner yaitu pendekatan yang menggunakan satu disiplin ilmu yang dominan, yang ditunjang oleh ilmu-ilmu sosial lainnya. Dalam hal ini, penulis mengambil satu disiplin ilmu yaitu ilmu sosial yang berupa ilmu ekonomi, Sosiologi, dan Antropologi.
Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Studi Kepustakaan, yaitu mencari sumber baik berupa buku, artikel dan dokumen yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, yang kemudian dikaji untuk memperoleh solusi dalam memecahkan permasalahan penelitian.
2. Studi Dokumenter, yaitu suatu cara dalam pengumpulan data melalui media visual berupa foto-foto, gambar diambil pada waktu melakukan penelitian di lapangan atau pun dokumen-dokumen lainnya yang berupa peraturan-peraturan pemerintah Republik Indonesia.
3. Wawancara, adalah suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan yang dilakukan melalui percakapan dengan beberapa narasumber yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan permasalahan yang dikaji.

6. Sistematika Penulisan
Mengenai sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah dan batasannya, tujuan dan manfaat penelitian, metode dan teknik penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Menjelaskan secara singkat tentang sumber-sumber kepustakaan yang dijadikan sebagai bahan referensi yang berhubungan dengan pokok pembahasan yang juga disertai dengan analisis yang dapat mempermudah dalam pemecahan masalah tersebut.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Menjelaskan secara rinci tentang cara kerja penulis dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan sumber-sumber yang sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Dalam ilmu sejarah, langkah-langkah tersebut meliputi : Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi, dan Historiografi.

BAB IV KEHIDUPAN SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT DESA ASTANALANGGAR KECAMATAN LOSARI KABUPATEN CIREBON (1971-2009)
Bab ini merupakan bagian utama dari skripsi yang berisi tentang kajian-kajian seperti yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Ada pun rumusan masalahnya yaitu menjelaskan tentang kondisi sosial-ekonomi masyarakat Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon antara kurun waktu 1971-2009, upaya para pengusaha rokok Subur dalam mengembangkan Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon selama kurun waktu kajian, konsekuensi keberadaan industri rokok Subur dalam mengembangkan Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon selama 38 tahun, peran pemerintah daerah Kabupaten Cirebon dalam menangani permasalahan industri rokok kecil ini.

BAB V KESIMPULAN
Merupakan bagian terakhir dari skripsi yang berisi pernyataan dan saran yang terangkum dari hasil analisis semua fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji dari penulis yang diutarakan secara ringkas dan jelas.


DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, S. et al. (2008). Satu Dekade Pasca Krisis Indonesia: Badai Pasti Berlalu. Yogyakarta: Kanisius.

Alma, B. (2008). Kewirausahaan. Jakarta: Alfabeta.

Collier, W. L. et al. (1996). Pendekatan Baru Dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa: Kajian Pedesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Effendi, T. N. (1995). Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.

Hagul, P. (Eds). (1992). Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Jakarta: CV. Rajawali.

Ismaun. (2005). Sejarah Sebagai Ilmu. Bandung: FPIPS UPI Bandung.

Siagran, H. (1986). Pokok-pokok Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Alumni.

Sitanggang, H. (Eds). (1995). Corak dan Pola Kehidupan Sosial Ekonomi Pedesaan: Studi Tentang Kewiraswastaan Pada Masyarakat di Plered. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Sjamsuddin, H. ( 2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soekanto, S. (2005). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Sukirno, S. (2006). Ekonomi Mikro: Teori Pengantar (Edisi Ketiga). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Sumodiningrat, G. (1997). Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat (Edisi Kedua). Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara.
Sunendar, D. (Eds). (2007). Kewirausahaan (Untuk Pemelajaran Bahasa dan Seni). Bandung: Basen Press.

Surjadi. A. (1983). Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Alumni.

Sumber Dokomen
Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Cirebon. (2009). Laporan Akhir Penyusunan SON Produksi Bersih Bagi Pabrik Rokok Kecil di Kabupaten Cirebon Tahun Anggaran 2009. Cirebon: Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Cirebon.

Dirjen Bea dan Cukai. (2009). Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai no P-43/BC/2009 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Jakarta: Departemen Keuangan.

Dirjen Bea dan Cukai. (2009). Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai no SE-27/BC/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembaka. Jakarta: Departemen Keuangan.

Menteri Keuangan. (2009). Peraturan Menteri Keuangan no 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Jakarta: Departemen Keuangan.

Presiden Republik Indonesia. (1995). Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil. Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia.

Presiden Republik Indonesia. (1998). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1998 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil. Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia.

Presiden Republik Indonesia. (1999). Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1999 Tentang Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah. Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia.

Presiden Repuyblik Indonesia. (2008). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia.

Sumber Internet
Badan Pusat Statistik. (1996). Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Penduduk (P2) menurut provinsi tahun 1996 [Online]. Tersedia: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=1. [10 Maret 2010].

Departemen Sosial RI. (2005). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Sistem Kesejahteraan Sosial Nasional [Online]. Tersedia: http://kfm.depsos.go.id/mod.php?mod=userpage&page_id=3. [10 Maret 2010].

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. (2009). Pembangunan Desa Tertinggal Disediakan Dana Rp 1,09 Trilun [Online]. Tersedia: http://www.menkokesra.go.id/content/view/11599/39/. [10 Maret 2010].

Wawancara
Deni Yulianto, Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon, pengawas produksi PR Subur (27 Februari 2010).

Kusen, Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon, pendiri dan pemilik PR Subur (27 Februari 2010).

Suhardi, Desa Astanalanggar Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon, humas PR Subur (27 Februari 2010).



LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Industri Rokok di Kabupaten Cirebon
Data Persebaran Industri Rokok di Kabupaten Cirebon
No. Nama Perusahaan Alamat Perusahaan Nama Pemilik
1 PR. Gemilang Jaya Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Tiah BT. Warmin
2 PR Sangjaka Jati Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Sunendi
3 PR Tinta Ria Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Ahmad Edi Junaedi
4 PR Tujuh Langit Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Suharto
5 PR Raihan Fuji Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Nurjaenudin Bin Jured
6 PR Dwi Putra Manunggal Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Amirudin Bin Sudirman
7 PR Hamid jaya Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Aliyah
8 PR Subur Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Kusen Bin Nawi
9 PR Karma Baru Taman Indah Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Warkini Witati
10 PR Hidup Baru Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Masri’ah
11 PR Falmas Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Moh Dam Bin Taum
12 PR Al Hidayah Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Kusnadi
13 PR Mulya Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Muhari Bin Karwiyah
14 PR Barokah Jaya Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Darwiyah
15 PR Aji Rasa Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Rohensih
16 PR Kretek Slamet Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Mudri
17 PR Sumber Alam Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Sahuri
18 PR Kretek Penuntun Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Aktori
19 PR Makmur Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Walidun
20 PR Jaya Mandiri Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Deni Yulianto
21 PR Mekar Jaya Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Mirno
22 PR Persterdapatr Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Yana Firginawan
23 PR Amanat Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon
24 PR Aji Satha Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Akhmad Khaerudin
25 PR Silva Jaya Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon JUndiyah
26 PR Bumi Jaya Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Suhardi Bin Rambiyad
27 PR Gurun Pijak Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Warid Bin Awarah
28 PR Puing Morgana Desa Astanalanggar Kec. Losari Kab. Cirebon Saudi Bin Raswin
29 PR Bima Sakti Putra Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Carudin
30 PR Tri In One Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Waryad
31 PR Triplex Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Satori Ardiyanto
32 PR Bata Merah Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon
33 PR Putra Kasur Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Makmuri Bin Maskud
34 PR Chandramawa Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Dulkarom Bin Raswin
35 PR Billi Putra Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Narjo
36 PR Pandawa Putra Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Madrais
37 PR Darma Luhur BD. Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Baedi’
38 PR Darma Luhur TM. Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Watmo
39 PR Darma Luhur TM. Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Wahidin
40 PR Darma LUhur SK Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Sawidin
41 PR Alisa Widya Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Yunaenah
42 PR Hikmah Putra Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Rudi
43 PR Saudara Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Haeriyanto
44 PR Safutri Jaya Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Khotimah
45 PR Rokin Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Sriyanah
46 PR Darma Luhur RK Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Rokimah Bt Kterdapats
47 PR Samiaji Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Sunaningsih
48 PR Joe Jaya Putra Desa Barisan Kec. Losari Kab. Cirebon Juana Bin Salt
49 PR Eka Putra Maju Bersama Desa Losari Lor Kec. Losari Kab. Cirebon Siti Khomisoh
50 PR Tiga Bersaudara Desa Losari Kidul Kec. Losari Kab. Cirebon Nukidin
51 PR Mitra Mandir Desa Losari Kidul Kec. Losari kab. Cirebon Subali Bakti
52 PR Berkah Jaya Desa Pasuruan Kec. Pabedilan Kab. Cirebon Jhaiyah BT. Talib
53 PR Putra Manunggal Jaya Desa Pasuruan Kec. Pabedilan Kab. Cirebon Edi Susendi Bin Wardi
54 PR Putra Eddyti Desa Pasuruan Kec. Pabedilan Kab. Cirebon Suminah Binti Abdul Talib
55 PR Cakra Desa Pasuruan Kec. Pabedilan Kab. Cirebon
56 PR Hany Jayatama SR Desa Pasuruan Kec. Pabedilan Kab. Cirebon Sopandi
57 PR Trubus Uni Jaya Desa Pasuruan Kec. Pabedilan Kab. Cirebon Tabrani
58 PR Osman Sutjinto Desa Jungjang Kec. Arjawinangun Kab. Cirebon Osman Sutjinto
59 PT. Hanjaya Mandala Sampoerna Desa Kasugengan Lor Kec. Depok Kab. Cirebon Gulang Putu Jayaputra
60 CV. Trio Djamlang Desa Megu Gede Kec. Weru Kab. Cirebon Muzaed
61 PR Dua Merpati Desa Tangkil Kec. Susukan Kab. Cirebon Ahmad Zaeni
Sumber: Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Cirebon Tahun 2009.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PENYEBARAN ISLAM di ASIA TENGGARA: MORO SAMPAI ABAD XX

ABSTRACT
Tulisan ini akan membahas mengenai Islam di Asia Tenggara yang memiliki berbagai macam proses dan perkembangannya sendiri, dimana setiap negara memiliki perbedaan dalam proses Islamisasi dan juga perkembangannnya. Namun, ada satu kesamaan yang dapat ditarik dari keberagaman Islamisasi yang terdapat di Asia Tenggara, dimana Islam datang pertama kali dilakukan melalui perdagangan sampai pada akhirnya sukses setelah melalui politik.
Key words: Islamisasi, Moro, Jalur Perdagangan, Politik.

Proses Islamisasi di Asia Tenggara
Azyumardi Azra (2005: 2-19) menyampaikan beberapa teori yang berhubungan dengan datangnya Islam ke Asia tenggara. Pertama, Pijnappel berpendapat bahwa Islam datang ke Asia Tenggara berasal dari anak Benua India, yaitu Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orag-orang Arab bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Pendapat ini didukung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan kota Anak Benua India, Muslim Deccan-banyak di antara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah ke Asia Tenggara (Azra, 2005: 3). Selain itu, Islam di India Selatan sama dengan Asia Tenggara dalam mengutamakan bulan kedelapan melihat ini sebagai bukti bahwa asal usul Islam di Asia Tenggara adalah India (Reid, 2004: 30).
Kedua, Moquette berpendapat bahwa Islam datang ke Asia Tenggara berasal dari Gujarat. Hal ini dibuktikan setelah ia mengamati bentuk batu nisan di Pasai dan di makam Maulânâ Mâlik ‘Ibráhîm di Gresik, ternyata bentuknya sama seperti batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat (Ricklefs, 2008: 8). Ketiga, Fatimi berpendapat bahwa Islam disebarkan ke Asia Tenggara berasal dari Bengal. Hal ini dibuktikan dengan batu nisan yang ada di makam Mâlik Al-Shâlih berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat, tetepi lebih mirip dengan bentuk dan gaya nisan yang ada di Bengal, teori ini kemudian berkembang menadi “teori natu nisan” (Azra, 2005: 4; lihat juga Ricklefs, 2008: 8 dan Mubarok, 2008: 253). Keempat, Marrison berpendapat bahwa Islam yang disebarkan ke Asia Tenggara berasal dari pantai Coromandel pada abad ke-13 M. Argumennya diperkuat dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa pada masa Islamisasi Samudera Pasai, yang raja pertamanya wafat pada 698/1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Barulah setahun kemudian (699/1298), Cambay, Gujarat ditaklukan kekuasaan Muslim (Azra, 2005:4). Ia menyokong teori ini dengan menunjuk kepada persamaan mazhab fikih dari kedua wilayah tersebut. Mayoritas muslim di Nusantara adalah pengikut mazhab Syafi’i, yang juga cukup dominan di wilayah Coromandel dan Malabar, seperti disaksikan oleh para Ibn Bathuthah ketika ia mengunjungi kawasan ini. Menurut arnold, para pedagang dari Coromandel dan Malabar mempunyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Sejumlah besar pedagang ini mendatangi pelabuhan-pelabuhan dagang dunia Melayu-Indonesia dimana mereka ternyata tidak hanya terlibat dalam perdagangan, tetapi juga dalam penyebaran islam. Kelima, Crawfurd berpendapat bahwa Islam yang disebarkan di Asia Tenggara berasal dari Arab. Pendapat ini didukung oleh Hamka dan W. P. Goenevelt (Hasan dan Sumitro, 1994: 18-20 ; Mubarok, 2008: 256) yang menyatakan argumen bahwaa) madzhab yang dianut oleh kerajaan Islam Pasai pada waktu itu adalah madzhab Syafi’i; dan madzhab itu berasal dari Mekkah; dan b) gelar-gelar raja Pasai yang dipakai pada waktu itu adalah gelar raja-raja Mesir.
Siti Maryam dkk (2003: 377 ; Mubarok, 2008: 254) menginformasikan tentang waktu kedatangan Islam. Pertama, sebagian ahli berpendapat bahwa Islam datang ke Asia Tenggara pada abad pertama hijriah (abad VII M) yang dibuktikan dengan pendapat I’Tsing yang menyatakan bahwa Sriwijaya sudah menjalin hubungan dengan khalifah Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan (661 M) dan khalifah Umar Ibn Abd Al-Aziz (717-720 M); dan kedua, Islam masuk ke Asia Tenggara pada abad XIII M dengan hipotesis akibat keruntuhan dinasti Abbasiyah oleh Hulagu (1258 M).
Azyumardi Azra (1989: xvi ; Mubarok, 2008: 254) mengatakan bahwa perkembangan Islam di Asia Tenggara mengalami tiga tahap: pertama, Islam disebarkan oleh para pedagang yang berasal dari Arab, India, dan Persia di sekitar pelabuhan. Pada tahap ini, para ulama yang juga merangkap sebagai pedagang memiliki peran besar dalam penyebaran Islam. Di samping itu, penyebaran Islam tahap pertama ini sangat diwarnai oleh aspek mistik Islam (tasawuf). Tahap pertama ini berlangsung hingga Majapahit runtuh (abad XV M).
Kedua, sejak datang dan berkuasanya Belanda di Indonesia, Inggris di Semenanjung Malaya, dan Spanyol di Pilipina, sampai abad XIX M; dan ketiga, tahap liberalisasi kebijakan pemerintah kolonial, terutama Belanda di Indonesia. Pada tahap ini, proses Islamisasi di Asia Tenggara sampai bentuknya seperti sekarang ini.

Pola dan Saluran Penyebaran Islam di Asia Tenggara
Islam di Asia Tenggara sampai abad ke 18, oleh H.J. de Graaf. Islam masuk ke Asia tenggara melalui tiga metode, yakni :
1) Oleh para pedagang Muslim dengan jalur perdagangan yang damai. Peranan pedagang muncul dari situasi Malaya dan kepulauan Nusantara di sepanjang jalur perdagangan antara Asia Barat dan Timur jauh serta Maluku. Pedagang Muslim dan barang-barangnya disambut dengan baik. Mereka menjadi mitra dagang dan sekutu politik para penguasa lokal menggeser peranan orang-orang Hindu.
2) Oleh para da’i dan orang suci (wali) yang datang dari India atau Arab yang sengaja bertujuan mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman. Ajaran para da’i dikenal karena unsure sufismenya. Tulisan-tulisan dan dakwah-dakwah para da’i menyebabkan penduduk setempat menjadi tersentuh dengan masyarakat dunia yang lebih luas daripada yang telah mereka kenal saat itu.
3) Dengan kekuasaan dan memaklumkan perang terhadap negara-negara penyembah berhala. Menempuh jalan perang untuk menyebarkan keimanan di kalangan orang-orang kafir. Sisa-sisa kerajaan Majapahit ditaklukkan dengan jalan jihad atau perang suci ini.
VoA Islam menyebutkan mengenai kedatangan Islam di negara-negara yang ada di Asia Tenggara hampir semuanya didahului oleh interaksi antara masyarakat di wilayah kepulauan dengan para pedagang Arab, India, Bengal, Cina, Gujarat, Iran, Yaman dan Arabia Selatan. Pada abad ke-5 sebelum Masehi Kepulauan Melayu telah menjadi tempat persinggahan para pedagang yang berlayar ke Cina dan mereka telah menjalin hubungan dengan masyarakat sekitar Pesisir. Kondisi semacam inilah yang dimanfaatkan para pedagang Muslim yang singgah untuk menyebarkan Islam pada warga sekitar pesisir.
1) Saluran perdagangan
Pada taraf permulaan, proses masuknya Islam adalah melalui perdagangan. Kesibukan lalu-lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 membuat pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian Barat, Tenggara dan Timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melaui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mereka berhasil mendirikan masjid dan mendatangkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di beberapa tempat penguasa-penguasa Jawa yang menjabat sebagai Bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir Utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan karena hanya faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-rpedrarrgarng Muslim. Perkembangan selanjutnya mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat-tempat tinggalnya.
2) Saluran perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi terutama puteri-puteri bangsawan, tertarik untuk menjadi isteri saudagar-saudagar itu. Sebelum dikawin mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, lingkungan mereka makin luas, akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah dan kerajaan Muslim.
Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita Muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan; tentu saja setelah mereka masuk Islam terlebih dahulu. Jalur perkawinan ini jauh lebih menguntungkan apabila antara saudagar Muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena raja dan adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat atau sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan puteri Kawunganten, Brawijaya dengan puteri Campa yang mempunyai keturunan Raden Patah (Raja pertama Demak) dan lain-lain.
3) Saluran pendidikan
Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai dan ulama. Di pesantren atau pondok itu, calon ulama, guru agama dan kiai mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke kampung masing-masing atau berdakwah ketempat tertentu mengajarkan Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden rahmat di Ampel Denta Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren ini banyak yang diundang ke Maluku untuk mengajarkan Agama Islam.
4) Saluran kesenian
Saluran Islamisasi melaui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam serita itu di sisipkan ajaran nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lainnya juga dijadikan alat Islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad dan sebagainya), seni bangunan dan seni ukir.
5) Saluran politik
Di Maluku dan Sulawesi selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini. Di samping itu, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia Bagian Timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.
Untuk lebih memperjelas bagaimana proses masuknya agama Islam di Asia Tenggara ini, ada 3 teori diharapkan dapat membantu memperjelas tentang penerimaan Islam yang sebenarnya
a. Menekankan peran kaum pedagang yang telah melembagakan diri mereka di beberapa wilayah pesisir lndonesia, dan wilayah Asia Tenggara yang lain yang kemudian melakukan asimilasi dengan jalan menikah dengan beberapa keluarga penguasa local yang telah menyumbangkan peran diplomatik, dan pengalaman lnternasional terhadap perusahaan perdagangan para penguasa pesisir. Kelompok pertama yang memeluk agama lslam adalah dari penguasa lokal yang berusaha menarik simpati lalu-lintas Muslim dan menjadi persekutuan dalam bersaing menghadapi pedagang-pedagang Hindu dari Jawa. Beberapa tokoh di wilayah pesisir tersebut menjadikan konversi ke agama lslam untuk melegitimasi perlawanan mereka terhadap otoritas Majapahit dan untuk melepaskan diri dari pemerintahan beberapa lmperium wilayah tengah Jawa.
b. Menekankan peran kaum misionari dari Gujarat, Bengal dan Arabia. Kedatangan para sufi bukan hanya sebagai guru tetapi sekaligus juga sebagai pedagang dan politisi yang memasuki lingkungan istana para penguasa, perkampungan kaum pedagang, dan memasuki perkampungan di wilayah pedalaman. Mereka mampu mengkomunikasikan visi agama mereka dalam bentuknya, yang sesuai dengan keyakinan yang telah berkembang di wilayah Asia Tenggara. Dengan demikian dimungkinkan bahwa masuknya Islam ke Asia Tenggara agaknya tidak lepas dengan kultur daerah setempat.
c. Lebih menekankan makna lslam bagi masyarakat umum dari pada bagi kalangan elite pemerintah. Islam telah menyumbang sebuah landasan ldeologis bagi kebajikan lndividual, bagi solidaritas kaum tani dan komunitas pedagang, dan bagi lntegrasi kelompok parochial yang lebih kecil menjadi masyarakat yang lebih besar (Lapidus, 1999:720-721). Agaknya ketiga teori tersebut bisa jadi semuanya berlaku, sekalipun dalam kondisi yang berbeda antara satu daerah dengan yang lainnya. Tidak terdapat proses tunggal atau sumber tunggal bagi penyebaran lslam di Asia Tenggara, namun para pedagang dan kaum sufi pengembara, pengaruh para murid, dan penyebaran berbagai sekolah agaknya merupakan faktor penyebaran lslam yang sangat penting.
Pada perkembangannya Islam mampu menjadi agama mayoritas di Asia Tenggara. Banyak faktor yang menerangkan tentang hal tersebut, antara lain :
1) Pedagang Muslim asing yang datang ke Asia Tenggara memperkenalkan Islam guna mendapatkan keunggulan ekonomi dan politik di kalangan masyarakat pribumi. Para pedagang Muslim memperkenalkan ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai perdagangan dan mengambil keuntungan ekonomi secara maksimal sehingga mampu membatasi adanya pilihan terhadap agama-agama lain.
Bangsa Barat datang dengan membawa agama Kristen. Namun Kristen tidak begitu berkembang di Nusantara tapi justru Islam-lah yang berkembang pesat karena penyebaran Islam tidak dihalangi oleh pemerintah kolonial dan mereka juga tidak memaksakan agama Kristen kepada penduduk setempat. Kehadiran kolonis merangsang terjadinya proses Islamisasi dan intensifikasi lebih lanjut di kawasan ini. Identifikasi kolonis sebagai penjajah kafir, menjadikan Islam sebagai wadah integrative masyarakat pribumi yang saat itu terbelah oleh berbagai faktor sosial dan cultural dalam menghadapi penjajah Barat. Kepercayaan nenek moyang atau system tradisional lainnya tidak mampu tampil sebagai alternative identifikasi dan mekanisme pertahanan diri di tengah meningkatnya bahaya dan sewenag-wenangan kolonisme Barat, kecuali Jawa yang pernah jadi pusat kekuasaan politik Hindu-Budha yang sudah diinternalisasikan dengan kebudayaan Jawa, maka tidak ada wilayah lain di Asia Tenggara yang mendalam dipenetrasi oleh Hindu-Budha. Ketentuan-ketentuan universal-transendetal Hindu tidak pernah berlaku, di Jawa sekalipun. Sistem adat atau tradisi pribumi yang sangat bersifat lokal, partikularistik dan divisive, sehingga tidak bisa tiharapkan tampil menjadi faktor integrative.
2) Adanya kesamaan bentuk Islam yang pertama kali datang ke Indonesia dengan sifat mistik dan sinkretisme kebudayaan nenek moyang setempat. Islam tasawwuf diterima oleh penduduk pribumi sehingga Islam mampu hidup berdampingan secara damai dengan kepercayaan nenek moyang Jawa. Muncul kaum santri, abangan dan priyayi.
3) Teori lain menurut ahli-ahli Kristen. Sifat Islam yang sederhana mengandung unsure-unsur perkauman (tribalisme) yang menyebabkan Islam mudah dan cepat berkembang di kalangan masyarakat yang memiliki system kepercayaan dan tradisi yang tidak canggih. Kesederhanaan Islam cukup dengan membaca dua kalimat shahadah. Tapi Islam bukan sekedar shahadah tetapi banyak mengandung banyak ajaran lain yang menyangkut segala aspek kehidupan. Seperti yang diungkapkan oleh Snouck Hourgonje bahwa Islam tidak sesederhana itu karena perkembangan Islam di Timur Tengah sendiri diwarnai dengan Liberalisme.

Masuknya Islam ke Filipina
Dalam proses Islamisasi di Asia Tenggara, agaknya yang terus menjadi sorotan adalah masalah perdagangan. Hal ini didukung oleh Tom Pires dan Marcopolo yang menyatakan bahwa kontak lewat perdagangan ini adalah penjelasan yang paling tepat mengenai Islamisasi. Akan tetapi, Van Leur dan Scrhrieke justru berpandangan lain. Mereka berdua lebih memandang bahwa faktor-faktor politik paling berperan dalam Islamisasi di Asia Tenggara. Ada juga yang memadang imam-imam Sufilah yang punya andil lebih, yaitu Johns dan Fatimi. Kesemua pendapat tersebut akhirnya didamaikan oleh pendapat Reid (2004: 22-23) : “kehadiran Islam tentu saja dibawa oleh para pedagang dan acapkali diperkuat oleh kekuatan politik dan militer.”
Untuk menganalisis bagaimana sesungguhnya islamisasi yang terjadi di Filipina, maka perdebatan di atas adalah dasar yang cukup jelas untuk dijadikan pertimbangan mengenai suatu bentuk atau proses islamisasi yang terjadi di Filipina.
Sejarah masuknya Islam di Filipina tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosio kultural wilayah tersebut sebelum kedatangan Islam. Filipina adalah sebuah Negara kepulauan yang terdiri dari 7107 pulau dengan berbagai suku dan komunitas etnis. Sebelum kedatangan Islam, Filipina adalah sebuah wilayah yang dikuasai oleh kerajaan-kerajaan. Islam dapat masuk dan diterima dengan baik oleh penduduk setempat setidaknya karena ajaran Islam dapat mengakomodasi berbagai tradisi yang telah mendarah daging di hati mereka.
Para ahli sejarah menemukan bukti abad ke-16 dan abad ke-17 dari sumber-sumber Spanyol tentang keyakinan agama penduduk Asia Tenggara termasuk Luzon, yang merupakan bagian dari Negara Filipina saat ini, sebelum kedatangan Islam. Sumber-sumber tersebut memberikan penjelasan bahwa sistem keyakinan agama yang sangat dominan ketika Islam datang pada abad ke-14 sarat dengan berbagai upacara pemujaan untuk orang yang sudah meninggal. Hal ini jelas sekali tidak sejalan dengan ajaran Islam yang menentang keras penyembahan berhala dan politeisme. Namun tampaknya Islam dapat memperlihatkan kepada mereka bahwa agama ini memiliki cara tersendiri yang menjamin arwah orang yang meninggal dunia berada dalam keadaan tenang, yang ternyata dapat mereka terima (Reid, 2004: 24-25).
Selain itu, Di antara semua agama besar di dunia, Islam barangkali yang paling serasi dengan dunia perdagangan. Al-Qur’an maupun Al-Hadits sebagai sumber tertinggi dalam agama Islam banyak memuji kepada pedagang yang dapat dipercaya. Islam dibawa oleh pedagang dan dengan cepat menyesuaikan dirinya dengan gaya hidup atau kondisi kota-kota dagang yang relatif makmur. Dengan demikian bagi kebanyakan orang Filipina Islam selalu diidentikan dengan kekayaan, keberhasilan dan kekuasaan. Jadi tidak aneh jika orang yang memliki ambisi di bidang perdagangan mulai mengasimilasi Islam meskipun belum paham mengenai ajaran pokok Islam (Reid, 2004: 36-37).
Di sisi lain, tidak dapat diragukan lagi bahwa skala perdagangan Asia Tenggara mulai melesat sangat pesat pada penghujung abad ke-14. Hasil dari perdagangan ini, kota-kota berkembang dengan kecepatan sangat mencengangkan termasuk sepanjang wilayah pesisir kepulauan Filipina. Para pedagang dari berbagai negeri bertemu dan menimbulkan adanya pertukaran baik di bidang ilmu pengetahuan maupun agama. Mereka yang cenderung bergerak di bidang perniagaan segera tertarik dengan kepercayaan baru ini yang tentu dengan berbagai alasan. pepohonan, gunung, atau roh nenek moyang tidak dapat dibawa bepergian dengan mudah. Pedangang ini butuh keyakinan yang dapat diterapkan secara luas. Jika dia keluar maka dia butuh bahasa melayu dan butuh penerimaan dari lingkungan serta relasi di kota perdagangan. Islam menyediakan sistem kepercayaan maupun sistem sosial bagi pedagang ini yang dapat di terapkan kapan pun dan di mana pun.
Setelah masyarakat Filipina mengenal Islam, belum banyak yang memeluk agama ini karena keterbatasan jangkauan dan kesempatan untuk menjangkau daerah lain terutama di pedalaman. Pada abad ke 14 M, sisa-sisa kekuasaan Sriwijaya ditumpas oleh Majapahit. Banyak pangeran dan prajurit melarikan dri ke berbagai wilayah Melayu. Di pulau Jolo terdapat kerajaan Bagunda. Menurut Mubarok, sebuah riwayat mengatakan bahwa seorang Arab yang tengah melakukan perjalanan dari Sumatera dan Kalimantan menikah dengan anak perempuan raja Baguinda (Mubarok, 2008: 262).
Hal ini didukung oleh apa yang ditemukan Azra. Menurutnya sebuah tarsilah (silsilah) raja-raja muslim dari kesultanan Sulu di Filipina menerangkan Islam disebarkan diwilayah ini oleh seorang arab yang bernama Syarif Auliya Karim Al-Makhdum yang datang dari Malaka pada tahun 1380. Setelah itu, datang juga orang Arab yang bernama ’Amin Allah al-Makhdum, yang juga dikenal dengan sebutan Sayyid al-Niqab. Ia dipercaya datang bersama sejumlah muslim Cina. Gelombang Islamisasi di sulu selanjutnya terjadi ketika seorang Arab bernama Sayyid abu Bakr ke wilayah ini. Menurut Hunt, seorang pengembara barat di Sulu saat itu menjelaskan bahwa “seorang Sufi lain datang dari Mekah, bernama Sayyid Barpaki, berhasil memasukkan hampir seluruh penduduk ke dalam Islam” (Azra, 2005: 10-11).
Ajaran Islam yang simpatik menarik banyak kalangan. Salah satunya adalah Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao, yang akhirnya memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini dimulai. Manguindanao sendiri kemudian menjadi seorang Datu yang berkuasa atas propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao. Karena kekuasaan Datu, Islam menyebar ke berbagai daerah sekitarnya, terutama daerah kepulauan dan pantai. Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datu atau Raja bahkan setelah kedatangan orang-orang Spanyol (eramuslim.com).
Kiranya, begitulah proses masuknya islam di Filipina. Dikenal dari sebuah interaksi ekonomi (dagang), ada juga yang sengaja disiarkan, lalu akhirnya dikembangkan secara luas oleh kekuasaan politik yang dalam hal ini adalah raja sebagai pemimpin tertinggi dalam suatu kerajaan..


Perkembangan Umat Islam di Moro
Perkembangan Islam di Moro setelah proses penyebaran Islam di Filipina umumnya dan di Mindanao yang di diami oleh orang-orang Moro khususnya secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian. Dalam fase ini, ketiga bagian secara keseluruhannya yang berlangsung sampai sekarang merupakan masa atau fase perlawanan yang dilancarkan oleh bangsa Moro terhadap para penjajah.
Yang pertama yaitu pada masa kolonialisme Spanyol, yang kedua adalah pada masa imperialism Amerika Serikat, yang ketiga adalah fase peralihan antara pemerintah Amerika Serikat ke tangan Pemerintah baru Filipina, dan yang ke-empat adalah pada masa pasca-kemerdekaan dimana pada masa ini pemerintah Filipina sendiri yang melakukan tekanan terhadap bangsa Moro.
a) Masa Kolonial Spanyol
Orang-orang Spanyol memasuki bumi Filipina pada tanggal 16 Maret tahun 1521 dibawah pimpinan Ferdinand de Magellans, yang pada masa itu sedang melakukan ekspedisi untuk mengelilingi dunia. Namun, yang dilakukan oleh Ferdinand de Magellans tidak hanya sekedar melakukan penjelajahan semata, namun juga membawa misi kolonialisme sebagaimana yang tertanam dalam semangat eksplorasi orang-orang Spanyol dan Portugis pada masa Imperialisme Kuno, yakni Gold (mencari kekayaan), Glory (menambah wilayah kekuasaan), dan Gospel (misi penyebaran agama (Katolik Kristen).
Seperti halnya yang dilakukan oleh pelaut-pelaut lainnya seperti Vasco da Gama dari Portugis yang menemukan rute pelayaran ke India melalui Afrika atau Christoper Colombus yang ‘menemukan’ benua Amerika. Sebagai perbandingan, mereka dating tidak sekedar melakukan eksplorasi tetapi juga membawa misi kolonialisme dengan semangat Gold, Glory, dan Gospel. Dalam beberapa sumber pun menyebutkan bahwa mereka melakukan pembantaian terhadap penduduk asli yang mereka temui. Seperti orang-orang Zamorin di yang berdiam di India bagian Selatan yang dibantai oleh Vasco da Gama maupun orang-orang Amerika asli yang dibunuhi oleh pasukan Colombus di pulau yang kini dikenal El Savador.
Spanyol tidak hanya menjajah, tapi juga membawa misi Kristen di bumi Islam tersebut. Pada 1578, negeri Matador ini mengadu domba rakyat Filipina untuk memereangi orang-orang Islam di selatan. Spanyol melabelinya dengan nama perang suci, hingga dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam hingga sekarang. Sejarah mencatat, orang Islam pertama yang masuk Kristen akibat politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini adalah istri Raja Humabon dari pulau Cebu, kemudian Raja Humabon sendiri dan rakyatnya.

Dalam hal ini, yaitu pada kaitannya yang dilakukan Ferdinand de Magellams ketika ‘singgah’ di Filipina, Pasukan Spanyol melakukan penaklukan baik dengan kekuatan militer (hard power), dimana mereka mengobarkan peperangan terus menerus selama 375 tahun untuk menaklukan seluruh kepulauan Filipina, maupun dengan melakukan Kristenisasi terhadap penguasa setempat (Soft Power) seperti pengkristenan yang mereka lakukan terhadap istri Raja Humabon dari Pulau Cebu dan kemudian terhadap Raja Humabon sendiri dan terakhir rakyatnya mengikutinya.
Namun dalam masa selama 375 tahun tersebut Spanyol tidak dapat menundukan Kepulauan Mindanao di bagian selatan Filipina baik dengan Kristenisasi maupun dengan kekuatan senjata, karena orang-orang Moro yang mendiami Mindanao di Filipina Selatan memiliki keyakinan yang teguh terhadap ajaran Islam berhubung merekalah orang Filipina paling awal yang mengenal Islam karena pendatang Muslim dari luar sendiri menjejakan kaki di Filipina pertama kali di bagian selatan (Mindanao). Dengan kekuatan bersenjatapun orang-orang Moro tidak menerima karena bangsa Moro memang memiliki watak yang keras sehingga sulit ditaklukan. Sebagaimana yang tertera pada kutipan berikut:
…Ketika kolonial Spanyol menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka justru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani dan pantang menyerah…..Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan Sulu takluk pada tahun 1876). Menghabiskan lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan perang berkelanjutan melawan kaum Muslimin. Namun, walaupun demikian, kaum Muslimin tidak pernah dapat ditundukan secara total.

Seperti yang tel;ah disebutkan dalam kutipan paling awal diatas, upaya yang dilakukan Spanyol dalam mengadu domba sesama rakyat Filipina dengan merekrut orang-orang Filipina yang telah dikristenkan untuk turut memerangi bangsa Moro ternyata tetap saja menemui kegagalan dan tidak membuahkan hasil, sehingga kedaulatan bangsa Moro dari penjajahan asing tetap utuh.
b) Masa Imperialisme Amerika Serikat
Amerika Serikat (AS) mendapatkan kepulauan Filipina dengan membelinya seharga US$ 20 juta ketika Spanyol menjualnya pada AS pada tahun 1898 melalui Traktat Paris. Namun, penjualan ini pada dasarnya tidak dapat dianggap sah atau tidak berlaku bagi Mindanao karena Mindanao sendiri tidak dapat ditaklukan oleh kolonialis Spanyol sehingga tidak termasuk dalam koloni Spanyol, sehingga Spanyol menjual kepulauan di selatan Filipina ini hamnya dengan klaim bahwa seluruh Filipina termasuk Mindanao merupakan wilayah koloni Spanyol. Sehingga hal ini akan berakibat pada AS sendiri dimana AS akan mengalami serentetan pertempuran dari tahun 1914-1923 dengan bangsa Moro karena bangsa ini terus melakukan perlawanan terhadap penjajah AS yang dating sebagai penjajah baru menggantikan kaum penjajah sebelumnya, yakni Spanyol.
Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya. Secara tidak sah dan tak bermoral Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 melalui Traktat Paris.

Klaim Spanyol atas dua kepulauan tersebut jika dilihat pada masa penjajahan Filipina oleh Amerika Serikat ternyata Amerika Serikat sendiri telah memiliki cara tersendiri untuk ‘menundukkan’ orang-orang Moro, mereka dating dengan damai dan memperlihatkan diri sebagai sosok yang bersahabat. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat sedang disibukkan oleh pemberontakan Emilio Eguinaldo. Baru setelah pemberontakan Eguinaldo berhasil ditumpas oleh AS, AS mulai berani melakukan campur tangan dan penjajahan terbuka terhadap bangsa Moro, dan akibatnya bangsa Moro pun melalkukan serentetan perlawanan seperti yang telah disebutkan di paragraph awal.
Karena Amerika Serikat melihat bahwa tekanan senjata tidak efektif, merekapun melancarkan penjajahan gaya baru dengan melakukan ‘asimilasi’ melalui pendidikan. Hasilnya, budaya dan arus pemikiran Barat pun menjalar di masyarakat Moro sehingga bangsa Moro yang baru setelah diinfiltrasi melalui pemikiran ini terpecah-pecah, tidak bersatu padu seperti sebelumnya, sehingga merika Serikat dapat menghadapi ancaman mereka dengan lebih mudah.
c) Fase Peralihan
Sebelum Amerika Serikat memberikan kemerdekaan dan meninggalkan Filipina, pada masa yang singkat ini merupakan fase peralihan dari imperialism Amerika Serikat menuju kemerdekaan Filipina. Amerika Serikat meninggalkan jejak di Filipina dengan menerapkan sebuah hokum dimana hukum tersebut merupakan hokum yang digunakkan sebagai alat untuk menyita tanah-tanah milik umat Islam Moro. Akibat dari tindakan ini adalah tanah yang menjadi komponen utama di sebuah masyarakat agraris dimana tanah merupakan sumber penghasilan keseharian sekaligus mata pencaharian tidak lagi dimiliki oleh orang-orang Islam sehingga dapat berdampak pada perekonomian mereka.Yang lebih buruk lagi, tanah-tanah itu diambil alih oleh para pemodal-pemodal asing Amerika Serikat yang mengambil alih tanah tersebut, dan hal ini merupakan penjajahan ekonomi Amerika Serikat terhadap bangsa Moro.
Namun hal yang lebih buruk pada fase peralihan ini adalah ketika senator Manuel L. Quezon menerapkan kebijakan dengan memperbanyak jumlah bangsa Filipina non-Muslim di Mindanao sehingga dalam waktu berikutnya umat Islam di Mindanao pun menjadi minoritas di tanah kelahirannya sendiri, sebagaimana termaktub dalam paragraph berikut:
Manuel L. Quezon, seorang senator, (1936-1944) berusaha memperbanyak jumlah bangsa Filipina non-Muslim. Konsep penjajahan AS melalui koloni diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu AS hengkang dari negeri tersebut. Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka sendiri.

Maka dari itu, jika ada anggapan bahwa Amerika Serikat tidak memperlakukan negara lain (koloni) sebagai jajahan sebagaimana banga Eropa, hal itu merupakan sebuah kemustahilan, karena pada kenyataannya Filipina justru diinfiltrasi secara pemikiran dan ekonomi oleh Amerika Serikat sehingga di kemudian hari bangsa Filipina ini sendiri akan ‘menjajah’ bangsa minoritas di negerinya sendiri yang dalam sejarahnya merupakan etnis ilipina yang paling gigih dalam melawan penjajah.
d) Fase Kemerdekaan
Kemerdekaan bangsa Filipina ternyata tidak memberikan kemerdekaan pula terhadap bangsa Moro, Pemerintah Filipina sendiri ternyata menjadi penjajah baru bagi bangsa Moro, sehingga hal ini memicu munculnya gerakan-gerakan perlawanan yang terorganisir dari bangsa Moro sendiri, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF.
Namun, ironisnya, terpecahnya gerakan-gerakan perlawanan bangsa Moro ini sekalipun masing-masing gerakan memiliki organisasi yang rapih, namun di satu sisi memperlemah kekuatan perlawanan karena dalam penerapan cara untuk kemerdekaan pada kenyataannya seringkali berlawanan. Selain itu, perbedaan ideologis masing-masing gerakan akibat infiltrasi pemikiran Imperialisme Amerika Serikat di Filipina turut memberikan pengaruh pada perbedaan-perbedaan ideology tersebut.
Akibatnya sangat terasa sampai sekarang, karena meskipun telah ratusan tahun bangsa Moro telah berjuang menghadapi kaum penjajah baik itu kaum kolonialis Spanyol, Imperialis Amerika Serikat, dan yang terakhir pemerintah Filipina sendiri, namun bangsa Moro sekalipun dikenal sebagai bangsa yang gigih dalam melakukan perlawanan belum dapat meraih kemerdekaan secara penuh dan utuh hingga sekarang.



DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. (2005). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Prenada Media.
Mubarok, Jaih. (2008). Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka Islamika.
Reid, Anthony. (2004). Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
Yatim, Badri. (2008). Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Sumber Internet
Ciw. (2009). Sejarah Masuknya Islam di Filipina [Online]. Tersedia: http://www.suaramedia.com/sejarah-islam/sejarah-masuknya-islam-di-filipina.html. [15 Agustus 2009].
VoA-Islam. (2009). Sejarah Asia Tenggara (3) : Awal Mula Masuknya Peradaban Islam [Onlinbe]. Tersedia: http://www.voa-islam.com/news/se-asia/2009/07/09/175/sejarah-asia-tenggara-(3awal-mula-masuknya-peradaban-islam/. [15 Agustus 2009].
Zunainingsih, Memik. (2009). Perspektif Islam di Asia Tenggara [Online]. Tersedia: http://memik.blog.uns.ac.id/2009/04/20/perspektif-islam-di-asia-tenggara/. [15 Agustus 2009].
_____. (2009). Muslim Moro: Dari Satu Penjajah ke Penjajah Lainnya [Online]. Tersedia: www.eramuslim.com/gerakan-dakwah/muslim-moro-dari-satu-penjajah-ke-penjajah-lainnya.htm. [15 Agustus 2009].

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS