RSS

Pendidikan dan Keluarga:(Peranan Orangtua (keluarga) terhadap Pengaruh Media Televisi pada Anak)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat, atau suatu organisasi bio-psiko-sosio-spiritual dimana anggota keluarga terkait dalam suatu ikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukan ikatan yang sifatnya statis dan membelenggu dengan saling menjaga keharmonisan hubungan satu dengan yang lain atau hubungan silaturrahim. Ia merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku yang penting bagi kehidupan pribadi dan masyarakat sehingga kemajuan suatu bangsa ditentukan pula oleh pembinaan anak dalam keluarga. Dalam konteks pendidikan, keluarga berperan sebagai tempat pembinaan akhlak anak, pembinaan intelektual, pembentukan kepribadian.
Pembinaan akhlak dan kepribadian merupakan satu kesatuan utuh yang dilakukan melalui contoh dan teladan dari orangtua. Perilaku sopan santun orang tua dalam pergaulan dan hubungan antara ibu, bapak dan masyarakat. Pada tahap ini anak merupakan individu yang sedang melakukan imitasi (meniru) dari perilaku orang-orang dewasa dan lingkungannya. Peran keluarga pada tahap ini sangat penting karena akan berpengaruh terhadap persepsi dan psikologis anak. Sementara peran intelektual dalam keluarga berupaya untuk meningkatkan kualitas manusia, baik intelektual, spiritual maupun sosial karena manusia yang berkualitasakan mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah
Namun tidak semua keluarga menjalankan peran tersebut. Kesibukan dan aktivitas orang tua terkadang mengalihkan peranan mereka sebagai figur yang dominan dengan keluarga. Selain itu tingkat pendidikan orang tua pun turut menentukan kualitas mendidik. Terutama pemahaman mereka terhadap media hiburan seperti Televisi yang saat ini merupakan media populer yang turut mempengaruhi karakter anak terutama dalam hal pendidikannya. Televisi telah menjadi "agama baru" yang khotbahnya didengar dengan penuh keharuan dan disaksikan penuh hikmat oleh jemaat yang lebih besar daripada jemaat mana pun.
Menurut data penelitian di Amerika Serikat, anak usia satu tahun yang mengonsumsi televisi selama tiga jam sehari dapat stimulus berlebihan. Hal ini mengakibatkan anak terganggu konsentrasinya dan tidak fokus saat mengerjakan sesuatu, melahirkan sifat agresif atau impulsif, termasuk mengikuti adegan-adegan berbahaya di televisi. Selain itu, data statistik Amerika Serikat menyebutkan bahwa sampai tamatan SMA telah menghabiskan waktu sekitar 15.000 jam untuk menonton televisi. Jumlah waktu tersebut lebih banyak daripada waktu yang digunakan untuk kegiatan apa pun kecuali tidur. Di Indonesia, anak rata-rata menonton televisi selama 3 jam sehari maka dalam setahun ia sudah menghabiskan waktu sekitar 1.095 jam. Apabila sejak umur 4 atau 5 tahun sudah mulai menonton, maka pada waktu ia lulus SMA, sama seperti di Amerika, ia juga sudah menghabiskan sekitar 15.000 jam untuk menonton televisi.
Lukman Hakim (http://lukmannulhakim.multiply.com/journal/item/11) mengungkapkan bahwa ”dari penelitian terhadap 260 anak-anak sekolah dasar di Jakarta, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) membuktikan, televisi ternyata medium yang banyak ditonton dengan alasan paling menghibur”. Hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan acara anak-anak di seluruh televisi swasta hanya 32 jam dari kebiasaan anak-anak Indonesia menonton selama 68 jam dalam sepekan. Ini berarti selama 36 jam anak-anak menonton acara televisi yang sebenarnya tidak pantas ditonton oleh mereka. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak tidak mungkin diisolasi dari tayangan televisi. Sifat audio visual yang melekat pada televisi sangat efektif dalam merekam kejadian, peristiwa atau khayalan sehingga kekuatan mengingat dapat mencapai 50%.
Dengan demikian, televisi menjadi media aktif dalam mempengaruhi pikiran anak. Ini dapat berdampak positif maupun negatif. Bagi media pembelajaran televisi dapat berperan positif yang dapat memberikan pesan-pesan edukatif dalam aspek kognitif, apektif, ataupun psikomotor. Pesan-pesan instruksional seperti percobaan di laboratorium, teknik close-up, penggunaan grafis atau animasi, sudut pengambilan gambar, teknik editing, serta trik-trik lainnya dapat menimbulkan kesan tertentu sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Media televisi dapat berpengaruh negatif ketika anak berada pada posisi pasif dan tidak kritis, hanya menerima pesan televisi sehingga apa yang ia tonton dianggap sebagai kewajaran, karena pada usia dini anak belum memiliki batasan nilai. Akibatnya ia akan meniru apapun yang ditayangkan oleh televisi termasuk tontonan yang bermuatan kekerasan. Hal ini akan berdampak pada pembentukan perilakunya di masyarakat. Maka menurut penulis, peran orang tua dalam menyikapi hal ini sangatlah penting. Pendidikan anak dalam keluarga adalah lebih utama dalam mentransformasikan nilai-nilai sosial dan pendidikannya. Anak ibarat kertas putih yang dapat ditulisi dan diwarnai dengan warna apapun tergantung kita yang mewarnainya.
Dengan demikian, beberapa hal yang telah diuraikan diatas menjadi daya tarik penulis dalam mengkaji permasalahan mengenai ”Pendidikan dan Keluarga:Peranan Orangtua (keluarga) terhadap Pengaruh Media Televisi pada Anak”.

1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan pendidikan dalam keluarga ?
2. Bagaimana hubungan pendidikan dan keluarga?
3. Bagaimana peranan orangtua (keluarga) terhadap pengaruh media televisi pada anak?

1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan secara umum, yaitu:
1. Mendeskripsikan peranan pendidikan dalam keluarga.
2. Mendeskripsikan hubungan pendidikan dan keluarga.
3. Mendeskripsikan peranan orangtua (keluarga) terhadap pengaruh media televisi pada anak.

1.4 Sistematika Penulisan
`Hasil dari kajian ini akan disusun kedalam empat bab yang terdiri dari Pendahuluan, Landasan Teoritis, Pembahasan dan Kesimpulan. Adapun fungsi dari pembagian ini bertujuan memudahkan penulis dalam mensistematisasikan dalam memahami penulisan.
Bab 1 Pendahuluan.
Bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang masalah yang di dalamnya berisi penjelasan mengapa masalah yang dikaji muncul dan penting serta mengenai alasan pemilihan masalah tersebut sebagai judul. Pada bab ini juga berisi perumusan masalah yang disajikan dalam bentuk pertanyaan untuk mempermudah penulis mengkaji dan mengarahkan pembahasan, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
Bab 2 Landasan Teoritis
Bab ini memaparkan landasan teori yang penulis anggap memiliki keterkaitan dan relevan dengan masalah yang dikaji yaitu mengenai ”Pendidikan dan Keluarga.
Bab 3Pembahasan
Pendidikan dan Keluarga
Bab ini merupakan isi utama dari tulisan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Hubungan Pendidikan dan Keluarga serta mengangkat Peranan Orangtua (keluarga) terhadap Pengaruh Media Televisi pada Anak.
Bab 4 Kesimpulan.
Bab ini mengemukakan kesimpulan yang merupakan jawaban serta analisis penulis terhadap masalah-masalah secara keseluruhan yang merupakan hasil dari kajian. Hasil akhir ini merupakan pandangan serta interpretasi penulis mengenai inti dari pembahasan. Pada bab ini penulis mengemukakan beberapa kesimpulan yang didapatkan setelah mengkaji permasalahan yang telah diajukan sebelumnya.


BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Pendidikan
Kata pendidikan menurut etimologi berasal dari kata dasar didik. Apabila diberi awalan me-, menjadi mendidik maka akan membentuk kata kerja yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran). Sedangkan bila berbentuk kata benda akan menjadi pendidikan yang memiliki arti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Chulsum dan Novia, 2006: 195). Menurut UU no.20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secar aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara (Landasan Pendidikan, 2007: 215).

2.2 Pengertian Keluarga
Kata keluarga dapat diambil kefahaman sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, atau suatu organisasi bio-psiko-sosio-spiritual dimana anggota keluarga terkait dalam suatu ikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukan ikatan yang sifatnya statis dan membelenggu dengan saling menjaga keharmonisan hubungan satu dengan yang lain atau hubungan silaturrahim. Sementara satu keluarga dalam bahasa Arab adalahal-Usrohyang berasal dari kata al-asruyang secara etimologis mampunyai arti ikatan.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga adalah orang yang menjadi penghuni rumah, seisi rumah; bapak besarta ibudan anak-anaknya; satuan kekerabatan yang mendasar dalam masyarakat (Chulsum dan Novia, 2006: 360).

2.3 Bentuk-bentuk Keluarga
Goode (dalam http://notok2001.blogspot.com) dapat mengklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk-bentuk keluarga:
1) Keluarga nuklir (nuclear family) sekelompok keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang belum memisahkan diri membentuk keluarga tersendiri.
2) Keluarga luas (extentended family) yaitu keluarga yang terdiri dari semua orang yang berketurunan dari kakek, nenek yang sama termasuk dari keturunan masing-masing istri dan suami.
3) Keluarga pangkal (sistem family) yaitu jenis keluaarga yang menggunakan sistem pewarisan kekayaan pada satu anak yang paling tua, seperti banyak terdapat di Eropa pada zaman Feodal, para imigran Amerika Serikat, zaman Tokugawa di Jepang, seorang anak yang paling tua bertanggungjawab terhadap adik-adiknya yang perempuan sampai ia menikah, begitu pula terhadap saudara laki-laki yang lainnya.
4) Keluarga gabungan (joint family) yaitu keluarga yang terdiri dari orang-orang yang berhak atas hasil milik keluarga, mereka antara lain saudara laki-laki pada setiap generasi, dan sebagai tekanannya pada saudara laki-laki, sebab menurut adat Hindu, anak laki-laki sejak lahirnya mempunyai hak atas kekayaan keluarganya

2.4 Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga, Menurut WHO (1978 dalam wordpress.com) adalah sebagai berikut:
1) Fungsi Biologis
a) Untuk meneruskan keturunan;
b) Memelihara dan membesarkan anak;
c) Memenuhi kebutuhan gizi kleuarga;
d) Memelihara dan merawat anggota keluarga;
2) Fungsi Psikologis
a) Memberikan kasih sayang dan rasa aman;
b) Memberikan perhatian diantara anggota keluarga;
c) Membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga;
d) Memberikan identitas keluarga.
3) Fungsi Sosialisasi
a) Membina sosialisasi pada anak;
b) Membina norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkah perkembangan anak;
c) Meneruskan nilai-nilai keluarga;
4) Fungsi Ekonomi
a) Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga;
b) Pengaturan dan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga;
c) Menabung untuk memenuhi kebutuhah keluarga di masa yang akan datang. Misalnya : pendidikan anak, jaminan hari tua.
5) Fungsi Pendidikan
a) Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki;
b) Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa;
c) Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya.


BAB 3
PENDIDIKAN DAN KELUARGA

3.1 Hubungan Pendidikan dan Keluarga
Keluarga sebagai persekutuan hidup adalah lingkungan pendidikan yang pertama, dasar alasannya itensitas dan tanggung jawab pendidikan yang diemban dan dilaksanakan orangtuanya yang disebut tanggungjawab yang kodrati.
Pendidikan di dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak. Anak menurut kamus Sosiologi adalah sesseorang yang menurut hukum mempunyai usia tertentu, sehingga dianggap hak dan kewajibannya terbatas pula (Soekanto, 1983).
Anak sejak lahir dan ketika masih kecil berada dibawah pengaruh orangtuanya. Pengaruh orangtuanya tersebut membawa garis pembimbing hidup yang salah satunya menentukan bahagia atau tidaknya seseorang dalam hidupnya.
Oleh karena itu, para orang tua harus betul-betul membina anak-anaknya sehingga menjadi anak yang sholeh yang pada akhirnya terbentuklah keluarga sakinah yang bisa mengantarkan kepada terbentuknya negara yang sejahtera.
Adapun hubungan pendidikan dan keluarga dapat dilihat melalui beberapa hal dibawah ini yaitu sebagai berikut:
1) Pembinaan Akidah dan Akhlak
Akhlak adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk perilaku, pendidikan dan pembinaan akhlak anak. Keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua. Perilaku sopan santun orang tua dalam pergaulan dan hubungan antara ibu, bapak dan masyarakat. Dalam hal ini setiap individu akan selalu mencari figur yang dapat dijadikan teladan ataupun idola bagi mereka.
2) Pembinaan Intelektual
Pembinaan intelektual dalam keluarga memgang peranan penting dalam upaya meningkatkan kualitas manusia, baik intelektual, spiritual maupun sosial.
3) Pembinaan Kepribadian dan Sosial
Pembentukan kepribadian terjadi melalui proses yang panjang. Proses pembentukan kepribadian ini akan menjadi lebih baik apabila dilakukan mulai pembentukan produksi serta reproduksi nalar tabiat jiwa dan pengaruh yang melatarbelakanginya. Mengingat hal ini sangat berkaitan dengan pengetahuan yang bersifat menjaga emosional diri dan jiwa seseorang. Dalam hal yang baik ini adanya kewajiban orang tua untuk menanamkan pentingnya memberi dukungan kepribadian yang baik bagi anak didik yang relatif masih muda dan belum mengenal pentingnya arti kehidupan berbuat baik, hal ini cocok dilakukan pada anak sejak dini agar terbiasa berprilaku sopan santun dalam bersosial dengan sesamanya. Untuk memulainya, orang tua bisa dengan mengajarkan agar dapat berbakti kepada orang tua agar kelak si anak dapat menghormati orang yang lebih tua darinya.

3.2 Peranan Pendidikan dalam Keluarga
Keluarga amat sangat berperan terhadap pendidikan. Hal tersebut dapat dilihat melalui peranannya yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai peletak dasar filsafat hidup dan keagamaan
2. Keluarga sebagai pembentu watak, moral dan kepribadian
3. Sebagai agen pendidikan ekonomi
4. Sebagai agen sosialisasi: penghubung mereka dan masyarakat
5. Sebagai agen pendidikan politik.
6. Keluarga berperan sebagai pelindung dan pendidik anggota-anggota keluarganya.
7. Sebagai pendidik orangtua memegang peranan penting sebagai penyambung, pemyaring dan penafsir kehidupan masyarakat dan kebudayaan terhadap anaknya. Peranan tersebut, dapat dirinci sebagai berikut:
a. Sebagai jembatan yang menghubungkan dunia anak dan dunia dewasa
b. Menghubungkan anak dengan dunia nilai dan dengan masyarakatnya
c. Sebagai pengamat sifat dan perkembangan anak
d. Memonitor dan mengawasi kelangsungan pendidikan, mengadakan dan melengkapi dana dan fasilitas
8. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki;
9. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa;
10. Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya.
Adapun keluarga yang salah satu fungsinya seperti yang dikemukakan Melly Rifa’i (Abdulhak, 1998:191) sebagai pendidik anak, yaitu bahwa keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama bagi anak, shingga pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya sangat dipengaruhi oleh kehidupan keluarga tersebut. Pendidikan dalam keluarga meliputi berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangan jasmani, akhlak, agama dan sopan santun. Sedangakan fungsi keluarga sebagai sosialisasi anak, yaitu mendidik anak dengan harapan mengembangkan prinsip sosialitas dalam rangka mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.

3.3 Tujuan Pendidikan dalam Keluarga
Orangtua merupakan pendidik dan guru pertama dan terutama bagi seorang anak, sehingga pendidikan bagi seorang anak diawali dengan pendidikan melalui keluarga..
Adapun tujuan pendidikan keluarga menurut Kartini Kartono (Abdulhak: 1998), yaitu sebagai berikut:
1. Peghormatan dan kepatuhan pada orangtua yang akan menjadi basis kepatuhan pada kewibawaan dan kekuasaan formal ditengah masyarakat.
2. Pencapaian kesejahteraan lahir bathin bagi segenap anggota keluarga sekarang dan masa yang akan datang.
3. Membangkitkan kecerdasan/intelektual, loyalitas keluarga, solidaritas, kolektivitas/kegotongroyongan familial diantara segenap anggota keluarga untuk menghadapi pengaruh-pengaruh eksternal yang sering mengganggu integritas keluarga .

3.4 Peranan Orangtua (keluarga) terhadap Pengaruh Media Televisi pada Anak
3.4.1 Dampak Televisi terhadap anak
Televisi merupakan benda yang hampir dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia bahkan sudah menjadi kebutuhan sekunder. Dengan adanya TV masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan informasi dan hiburan dengan tayangan-tayangan yang disajikan. Bagi anak-anak TV dapat menjadi penambah pegetahuan dengan menyaksikan tayangan pendidikan. Media pembelajaran televisi dapat berperan positif yang dapat memberikan pesan-pesan edukatif dalam aspek kognitif, apektif, ataupun psikomotor. Pesan-pesan instruksional seperti percobaan di laboratorium, teknik close-up, penggunaan grafis atau animasi, sudut pengambilan gambar, teknik editing, serta trik-trik lainnya dapat menimbulkan kesan tertentu sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan Namun pada kenyataannya, anak-anak lebih suka menonton film kartun dan sinetron dibandingkan dengan menonton tayangan pendidikan. Dari TV anak-anak dapat menyaksikan semua tayangan, bahkan termasuk yang belum layak mereka tonton, mulai kekerasan dan kehidupan seks dan memberikan banyak dampak negatif terhadap anak-anak, seperti:
1. Maraknya iklan berbagai produk yang melebih-lebihkan keunggulan produk yang tidak sesuai dengan kenyataannya dapat menyebabkan anak menjadi konsumtif.
2. Menurut Elly Risman, tayangan TV mempengaruhi perkembangan kecerdasan, kemampuan berpikir dan imajinasi anak yang disebabkan kehadiran dua stimulus terus-menerus melalui bunyi dan gambar.
3. Banyaknya film kartun yang tidak layak disaksikan oleh anak-anak karena banyak memberikan penggambaran mengenai kekerasan fisik, kekuatan gaib atau mistik, serta penggambaran nilai dan moral yang tidak eksplisit. Film kartun tersebut 84% merupakan film kartun Jepang. Dalam sebuah artikel disebutkan beberapa judul film kartun yang tidak layak disaksikan oleh anak-anak, seperti: Shaman King, Samurai X, Super Gals, dan Hunter X Hunter karena dinilai mengandung materi tidak layak bagi penonton anak-anak. Selain itu film Spongebob Squarepants juga merupakan film yang tidak layak bagi anak-anak karena dianggap terlalu banyak menampilkan kekerasan dan bahasa kasar yang bersifat merendahkan orang lain dan masih banyak lagi film kartun yang tidak layak disaksikan oleh anak-anak.
4. Dengan kebiasaan banyak menonton TV tanpa kontrol, mata anak akan mudah lelah. Kelelahan ini akan mempengaruhi fisik anak secara keseluruhan, sehingga menyebabkan ia malas melakukan banyak hal seperti belajar, bermain, olah raga dan dapat mengurangi konsentrasi anak.
5. Dr. Endang Darmoutomo, MS, SpGK, mengungkapkan kecenderungan menonton TV terlalu lama akan meningkatkan angka obesitas pada anak-anak. Pasalnya selama menonton TV anak lebih banyak ngemil dan tidak melakukan aktivitas olah tubuh.
6. Hanya dari menonton televisi saja otak kehilangan kesempatan mendapat stimulasi dari kesempatan berpartisipasi aktif dalam hubungan sosial dengan orang lain, bermain kreatif dan memecahkan masalah. Selain itu TV bersifat satu arah, sehingga anak kehilangan kesempatan mengekplorasi dunia tiga dimensi serta kehilangan peluang tahapan perkembangan yang baik.

3.4.2 Peranan Orangtua (keluarga) untuk membentengi Pengaruh Negatif Media Televisi pada Anak
Secara umum, orang tua memegang peranan penting sebagai penyambung dan penafsir kehidupan masyarakat dan kebudayaan terhadap anaknya. Anak mempelajari status sosialnya dalam lingkungan keluarganya melalui perbuatan dan pola berpikir dan perbuatan orangtuanya. Ketidakberdayaan anak pada waktu kecil membuatnya lebih banyak bergantung pada orang disekitarnya (Soelaeman: 1994). Pada saat anak menginjak usia kanak-kanak ataupun remaja, lingkungan keluarga tetap memegang peranan penting, sebagai pembentuk karakter, moral, akhlak, dan kepribadian anak.
Disadari atau tidak, media televisi sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter kepribadian anak. Media televisi yang selalu menyuguhkan tayangan-tayangan hiburan selama 24 jam telah membuat anak-anak kian konsumtif terhadap suguhan-suguhan yang dihadirkannya. Padahal, salah satu peran media adalah sarana informatif bagi anak untuk menambah wawasan dan pengetahuannya. Kini, media televisi telah merasuki sebagian besar anak-anak baik itu yang bersifat positif maupun negatif.
Terkadang stasiun televisi kurang memperhatikan jam penayangan. Padahal jam-jam pagi, siang dan sore merupakan waktu yang sering dipakai anak dalam menonton TV. Oleh karena itu, untuk menenkan hal-hal negatif dan menumbuhkan hal-hal positif dari media televisi perlu bimbingan dari orangtua sebagai lingkungan pendidikan pertama.
Adapun peranan orangtua terhadap pengaruh media pada anak, khususnya untuk membentengi pengaruh media televisi terhadap anak adalah sebagai berikut:
1. Memberikan kesiapan anak untuk menyeleksi dan menangkap pesan ynag disampaikan media massa itu, mana yang patut dan mana yang tidak layak diterimanya
2. Berperan sebagai penafsir pesan-pesan tersebut melalui pemberian beberapa catatan dan interupsi, menerima dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pembicaraan, diskusi yang mungkin dilaksanakan pada saat menonton bersama secara santai.
3. Memberdayakan posisi orangtua dan anak dalam interaksi dengan media televisi. Misalnya, dengan menumbuhkan sikap kritis terhadap media televisi.
4. Mendampingi anak saat menonton televisi. Hal ini untuk memberikan bimbingan orangtua terhadap konsumsi hiburan yang ditonton anak di televisi.
5. Mengusahakan agar media televisi hanya menjadi bagian kecil dari keseimbagan hidup anak. Yang penting, anak-anak mempunyai cukup waktu untuk belajar, bermain, beribadah, beristirahat dan menikmati aktifitas bersama keluarga.
6. Tidak membiarkan anak untuk terlibat lebih mendalam dengan televisi, karena anak akan menjadi lebih sulit melepaskan dunia hiburan dari hidupnya.
7. Mengikutsertakan anak dalam membuat batasan-batasan, seperti menetapkan apa, kapan dan seberapa banyak acara televisi yang ditontonnya. Ini bertujuan agar anak menjadikan kegiatan menonton televisi hanya sebagai pilihan alternatif bukan kebiasaan.
8. Orang tua harus mengetahui acara televisi yang akan ditonton anaknya. Usia dan kedewasaan anak harus dijadikan pertimbangan yang disesuaikan dengan kebutuhan menonton televisinya.
9. Sering mengadakan acara keluarga untuk meningkatkan intensitas komunikasi keluarga yang sehat.
10. Mendisiplinkan anak sedini mungkin, terutama pada anak yang sudah sekolah, misalnya menonton TV setelah selesai belajar dan tidak lebih lama dari belajar.
11. Jadikan hobi anak sebagai suatu kegiatan orang tua-anak yang potensial.
12. Melatih kepekaan anak sedini mungkin, dalam membedakan pengertian antara kebutuhan dan keinginan, dan membiasakan anak-anak untuk menghargai barang miliknya sehingga tidak muncul kebiasaan baru, yaitu suka berganti-ganti barang atau merek dengan fasilitas yang bervariasi. Hal ini juga dimaksudkan untuk menangkal pengaruh persuasif dari media lain selain televisi (majalah, koran dan sebagainya).


BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Keluarga memegang peranan penting dalam pendidikan. Keluarga sebagai jalur pendidikan informal dan lingkungan pendidikan pertama yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter, moral dan kepribadian anak. Hal tersebut menjadikan keluarga harus mampu memainkan peranannya dalam mendidik anak untuk membentuk generasi masa depan yang berkualitas.
Dalam perkembangannya, banyak sekali pengaruh-pengaruh yang membentuk kepribadian dan karakter anak selain lingkungan keluarga. Seiring pesatnya globalisasi, pengaruh media menjadi salah satu bagian dari lingkungan yang tak dapat dielakkan. Televisi merupakan salah satu media yang sangat berpengaruh terhadap pembentukkan moral dan kepribadian anak. Banyak sekali anak yang berlama-lam menghabiskan waktunya didepan televisi.
Tayangan-tayangan televisi kerapkali berbau negatif dan tak sesuai dengan perkembangan anak dan tak layak untuk dikonsumsi anak-anak. Oleh karena itu, keluarga dalam hal ini orangtua, dituntut untuk dapat mendampingi dan memberikan bimbingan pada anak saat menonton televisi. Orangtua harus turut membantu menyeleksi bagian-bagian yang positif dan negatif dari tayangan tersebut. Keluarga dalam hal ini, berperan sebagai pendidik terhadap pengaruh media televisi pada anak.


DAFTAR PUSTAKA

Abdulhak, I, et al. (1998). Landasan Sosiologi Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.
Bahri-Djamarah, S. (2004). Pola Komunikasi Orangtua dan Anak dalam Keluarga-Sebuah Persfektif Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta
Soelaeman, M.I. (1994). Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: Alfabeta.
Nasution. (1983). Sosiologi Pendidikan. Bandung: Jemmars.
Perquin-Russen. (1982). Pendidikan Keluarga dan Masalah Kewibawaan. Bandung: Jemmars.
Soekanto, S. (1982). Sosiologi Suatu Pngantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Soekanto, S. (1983). Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali.

Sumber Internet:
http://creasoft.files.wordpress.com/2008/04/keluarga.pdf (06 Mei 2009).
http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/jdkv/2004/jiunkpe-ns-s1-2004-424000128313 kritis_tv-conclusion.pdf (06 Mei 2009).
Daftar Referensi
Chulsum, Umi., Novia, Windy. (2006). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Yoshiko Press.
Subkoordinator MKDP Landasan Pendidikan. (2007). Landasan Pendidikan. Bandung: UPI:
____. (2007). Pendidikan Dalam Keluarga [Online]. Tersedia: http://notok2001.blogspot.com/2007/07/pendidikan-dalam-keluarga.html. [6 Mei 2009].
____. (___). Definisi keluarga [Online]. Tersedia: http://72.14.235.132/search?q=cache:8-dQ7gO043kJ:creasoft.files.wordpress.com/2008/04/keluarga.pdf+definisi+keluarga&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a. [6 Mei 2009].









________________________________________

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PANJANG JIMAT SEBAGAI ENTITAS LOKAL KERATON KASEPUHAN CIREBON DAN PERUBAHANNYA (SUATU KAJIAN HISTORIS, SOSIAL, EKONOMI, BUDAYA)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara multikultural yang terdiri dari berbagai macam ras, suku, agama, bahasa, dan etnis. Dalam keberagaman tersebut terdapat sebuah identitas Nasional yang menjadi kebanggaan Negara Indonesia. Keberagaman tersebut merupakan bukti kekayaan bangsa Indonesia yang menghasilkan kebudayaan Nasional. Kebudayaan Nasional itu sendiri terdiri dari kebudayaan-kebudayaan Lokal yang dihasilkan di berbagai daerah di Indonesia.
Salah satu bentuk kebudayaan Nasional adalah sistem ritual upacara keagamaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Upacara Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan salah satu bentuk kebudayaan lokal yang ikut memperkaya kebudayaan Nasional Indonesia. Upacara Panjang Jimat sudah dilaksanakan sejak Keraton Kasepuhan didirikan dan terus berlangsung sampai sekarang.
Pelaksanaan Upacara ini memang terus berlangsung sampai sekarang, namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi nilai-nilai lama dalam upacara tersebut yang semula menjadi acuan masyarakat menjadi goyah akibat masuknya nilai-nilai baru dari luar. Upacara tradisional sebagai nilai-nilai lama masyarakat pendukungnya lambat laun akan terkikis oleh pengaruh modern dan nilai-nilai baru tersebut. Dengan kata lain mungkin upacara tradisional mengalami perubahan atau pergeseran akibat pengaruh modern tersebut (Ani Rostiyati dkk, 1995: 2).
Untuk mengkaji permasalahan tersebut sangat pening diadakan penelitian tentang perubahan atau pergeseran upacara tradisional yang terjadi masa sekarang. Sebelum kita mengkaji lebih dalam penyebab permasalahan tersebut, maka kita harus melihat seberapa jauh perubahan itu terjadi dengan menggunakan kajian historis. Setelah itu maka kita bisa mencari akar penyebab terjadinya perubahan tersebut dan menemukan kesimpulan akhir apakah benar perubahan tersebut menuju ke arah positif atau ke arah negatif dan kita bisa menemukan jalan keluar permasalahan tersebut. Dengan memperhatikan pertimbangan tersebut maka kami mengangkat makalah ini dengan judul “Upacara Panjang Jimat Sebagai Entitas Lokal Keraton Kasepuhan Cirebon dan Perubahannya (Sebuah Kajian Historis, Sosial, dan Ekonomi)”.

1.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini kami membuat beberapa rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan. Rumusan masalah dapat membatasi pembahasan agar tidak melebar. Adapun Rumusan masalah yang kami tetapkan adalah:
1. Bagaimana awal mula munculnya Maulid Nabi sebagai akar dari panjang Jimat, proses penyebarannya ke Jawa, serta perkembangannya sehingga menjadi sebuah Upacara Panjang Jimat?
2. Latar belakang apa saja yang menyebabkan perubahan Upacara Panjang Jimat?
3. Seberapa besar perubahan yang terjadi dalam Upacara Panjang Jimat saat ini dibandingkan dengan keberadaannya di awal kemunculannya?
4. Bagaimana dampak Upacara Panjang Jimat terhadap kehidupan masyarakat sekitar keraton kasepuhan di bidang sosial dan ekonomi?

1.3. Tujuan penulisan
Adapun tujuan yang ingin di capai dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menjawab rumusan masalah diatas, yakni:
1. Menjelaskan awal mula munculnya Maulid Nabi sebagai akar dari Panjang Jimat, proses penyebarannya ke Jawa, serta perkembangannya sehingga menjadi sebuah Upacara Panjang Jimat;
2. Mengetahui latar belakang yang menyebabkan perubahan Upacara Panjang Jimat;
3. Menjelaskan perubahan yang terjadi dalam Upacara Panjang Jimat saat ini dibandingkan dengan keberadaannya di awal kemunculannya;
4. Menjelaskan dampak Upacara Panjang Jimat terhadap kehidupan masyarakat sekitar keraton kasepuhan di bidang sosial dan ekonomi.

1.4. Metode Penulisan
Adapun penulisan makalah yang kami buat ini adalah dengan menggunakan metode analisis kritis. Penulisan dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan bahasan baik sumber tulisan, lisan, dan wawancara langsung dengan abdi dalem Keraton Kasepuhan; Pengkritikan terhadap kebenaran sumber tersebut baik kritik eksternal maupun kritik internal; Menginterpretasikan sumber-sumber yang didapat, dan menyusunya dalam sebuah historiografi. Kami berusaha menampilkan sebuah kajian sejarah lokal yang kritis dengan interpretasi yang mendalam.

1.5. Sistematika Penulisan Makalah
Untuk menguraikan isi dari makalah ini, kami membuat sistematika penulisan untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi makalah. Dimulai dengan kata pengantar kemudian dilanjutkan dengan Bab 1 Pendahuluan, Bab 2 Pembahasan, Bab 3 Kesimpulan dan Saran, dan terahir Daftar pustaka.
Dalam Bab 1 Pendahuluan berisi latar belakang masalah yang menjadi pendorong dibuatnya makalah ini, rumusan masalah sebagai batasan kajian, tujuan penulisan makalah yang ingin dicapai dari penulisan, metode penulisan yang digunakan dalam penelition, dan sistematika penulisan.
Dalam bab dua berisi pembahasan tentang Sejarah Singkat Cirebon dan Keraton Kasepuhan yang meliputi Sejarah Singkat Cirebon, Sejarah Singkat Keraton Kasepuhan. Awal Mula Kemunculan Maulid Nabi dan Penyebarannya di Jawa, Prosesi Panjang Jimat yang meliputi Panjang Jimat sebagai Entitas Lokal Keraton Kasepuhan Cirebon dan Perubahannya, Perubahan Panjang Jimat dilihat dari aspek sosial, Penyelenggaraan Upacara Panjang Jimat Terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat Sekitar. Dalam bab tiga ini berisi kesimpulan dari isi materi dan saran diakhrir dengan Daftar Pustaka.

BAB 2
UPACARA PANJANG JIMAT SEBAGAI ENTITAS LOKAL
KERATON KASEPUHAN CIREBON DAN PERUBAHANNYA
(SEBUAH KAJIAN HISTORIS, SOSIAL, DAN EKONOMI)

2.1 Sejarah Singkat Cirebon dan Keraton Kasepuhan
2.1.1 Sejarah Singkat Cirebon
Sejarah kemunculan Cirebon dapat dikaji dari berbagai sumber yang ditemukan. Deskripsi dari sumber-sumber tersebut beragam namun tetap dapat ditarik benang merah yang sebenarnya. Terdapat kemungkinan pada awalnya daerah Cirebon berada di bawah kekuasaan Raja Sunda di Galuh dan Pajajaran. Dari Purwaka Caruban Nagari didapatkan keterangan bahwa pada awalnya Cirebon adalah sebuah daerah yang bernama Tegal Alang-Alang yang kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh Raden Walangsungsang diubah namanya menjadi Caruban (Atja, 1986: 161).
Dari penemuan sebuah prasasti yang diberi nama Huludayeuh tidak berangka tahun yang ditemukan di desa Cikahalang blok Huludayeuh Kecamatan sumber Kabupaten Cirebon pada tahun 1991 diperoleh sebuah informasi baru. Isi prasasti ini untuk memperingati jasa “Ratu Purana (Sri Baduga) Sri Maharaja Ra ( tu) (ha ) ji Ri Pakwan Sia Sain ra (tu) (de) wata” yang memberikan kemakmuran bagi seluruh kerajaan. Kehadiran prasasti di daerah Cirebon sebelah Utara Gunung Ciremai Kuningan ini menjadi suatu bukti bahwa daerah tersebut masuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pajajaran (Djafar, 1994: 3-11). Kemudian pada perkembangan selanjutnya dengan dipelopori oleh Syarif Hidayatullah Cirebon memisahkan dirinya dari kerajaan Sunda, akan dipaparkan di Sejarah Keraton kasepuhan.
Berita-berita tentang Cirebon selanjutnya diperoleh dari sumber Portugis yaitu berita dari Tome Pires yang menyebut Cirebon dengan Corobam. Menurut catatan Pires, Cirebon adalah sebuah pelabuhan yang indah dan selalu ada empat sampai lima kapal yang berlabuh di sana. Hasil bumi yang utama adalah beras selain mengahsilkan bahan makanan lainnya (Cortesao, 1967: 183).
Adanya kegiatan perdagangan di wilayah Jawa Barat juga dicatat dalam berita Tome Pires, kerajaan Sunda memiliki enam buah pelabuhan yaitu Banten, Pontang, Cigede, Tanara, Calap, dan Cimanuk. Selain penyebutan pelabuhan di kerajaan Sunda Pires juga menyebutkan bahwa ada sejumlah pelabuhan lainnya di wilayah Jawa yaitu Japura, Tegal, Semarang, Demak, Jepara, Rembang, Tuban, Giri, Surabaya, dan Cirebon (Cortesao, 1967: 170-181).
Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Cirebon pada awalnya berada dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda Galuh Pakuan Pajajaran. Pada masa Portugis Cirebon menjadi sebuah kota pelabuhan dagang yang ramai dikunjungi dan perkembangannya pada masa Belanda tetap menjadi sebuah kota Pelabuhan dibawah kekuasaan Belanda. Pada masa sekarang Cirebon menjadi sebuah Kota Kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
Kajian menarik yang perlu digaris bawahi adalah peran Cirebon sebagai kota pelabuhan dagang yang ramai dikunjungi oleh bangsa dari negeri lainnya. Keadaan seperti ini mendukung Cirebon menjadi sebuah kota yang menerima kedatangan orang-orang asing yang sudah pasti membawa pengaruh baru baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun dalam bidang agama, adat dan budaya. Pengaruh baru dalam bidang agama, adat, dan budaya inilah yang akan dibahas di makalah ini sebagai awal mula kemunculan peringatan Maulid Nabi atau yang dikenal sebagai upacara Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan Cirebon.

2.1.2 Sejarah Singkat Keraton Kasepuhan
Keraton Kasepuhan terletak di Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon dengan luas 16 hektar yang dibatasi oleh tembok Keraton, tidak termasuk Alun-alun dan Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Untuk sampai ke sana dari Jalan Lemah Wungkuk kita dapat berjalan lurus ke arah Selatan sampai tiba di Alun-alun Keraton Kasepuhan. Dari Alun-alun Keraton inilah kita dapat melihat kompleks Keraton Kasepuhan yang terletak persis di sebelah Selatan Alun-alun.
Dilihat dari sudut historisnya Keraton kasepuhan merupakan pembagian dari keraton kasunanan kerajaan Cirebon. Kerajaan Cirebon awalnya merupakan sebuah perkampungan yang bernama Tegal Alang-alang dan kemudian dibentuk menjadi perkampungan Cirebon oleh Pangeran Walangsungsang pada tahun 1445 M. Pembentukan dilakukan awalnya ketika Pangeran Walangsungsang mencari ilmu agama Islam di daerah Tegal Alang-Alang ini, kemudian beliau melihat potensi daerah pesisir ini kaya akan udang dan bisa dijadikan pelabuhan dagang sehingga secara resmi Pangeran Walangsungsang mendirikan kampung Cirebon (PRA. Arif Natadiningrat, 2009).
Selain Pangeran Walangsungsang, Sri Baduga Maharaja juga mempunyai seorang Putri yang bernama Rara Santang yang telah kembali dari Mekkah dan beragama Islam. Rara Santang membawa serta putranya yang bernama Syarif Hidayatullah, Syarif Hidayatullah inilah yang mengukuhkan Cirebon bentukan Pangeran Walangsungsang sebagai daerah kekuatan agama Islam yang merdeka dari kerajaan Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran dan menjadi raja Cirebon bergelar Susuhunan Jati 1479 M. Dalam versi sejarah Keraton Cirebon, Susuhunan Jati wafat pada tahun 1568 M dan dikuburkan di Gunung Jati (Cirebon) sehingga dikenal pula sebagai Sunan Gunung Jati.
Pusat pengaturan pemerintahan Kerajaan Cirebon terdapat di Keraton Pakungwati. Keraton Pakungwati sudah dipakai oleh Raja-raja Cirebon sejak masa-masa awal perkembangan Islam. Nama Pakungwati tetap dipertahankan hingga masa pemerintahan Panembahan Ratu I, dan Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya). Setelah itu pada tahun 1679 M masa kepemimpinan Sultan Anam Badridin I terjadi perebutan kekuasaan intern kerajaan sehingga beliau membagi kerajaan Cirebon yang pusat pemerintahannya di Keraton Pakungwati ini menjadi tiga pusat kerajaan di tiga keraton. Keraton tersebut yaitu Keraton Kasunanan, Keraton Kasepuhan, dan Keraton Kanoman. Keraton Kasepuhan mengambil tempat di kompleks bekas Keraton Pakungwati, dan sejak itu berkembang terus sampai ke selatan.

2.2 Awal Mula Kemunculan Maulid Nabi dan Penyebarannya di Jawa
Maulid sebagai bagian dari tradisi keagamaan dapat dilihat dari segi historis maupun dari segi sosial budaya. Dari segi historis terdapapat dalam catatan Al-Sandubi dalam karyanya ”Tarikh Al-Ikhtilaf Fi Al-Maulid Al-Nabawi, Al-Mu’izzli-Dinillah” (341-365 H atau 953-975 M). Diungkapkan olehnya bahwa dalam sejarah Islam penguasa bani Fatimah yang pertama menetap di Mesir adalah orang pertama yang menyelenggarakan perayaan kelahiran Nabi. Kemudian kurun waktu berikutnya tradisi yang semula dirayakan hanya oleh golongan Syi’ah ini juga dilaksanakan oleh golongan Sunni dimana Khalifah Nur Al-Din penguasa Syiria (511-569 H / 1118-474 M) adalah penguasa Suni pertama yang tercatat merayakan maulid Nabi. Perayaan Maulid secara besar-besaran dilaksanakan pertama kali oleh Raja Al-Mudhaffar Abu Sa’id Kokburi bin Zain al-Din Ali bin Baktatin (549-630 H / 1154-1232 M) penguasa Irbil, 80 KM tenggara Mossul ( Nico Kaptein dalam Tedjasudhana, 1994: 10-41).
Kemudian mengkaji penyebaran Maulid Nabi sampai ke Indonesia sangat berkaitan dengan jasa Sultan Salahuddin Al Ayyubi Khalifah dari dinasti Abbasiah penguasa Al Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah). Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub, setingkat Gubernur dengan pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.
Perintah merayakan Maulid ini disampaikan pertama kali pada musim Haji 579 H (1183 Masehi). Sebagai penguasa dua tanah suci saat itu atas persetujuan Khalifah Bani Abbas di Baghdad juga, Sultan menghimbau agar seluruh jamaah haji seluruh dunia jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam dimana saja berada. Maksud Sultan Salahuddin merayakan tradisi ini selain bentuk cintanya pada Rasul juga sebagai cara membangkitkan semangat juang umat Islam yang kala itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan ukhuwah ketika terjadi perang salib.
Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, sehingga tidak dapat dikategorikan bid’ah yang terlarang.
Bagi sebagian orang Islam tradisi merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan sebagai salah satu bentuk rasa cinta umat kepada Rasul Nya. Di tanah Jawa sendiri tradisi ini telah ada sejak zaman walisongo, pada masa itu tradisi Maulid Nabi dijadikan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam dengan menghadirkan berbagai macam kegiatan yang menarik masyarakat. Pada saat ini tradisi Maulid/Mauludan di Jawa disamping sebagai bentuk perwujudan cinta umat kepada Rasul juga sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Walisongo.
Sebagian masyarakat Jawa merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i atau al-Burdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan Diba’i adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Sedangkan Al-Burdah adalah kumpulan syair-syair pujian kepada Rasulullah SAW yang dikarang oleh Al-Bushiri.
Berbagai macam acara dibuat untuk meramaikan acara ini, lambat laun menjadi bagian dari adat dan tradisi turun temurun kebudayaan setempat. Di Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten,. Istilah ini berasal dari stilasi lidah orang Jawa atas kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Perayaan umumnya bersifat ritual penghormatan (bukan penyembahan) terhadap jasa para wali penyebar Islam, misalnya upacara Panjang Jimat yaitu upacara pencucian senjata pusaka peninggalan para wali.
Di Cirebon upacara Maulid Nabi (selanjutnya disebut dengan Panjang Jimat) dilaksanakan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Syarief Hidayatullah. Masing-masing di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan/Kasunanan dan kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah. Di Jogjakarta dan Surakarta di masing-masing keraton dengan acaranya Grebeg Mulud. Pada zaman kesultanan Mataram perayaan Maulid Nabi disebut Grebeg Mulud. Kata "Grebeg" artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya.
Di Garut terdapat upacara Ngalungsur yaitu proses upacara ritual dimana barang-barang pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun sekali dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak wangi supaya tidak berkarat, di fokuskan di desa Lebak Agung, Karangpawitan. Di Banten kegiatan di fokuskan di Masjid Agung Banten. ditempat lain diantaranya tempat-tempat ziarah makam para wali.
Di Keraton kasepuhan sendiri perayaan Panjang Jimat secara besar-besaran selalu diadakan, terutama sesudah Syarief Hidayatullah atau lebih dikenal sebagai Sang Susuhunan Jati memegang tampuk pemerintahan Nagri Carbon (Kerajaan Cirebon) 1479 M. Susuhunan Jati mengadakan berbagai perayaan secara besar-besaran ini bukan semata karena menghormati Nabi Muhammad SAW sebagai penyebar agama saja tetapi juga karena menghormati nenek-moyang.
Menurut garis ayah, Syarief Hidayatullah adalah keturunan ke-22 Nabi Muhammad SAW. Ayahnya adalah Syarief Abdullah yang datang ke Pulau Jawa dari Mesir melalui Gujarat, menikah dengan Nyimas Rara Santang putri Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran. Sebagai keturunan langsung dari penyebar agama Islam, Syarief Hidayatullah begitu menghormatinya secara khusus pula sebagai seorang keturunan kepada nenek-moyangnya. Sejak saat itu muludan di Kerajaan Cirebon selalu meriah hingga kini.
Dapat dipahami juga bahwa tradisi keagamaan maulid merupakan salah satu sarana penyebaran Islam di Indonesia. Islam tidak mungkin dapat segera tersebar dan diterima masyarakat luas Indonesia, jika saja proses penyebarannya tidak melibatkan tradisi keagamaan. Penyebaran agama Islam sejak abad ke-13 M semakin meluas di Nusantara terutama atas kegiatan kaum sufi yang mampu menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif, khususnya dengan menerangkan kontinuitas kebudayaan masyarakat dalam konteks Islam (Azyumardi Azra, 1998).
Menurut Ahmad Anas jelas terdapat fakta yang kuat bahwa tradisi maulid merupakan salah satu ciri kaum muslimin tradisional di Indonesia dan umumnya dilakukan oleh kalangan sufi. Maka dari segi ini dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa masuknya perayaan maulid bersamaan dengan prosesnya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh pendakwah atau dalam hal ini kaum sufi (Ahmad Anas, 2003: 67).
Corak dengan kaum tradisional itu tidak lepas pula dari strategi dakwah yang diterapkan oleh penyebar Islam awal di Indonesia saat itu yang sebagian besar petani yang tinggal di daerah pedesaan dan tingkat pendidikannya yang sangat rendah, maka pola penyebarannya pun disesuaikan dnegan kemampuan pemahamaan masyarakat. Sehingga materi dakwah pada waktu itu lebih diarahkan pada peningkatan keyakinan serta ajaran ibadah yang bersifat pemujaan secara ritual. Selain itu ditopang oleh perilaku ibadah dan upacara ritual keagamaan yang dianggap akan makin memperkokoh keimanan dan keislaman mereka sangat dianjurkan seperti tahlilan, yasinan, ziarah kubur, kenduri, haul, upacara yang terikat dengan kematian, termasuk muludan, dan lain sebagainya.
Kondisi lainnya yang berpengaruh dalam penyebaran Maulid Nabi ini adalah kondisi sosial politik pada abad ke-14 hingga ke-16 M. Di berbagi belahan dunia Islam sedang marak dan berada pada puncak penyebaran tradisi maulid yang perintisannya sejak awal abad ke-12. Kegiatan maulid mencapai puncak popularitasnya di kalangan masyarakat sehingga penguasa-penguasa pun kemudian mengakomodasinya sebagai kegiatan resmi negara yang salah satu motifnya adalah kepentingan politik. Acara Maulid Nabi ini menjadi sebuah penglegitimasian keberadaan sultan di kerajaan. Di Keraton Kasepuhan sendiri Sultan memegang peranan penting dalam upacara Panjang Jimat sebagai orang yang diutamakan. Hal tersebut dilakukan untuk memperlihatkan kewibawaan sultan dimata masyarakat.

2.3 Prosesi Panjang Jimat
Prosesi adat "Panjang Jimat" adalah refleksi dari proses kelahiran Nabi Muhammad SAW dan merupakan acara puncak dari serangkaian kegiatan Maulud Nabi Muhamad di Keraton Kasepuhan Cirebon. “Panjang” berarti sederetan iring-iringan berbagai benda pusaka dalam prosesi itu dan “Jimat” berarti “siji kang dirumat” atau satu yang dihormati yaitu kalimat sahadat “La Illa ha Illahah” sehingga arti gabungan dua kata itu adalah sederetan persiapan menyongsong kelahiran nabi yang teguh mengumandangkan kalimat sahadat kepada umat di dunia. Pada umumnya masing-masing upacara terdiri atas kombinasi berbagai macam unsur upacara seperti berkorban, berdo’a, bersaji makan bersama, berprosesi, semadi, dan sebagainya. Urutannya telah tertentu sebagai hasil ciptaan para pendahulunya yang telah menjadi tradisi (AB Usman dkk, 2004: 205).
Pengaruh Khalifah Sholahuddin Al Ayubi seperti telah dijelaskan kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk ke Kerajaan Cirebon dan Sultan Cirebon Syarif Hidayatullah kemudian mengadopsikan acara maulud nabi itu dengan budaya Jawa sehingga menjadi prosesi Panjang Jimat. Secara serentak, upacara pelal Panjang Jimat di Cirebon diselenggarakan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Syarief Hidayatullah. Masing-masing di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan/Kasunanan dan kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah pendiri Kasultanan Cirebon atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati.
Rirual-ritual Panjang Jimat hampir sama dengan upacara yang lainnya, yang semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisil Maka pada saat itu tampaklah raja melakukan miyos dalem (penampilan raja kehadapan rakyatnya). Kemampuan raja mencapai kesatuan dimanfaatkan untuk mendengarkan keabsahan keraton. Pada kegiatan itu raja menyampaikan berkahnya untuk kesejahteraan rakyatnya (Ismawati Budaya dan Kepercaan Jawa Pra-Islam dalam Amin, 2000: 20-21).
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan secara langsung pada tanggal 7-9 Maret 2009 dengan melakukan wawancara, pengamatan langsung, dan juga bantuan dari sumber buku yang telah kami baca, maka kami mendapatkan beberapa fakta tentang perubahan Panjang Jimat berupa prosesi dan keadaan masyarakatnya. Pada hasil pertama kami akan mengungkapkan tentang prosesi panjang jimat terlebih dahulu.
Di Keraton Kasepuhan Panjang Jimat diturunkan oleh petugas dan ahli agama di lingkungan kerabat kesultanan Keraton kasepuhan, yang terdiri atas:
1) Diadakan Susrana
Tahap ini diadakan di gedung/bangsal dalem. Disinilah disajikan Nasi Rosul sebanyak 7 golongan, untuk tiap-tiap golongan ditumpangkan/ditempatkan di atas tasbih/piring besar. Petugas-petugasnya adalah : Nyi Penghulu, Nyi Krum yang disaksikan oleh para Ratu Dalem. Di belakang Bangsal Dalem yang disajikan air mawar, kembang goyah, “serbad boreh” (panem) dan hidangan tumpeng 4 “pangsong”/”ancek”/”angsur”. Yang berisi kue-kue dan tempat dong-dang yang berisis makanan, petugasnya adalah Nyi Kotif Agung, Nyi Kaum dengan disaksikan oleh para Ratu/family kasultanan.
2) Di Gedung Bangsal Prabayaksa yaitu sebelah utara bangsal dalem dan di bangsal Pringgadani (sebelah utara bangsal Prabayaksa), diperuntukan bagi para undangan di tengah ruangan dilowongkan untuk deretan upacara, terus dari Jinem ke Sri Manganti.
Di Keraton Kasepuhan, upacara puncak Pelal Panjang Jimat dimulai tepat pukul 19.50 WIB dipimpin langsung oleh Sultan Sepuh XIII Maulana Pakuningrat, sementara prosesi iring-iringan jimat keraton dibawa dari Bangsal Prabayaksa Keraton menuju Langgar Agung dipimpin Putra Mahkota Kesultanan Kasepuhan Pangeran Raja Adipati PRA. Arief Natadiningrat.
Selanjutnya Sultan menyerahkan payung pusaka kepada Putra Mahkota PRA Arief Natadiningrat sebagai wakil dirinya dalam iring-iringan Panjang Jimat.
Urut-urutan panjang jimat di Kesultanan Kasepuhan yaitu pertama barisan lilin yang melambangkan kelahiran nabi pada malam hari, barisan kedua berupa Manggaran, Nagan, dan Jantungan yang lambangkan kebesaran dan keagungan.
Barisan ketiga, berupa air mawar, pasatan, dan kembang goyang sebagai perlambang air ketuban dan usus atau ari-ari bayi, barisan keempat berupa air serbat dalam empat baki dan dua guci sebagai perlambang kelahiran. Barisan kelima berupa tumpeng jeneng, 10 nasi uduk, 10 nasi putih sebagai perlambang seorang bayi harus diberi nama yang baik agar menjadi orang yang berguna, dan barisan keenam adalah tujuh nasi jimat.
Nasi Jimat itu diarak dengan pengawalan 200 barisan abdi dalem yang masing-masing membawa simbil-simbol sebagai perlambang. Barisan pertama ialah pembawa lilin, bertujuan sebagai penerang, diikuti iring-iringan pembawa perangkat upacara seperti "manggaran", "nadan" dan "jantungan" (perlambang kebesaran dan keagungan).
Setelah sepasukan pengawal (iring-iringan) lengkap berkumpul di Bangsal Purbayaksa, putra mahkota PRA. Arief atas izin Sultan Kasepuhan, memimpin arak-arakan menuju Langgar Agung, sekira 100 meter, masih di lingkungan keraton. Arak-arakan yang keluar dari Bangsal Purbayaksa disambut di luar keraton oleh pengawal pembawa obor (perlambang Abu Tholib, paman nabi menyambut kelahiran bayi Muhammad pada malam hari yang kemudian menjadi manusia agung) sebelum akhirnya dibawa ke mushala. Di mushala itu Nasi Jimat Tujuh Rupa itu dibuka bersama dengan sajian makanan lain termasuk makanan yang disimpan di 38 buah piring pusaka peninggalan Sunan Gunung Djati berusia 600 tahun.
Di mushala (Langgar Agung), dilakukan shalawatan serta pembacaan (mengaji) kitab Barjanzi sampai pukul 24.00 WIB. Setelah shalawatan dan pembacaan kitab yang dipimpin imam Masjid Agung "Sang Cipta Rasa" Keraton Kasepuhan, makanan lalu disantap bersama. PRA Arief yang mengenakan pakaian khas tradisi Cirebonan berupa kemeja hitam dan blangkon, pulang kembali ke keraton dengan pengawalan ketat, sebab ribuan warga yang rela menunggu berlama-lama, pada berebut untuk memegang atau sekadar menyentuh calon Sultan Kasepuhan Cirebon itu karena diyakini bisa membawa berkah “Ngalap berkah”.
Sebelum arak-arakan membawa Nasi Jimat Tujuh Rupa dimulai, Sultan Kasepuhan, Maulana Pakuningrat memberi wejangan kepada para abdi dalem dan tamu undangan. Sultan menyampaikan makna dari perayaan Panjang Jimat yang sudah berusia ratusan tahun. Sebagaimana sebutan "pelal", Panjang Jimat merupakan puncak dari serangkaian ritual yang ditujukan untuk mengenang dan merayakan kelahiran (maulud) Nabi Muhammad saw. Acara ini merupakan penutup rangkaian acara tradisi yang setiap tahun selalu berjalan meriah dan menjadi magnet tersendiri bagi ratusan ribu warga untuk datang ke Kota Cirebon.
Pelal Panjang Jimat, atau rangkaian panjang acara adat mengenang dan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, bahkan telah menjadi agenda tersendiri. Tidak hanya bagi abdi dalem keraton atau warga Kota Cirebon, tetapi juga warga dari daerah lain seperti Indramayu, Majalengka, Kuningan, termasuk juga Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, bahkan wilayah Jateng seperti Tegal, Brebes, Batang, Pekalongan, Semarang sampai Jakarta dan Banten. Banyak masyarakat yang percaya menyaksikan Muludan yang digelar tiga keraton di Cirebon memberikan semangat spiritual dalam menempuh kehidupan, bahkan tidak jarang beberapa orang berusaha menggapai benda pusaka dengan tujuan mendapatkan berkah pada malam Panjang Jimat itu.

2.4. Perubahan Panjang Jimat Dilihat dari Aspek Sosial dan Ekonomi.
2.4.1 Perubahan Panjang Jimat dilihat dari aspek sosial
Berdasarkan penelitian yang telah kami lakukan, terdapat fakta-fakta baru tentang Panjang Jimat. Kami bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa pelaksanaan upacara Panjang Jimat sekarang mengalami perubahan atau pergeseran. Secara umum perubahan pelaksanaan Panjang Jimat tersebut bukan terletak pada struktur upacaranya tapi dalam bentuk permukaannya. Perubahan penyelenggaraan dalam bentuk permukaannya banyak berubah dilakukan untuk mendukung program pemerintah yakni pariwisata dan pembangunan (Seputar Indonesia, 10 Maret 2009). Sedangkan mengenai tujuan, kesakralan, struktur secara intern masih tetap terjaga. Prosesi upaca masih lengkap meskipun sedikit ada penyederhanaan.
Seperti yang telah diketahui bahwa upacara Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan sudah ada sejak jaman dahulu dan sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Cirebon. Hal ini khususnya dikarenakan masyarakat masih memegang teguh adat istiadat ataupun kebiasaan akan tradisi yang diwariskan turun temurun. Secara prinsip, upacara Panjang Jimat tetap dilakukan dari tahun ke tahun, namun dalam pelaksanaannya lebih ditingkatkan yakni dilaksanakan dengan lebih besar, meriah, diisi dengan program pembangunan dan dikaitkan dengan pariwisata. Terdapat suatu indikasi bahwa hal ini disebabkan karena sudah memasuki jaman globalisasi yang serba modern.
Akibat dari globalisasi tersebut menyebabkan upacara Panjang Jimat yang merupakan salah satu adat atau kultur Keraton kasepuhan juga mengalami perubahan. Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah karena meskipun mengalami perubahan tapi tetap mempunyai struktur, tujuan, esensi yang sama dengan pelaksanaan grebeg maulud dahulu. Nilai kesakralan dan getaran emosi masyarakat masih tetap ada.
Pernyataan ini sependapat dengan peryataan Poespoprojo (1987: 164) bahwa dalam masyarakat dinamik upacara adat yang mengalami perubahan biasanya dalam bentuk permukaannya saja bukan pada strukturnya (non empiris). Sebab struktur selalu tetap dimiliki manusia, meski manusia tersebut telah terjerat oleh kemajuan jaman. Rangkaian upacara Panjang Jimat ini tidak mengalami peruban, begitu juga makna yang terdapat dalam setiap rangkaian yang dilaksanakan tetap tidak berubah dan masih sama seperti dulu.
Pemahaman upacara tradisional yang penting, khususnya Panjang Jimat ini bukan pada level empirisnya (luarnya) tapi pada level non empirisnya yakni struktur pada upacara tersebut. Selama strukturnya sama, maka prinsip dari upacara Panjang Jimat tetap sama, inilah yang paling esensial dalam pelaksanaan upacara Panjang Jimat agar tetap terjaga keaslian, kesakralan, struktur, nilai, dan tujuannya.
Selanjutnya jika dilihat perubahan dalam pelaksanaan upacara Panjang Jimat saat ini terletak pada bentuk luarnya (empiris) yaitu untuk mendukung program pariwisata dan pembangunan seperti diketahui bahwa sebelum upacara dimulai dengan pesta rakyat menyongsong perayaan Panjang jimat, yakni berupa keramaian untuk hiburan masyarakat. Apabila jaman dahulu dalam Panjang Jimat ini tidak ada keramaian berupa pasar malam dan para pedagang, maka sekarang mereka ada dan sangat ramai sekali. Pekan raya atau pasar malam yang dipergunakan untuk kepentingan pariwisata dan pembangunan, antara lain:
1. Sebagai arena rekreasi bagi masyarakat misalnya; sirkus, arena permainan anak-anak, panggung kesenian (musik) dan lain-lain
2. Sebagai forum informasi dan komunikasi tentang kebijaksanaan yang dapat diperoleh dari eksposisi atau pameran dari instansi pemerintah
3. Sebagai sarana melestarikan kesenian kebudayaan daerah. Untuk itu disediakan panggung kesenian daerah, pentas kesenian daerah dan lainnya.
Pasar malam tersebut dipakai sebagai ajang berjualan bagi para pedagaang seperti penjual makanan, minuman, mainan ank-anak, pakaian, sepatu, bunga dan lainya. Akibat adanya pasar malam dalam perayaan sekaten membuat susana menjadi meriah dan ramai. Disamping itu dalam kegiatan pasar malam tersebut juga diadakan kegiatan keagamaan khususnya agama islam. Kegiatan keagamaan itu antara lain santapan rohani melalui menara siaran, pengajian umum, pameran keagamaan. Pentas seni keagamaan, tabligh di masjid besar dan lainnya.
Hal utama yang paling terlihat adalah maksud dan tujuan masyarakat khususnya generasi muda yang akan datang ke acara Panjang Jimat ini. Pada masa Syarif Hidayatullah ketika Panjang Jimat ini diadakan masyarakat memang benar-benar khusyuk mengikuti ritual Panjang Jimat ini dan mendengarkan ilmu agama dari tabligh yang diadakan oleh ulama. Sekarang keadaannya bergeser, mereka malah lebih bertujuan untuk mengunjungi pasar malam khususnya anak-anak remaj. Memang masih banyak golongan tua yang benar-benar berniat untuk mengikuti Panjang Jimat ini secara keseluruhan, namun kebanyakan dari generasi mudanya hanya ingin datang ke pasar malamnya saja.
Dari 35 orang yang kami wawancara, 25 Orang tua berumur diatas 30 tahun, dan 10 anak muda dibawah 25 tahun kami mendapatkan sebuah kesimpulan. Orang tua yang berada diatas 30 tahun memang benar-benar berniat untuk mengikuti Panjang Jimat dan para anak mudanya hanya berniat untuk melihat-lihat saja pasar malam dan pekan raya tersebut. Dari fakta tersebut didapatkan kesimpulan bahwa saat ini upacara Panjang Jimat dalam bentuk luarnya telah mengalami pergeseran khususnya dari kalangan anak muda yang kurang memperhatikan kesakralan dari makna Panjang Jimat itu sendiri.
Demikian adalah beberapa perubahan yang terjadi pada pelaksanaan upacara Panjang Jimat saat ini. Tampak dalam perubahannya bukan yang menyangkut strukur tapi yang mendukung pariwisata dan pembangunan secara prinsipil kesakralan, tujuan, nilai serta struktur dalam upacara grebeg tidak mengalami perubahan. Meskipun dalam prosesi upacara ada sedikit perbedaan hal tersebut disebabkan karena perubahan jaman, dianggap lebih praktis, ekonomis, sehingga dalam pelaksanaan upacara ada sedikit perkembangan bila dibandingkan dengan dahulu.

2.4.2 Penyelenggaraan Upacara Panjang Jimat Terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat Sekitar
Sebagaimana yang kita tahu bahwa upacara Panjang Jimat yang merupakan rentetan dari acara maulidan di Keraton Kasepuhan awalnya hanyalah sebuah upacara peringatan kelahiran nabi Muhammad Saw saja yang di dalamnya terdapat ritual-ritual khusus sebagai simbol untuk meneladani kerasulannya.
Diselenggarakannya Upacara Panjang Jimat (Muludan) ini ternyata memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat sekitar keraton. Penyelenggaraan acara ini seakan-akan dimanfaatkan oleh para pedagang setempat untuk mengais rejeki. Apalagi dua minggu sebelum acara, pihak keraton mengizinkan ribuan pedagang kaki lima (PKL) untuk berjualan selama rentetan kegiatan menyambut Maulud Nabi Muhammad Saw. Sehingga tidak mengherankan bila halaman depan atau jalan menuju Keraton Kasepuhan ini disesaki oleh berbagai pedagang, mulai dari pedagang makanan, pakaian, barang antik, mainan anak, peralatan rumah tangga, dan sebagainya.
Keadaan tersebut lebih populer dengan istilah pasar kaget. Pedagangnya pun tidak hanya berasal dari Cirebon saja bahkan adapula yang berasal dari daerah lain seperti Kuningan, Majalengka, Indramayu atau daerah lainnya yang sengaja mencoba mencari peruntungan dalam acara Mauludan di Keraton Kasepuhan ini. Pedagang-pedagang tersebut terdiri dari pedagang yang memang setiap tahunnya berjualan dalam acara Mauludan di Keraton Kasepuhan dan ada pula diantara pedagang tersebut yang baru sekali mencoba berjualan dalam acara tersebut.
Dari kondisi tersebut kami mengkaji penghasilan para pedagang. Beberapa narasumber yang kami wawancarai mengaku bahwa ketika mereka berjualan dalam acara Mauludan tersebut penghasilan mereka meningkat dari hari-hari biasanya. Misalkan saja Haryanto yang seorang penjual kaligrafi, mengaku omzetnya meningkat dari yang tiap harinya mampu menjual sekitar 15-25 buah lukisan, pada acara Muludan tersebut dia bisa menjual 30-50 buah lukisan.
Selain pedagang, pihak lain yang mendapatkan keuntungan dari adanya pasar kaget tersebut tentu saja adalah pihak Keraton sendiri. Tentu saja karena dengan adanya pasar kaget ini, pedagang yang berjualan di sekitar keraton harus memebayar sejumlah retribusi kepada pihak Keraton. Menurut keraton sendiri retribusi semacam ini akan digunakan untuk kepentingan amal.
Dampak yang sama juga dirasakan oleh sopir-sopir angkot yang melintasi wilayah keraton Kasepuha. Umumnya selama acara ini berlangsung sopir angkot pun mendapat keuntungan dari banyaknya masyarakat yang menggunakan jasa angkot untuk berkunjung ke Keraton Kasepuhan dengan tujuan untuk ziarah atau sekedar belanja saja.
Dari data tersebut bisa dianalisis bahwa penyelenggaraan acara Muludan di Keraton Kasepuhan memberikan dampak bagi perekonomian masyarakat sekitar, khususnya terhadap pedagang dan sopir angkot yaitu meningkatnya penghasilan mereka jika dibandingkan hari-hari biasanya.

2.5 Penerapan Teori Antropologi Budaya Terhadap Upacara Panjang Jimat
2.5.1 Teori-Teori
W. Robertson Smith (1846-1894) dalam buku yang berjudul Lectures on Religion of The Semites (1889), mengemukakan tiga gagasan penting yang menambah pengertian kita mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya. Gagasan yang pertama mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama. Bahwa dalam banyak agama upacaranya itu tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya berubah. Gagasan yang kedua adalah bahwa upacara religi-religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintegrasikan solidaritas masyarakat. Gagasan yang ketiga adalah mengenai fungsi upacara bersaji untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Robertson Smith menggambarkan upacara bersaji sebagai suatu upacara yang gembira meriah tetapi juga keramat dan tidak sebagai suatu upacara yang khidmat dan keramat.
Dalam bukunya berjudul Die Geistige Kultur der Naturvolker (1914), Preusz menentukan bahwa pusat dari tiap sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara dan melalui kekuatan-kekuatan yang dianggapnya berperan dalam tindakan-tindakan gaib seperti itu manusia mengira dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya serta mencapai tujuan hidupnya, baik yang sifatnya material maupun yang spiritual.
Malinowski tertarik dengan penggunaan praktis dari ilmu antropologi dalam meneliti dan mengatur proses kebudayaan tradisional bangsa-bangsa Afrika, Asia, dan Oseania, akibat pengaruh kebudayaan Eropa, dan mencurahkan perhatian penuh terhadap antropologi terapan dalam administrasi kolonial yang disebutnya practical anthropologi, serta masalah-masalah yang ada sangkut pautnya dengan perubahan kebudayaan atau culture change. Pendirian Malinowski tentang mitologi tersebut diuraikan dalam karangan berjudul Myth in Primitive Psychology (1948) yang menguraikan dongeng-dongeng suci yang dianggap nyata yang tak terikat pada tempat dan waktu, serta dianggap sebagai pedoman untuk upacara-upacara suci, untuk kesusilaan, dan dianggap sebagai alasan untuk berbagai aktivitas masyarakat lain. Malinowski menngungkapkan bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.

2.5.2 Analisis
a. Teori Robertson Smith
Teori W. Robertson Smith tentang azas-azas religi dan agama yang dikemukakan di atas sangat berkaitan dengan topik yang kami kaji yaitu mengenai upacara Panjang Jimat (Grebeg Mulud) yang diselenggarakan di Keraton Kasepuhan Cirebon. Berikut adalah analisis kami mengenai upacara Panjang Jimat ditinjau dari teori Robertson Smith tentang azas-azas religi dan agama yang terbagi ke dalam tiga gagasan, yaitu:
1. Di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama. Bahwa dalam banyak agama upacaranya itu tetap, tetapi latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya berubah.
Menurut gagasan tersebut dapat disimpulkan bahwa upacara Panjang Jimat yang diselenggarakan Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan suatu perwujudan dari kehidupan religi dan agama Keraton Kasepuhan khususnya dan masyarakat Cirebon pada umumnya. Sesuai dengan gagasan tersebut, struktur atau ritual-ritual dari pelaksanaan Upacara Panjang Jimat tetap dan tidak berubah, misalnya upacara Panjang Jimat terdiri atas kombinasi berbagai macam unsur upacara seperti berkorban, berdo’a, bersaji makan bersama, berprosesi, semadi, dan sebagainya. Tahapan ritual tersebut merupakan suatu ketetapan yang harus dipatuhi dan tidak berubah dai tahun ketahun. Namun, yang berubah hanyalah maksuda atau pemaknaan dari upacara. Misalnya dahulu, upacara Panjang Jimat dipandang sebagai upacara sakral untuk memperingati Mulud Nabi, namun pada jaman sekarang ini nampaknya Upacara Panjang Jimat tersebut telah kehilangan makna sakralnya karena sebagian besar masyarakat yang datang ke acara tersebut bermaksud untuk menikmati pasar tumpah yang ada di halaman keraton.
2. Upacara religi-religi atau agama, mempunyai fungsi sosial untuk mengintegrasikan solidaritas masyarakat.
Jika dikaitkan dengan gagasan Robertson Smith yang kedua, Upacara Panjang Jimat tersebut sesuai dengan gagasan tersebut. Dimana menurut data yang kami dapatkan baik dari sumber tertulis dan wawancara, Upacara Panjang Jimat juga memiliki fungsi sosial yaitu untuk mempererat hubungan baik antara pihak keraton dengan masyarakat, pihak keraton dengan pemerintahan daerah, maupun antar masyarakat Cirebon itu sendiri.
3. Fungsi upacara bersaji untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Robertson Smith juga menggambarkan upacara bersaji sebagai suatu upacara yang gembira meriah tetapi juga keramat dan tidak sebagai suatu upacara yang khidmat dan keramat.
Sesuai dengan gagasan tersebut, maksud penyelenggaraan Upacara Panjang Jimat sebenarnya adalah sebagai sarana untuk meningkatkan kepatuhan/keimanan kepada Allah SWT melalui upacara Maulid Nabi Muhammad sebagai suri tauladan umat Islam. Hal itu sesuai dengan gagasan Robertson yang ketiga, namun Robertson mengungkapkan bahwa upacara tersebut ditujukan untuk meningkatkan solidaritas dengan dewa. Dalam hal ini, Upacara Panjang Jimat merupakan upacara keagamaan Islam, dimana umat Islam menyembah Allah SWT. Jadi konsep dewa disini digantikan dengan Allah SWT.
Sementara itu juga sesuai dengan gagasan bahwa upacara bersaji sebagai upacara yang meriah tapi keramat dan tidak sebagai upacara yang khidmat, Upacara Panjang Jimat dalam prakteknya juga merupakan upacara yang dapat dikatakan meriah karena disertai juga dengan diadakannya pasar malam di sekitar keraton. Diadakannya pasar tumpah tersebut menyebabkan kemeriahan dalam penyelenggaraan upacara tersebut. Bahkan kemeriahan tersebut juga telah menyebabkan upacara Panjang Jimat menjadi kehilangan kekhidmatannya. Karena masyarakat lebih tertarik dengan adanya pasar tumpah dibandingkan menyaksikan upacara Panjang Jimat itu sendiri.
b. Teori Preusz
Dalam bukunya berjudul Die Geistige Kultur der Naturvolker (1914), Preusz menentukan bahwa:
Manusia mengira dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya serta mencapai tujuan hidupnya, baik yang sifatnya material maupun yang spiritual.
Jika di hubungkan sengan Preusz dalam bukunya Die Geistige Kultur der Naturvolker. Dalam ritual Panjang Jimat yang dilakukan oleh masyarakat Cirebon, sebenarnya didalam upacara tersebut terdapat sesuatu ritual yang sering dianggap oleh masyarakat dapat memenuhi kebutuhan materialnya, seperti dalam Upacara Panjang Jimat biasanya terdapat suatu arak-arakan yang membawa sejumlah jenis makanan ataupun benda yang dianggap dapat membawa berkah, sehingga masyarakat berusa untuk mendapatkannya agar terpenuhi kebutuhan materialnya. Selain itu juga dalam Upacara Panjang jimat, sering dilakukan suatu ritual keagamaan seperti membaca kitab barjanji, shalawtan, ataupun santapan rohani disini masyarakat merasa jika kebutuhan akan spiritualnya akan tercapai.
c. Teori Malinowski
Pendirian Malinowski tentang mitologi tersebut diuraikan dalam karangan berjudul Myth in Primitive Psychology (1948) yang menguraikan:
Dongeng-dongeng suci yang dianggap nyata yang tak terikat pada tempat dan waktu, serta dianggap sebagai pedoman untuk upacara-upacara suci, untuk kesusilaan, dan dianggap sebagai alasan untuk berbagai aktivitas masyarakat lain.
Pelaksanaan Upacara Panjang jimat di lakukan secara turun menurun yang dimulai dari penguasa Bani Fatimah hingga pada akhirnya sampai ke Indonesia. Upacara Panjang Jimat yang dilakukan Pertama kali oleh penguasa Bani Fatimah merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mengingat kelahiran Nabi yang kemudian menjadi turun menurun dan menjadi suatu tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat. Dalam pelaksanaannya terdapat suatu perubahan karena disesuaikan dengan kondisi jaman namun pada strukturnya tidak berubah.

BAB 3
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Upacara Maulid Nabi adalah suatu bentuk kebudayaan tradisional. Maulid Nabi merupakan suatu salah satu bentuk rasa cinta umat kepada Rasul Nya. Awal mula dari Maulid Nabi ini, pertama kali oleh penguasa bani Fatimah yang pertama menetap di Mesir kemudian sampai ke Indonesia atas jasa Sultan Salahuddin Al Ayyubi Khalifah dari dinasti Abbasiah, di Jawa tradisi Maulid Nabi telah ada sejak zaman walisongo sedangkan di Cirebon sendiri Maulid Nabi setelah Sultan Syarief Hidayatullah berkuasa.
Proses dari Maulid Nabi ini sama seperti upacara lainnya. Dalam proses Maulid Nabi ini terdapat beberapa lilin yang dipasang di atas standar, manggara, nagam, jantungan Tumpeng yang mendukung upacara Maulid Nabi.
Dengan berkembangnya jaman yang semakin modern dan mengarah ke globalisasi, maka Maulid Nabi juga mengalami perubahan. Di aspek sosial Maulid Nabi sekarang lebih mendukung kepada pariwisata dan pembangunan namun secara prinsipil kesakralan, tujuan, nilai serta struktur dalam upacara grebeg tidak mengalami perubahan. Meskipun dalam prosesi upacara ada sedikit perbedaan hal tersebut disebabkan karena perubahan jaman, dianggap lebih praktis, ekonomis, sehingga dalam pelaksanaan upacara ada sedikit perkembangan bila dibandingkan dengan dahulu. Di aspek ekonomi Maulud Nabi yang dahulu merupakan sebuah upacara peringatan kelahiran nabi Muhammad Saw saja yang di dalamnya terdapat ritual-ritual khusus sebagai simbol untuk meneladani kerasulannya kini dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat mencari rezeki.

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca guna perbaikan makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :
AB Usman, dkk. (2004). “Upacara Sekaten Dalam Pendekatan Teologis” Merumuskan Kembali Interkasi Islam – Jawa. Yogyakarta: Penerbit Gama Media.
Adeng, dkk. (1998). Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Amin, Darori. (2000). Islam & Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit Gama Media.
Anas, Ahmad. (2003). Menguak Pengalaman Sufistik (Pengalaman Keagamaan Jamaah Maulid Al-Diba Girikusumo). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Atja. (1986). Purwaka Caruban Nagari (Karya sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah). Bandung: Proyek Permuseuman Jawa Barat.
Azra, Azumardi. (1998). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Melacak Akar-Akar Pembaruan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
Cortesao, Armando. (1967). The Suma Oriental of Tome Pires: An account of The East from The Red Sea to Japan. Writen in Malacca and India in 1512-1515. London: Hakluyt Society.
Dasuki, H.A. (1978). Purwaka Tjaruban Nagari. Cirebon: Tidak diterbitkan.
Koentjaraningrat. (1987). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta; UI Press
Natadiningrat, PRA. Arief. (2009). Keraton Kasepuhan Cirebon. Cirebon: Keraton Kasepuhan.
Tedjasudhana, Lillian D. (1994). Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW, Asal-Usul Penyebaran Awalnya, Sejarah di Magrib dan Spanyol Muslim Sampai Abad Ke-10/ke-16. Jakarta: INIS.
Rostiyati, Ani dkk. (1995). Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Yogyakarta.
Unang, Sunaryo. (1991). Buluarti Keraton Kasepuhan Cirebon. Cirebon: Penerbit tidak tercantum.

Sumber Koran :
____. (10 Maret 2009). Gubernur Pertahankan Ritual Panjang Jimat. Seputar Indonesia. [Online]. Tersedia: http://72.14.235.132/search?q=cache:Smmn4-ey6BsJ:www.seputarindonesia.com/edisicetak/content/view/219709/+panjang+jimat+keraton+kasepuhan+cirebon&cd=18&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a. [20 Maret 2009]

Sumber Internet :
Jali, Jengki. (2009). Tradisi Maulid Nabi di Tanah Jawa. [Online]. Tersedia: http://sahabatsilat.com/forum/index.php?topic=551.0;wap2. [30 Maret 2009].

Sumber Lisan:
Bpk. R. Tumenggung Giriahmad, 52 Tahun. Abdi dalem Keraton Kasepuhan
Koresponden lainnya yang diwawancara sebanyak 35 orang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS