RSS

Merapi dan Petruk:
Analisis van Kendeng Terhadap Fenomena Munculnya Wajah Petruk Saat Merapi Meletus



Oleh:
Rifky Azhari


Dewasa ini mungkin anda sering mendengar kehebohan tentang munculnya wajah mbah petruk pada saat merapi meletus yang kesekian kali. Berbagai interpretasi pun bermunculan tentang munculnya fenomena tersebut. Ada yang mengatakan akan terjadi bencana alam di yogyakarta, ada yang berbicara tentang Yogyakarta yang menerima azab, dan lain sebagainya. Tapi tahukan anda tentang makna dibalik filsafat wayang petruk ini?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BERBAGAI VERSI TENTANG SEBUAH TRAGEDI:

Sebuah Analisa Terhadap Gerakan 30 September 1965

Oleh

Rifky Azhari

KONTROVESI ISTILAH G 30 S

Rasanya tidak ada ungkapan dalam bidang pendidikan di Indonesia yang seheboh isti­lah G 30 S. Sampai-sampai seorang menteri terlibat langsung dalam kontroversi istilah ini melalui peraturan dan surat yang dikeluarkannya tahun 2006.

Akhir September 1965, terjadi penculikan yang berujung pada kematian enam jenderal. Pelakunya adalah pasukan tentara atas komando Gerakan 30 September. Empat puluh hari setelah peristiwa itu Departemen Pertahanan mengeluarkan buku berjudul 40 hari Kegagalan "G 30 S". Belum dicantumkan kata PKI saat itu walaupun sejak hari pertama perco­baan kudeta, para pembantu Mayor Jenderal Soeharto seperti Yoga Sugama dan Sudharmono sudah yakin bahwa PKI berada di belakangnya.

Ketika itu terjadi persaingan dua istilah. Pertama, Gestok yang diucapkan dalam pidato-pidato Presiden Sukarno, singkatan dari Gerakan Satu Oktober. Alas­annya, peristiwa itu terjadi dini hari tanggal 1 Ok­tober. Sebaliknya pers militer menyebutnya Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Istilah ini menyalah kaidah bahasa Indonesia, namun sengaja dipakai untuk mengasosiasikannya dengan Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang kejam itu.

Tahun 1966 rezim Orde Baru telah memakai istilah G30S/PKI. Sejak itu, buku-buku yang memuat versi lain dilarang. Di luar negeri misalnya terbit tulisa Ben Anderson dan Ruth McVey (1966) yang menganggap ini persoalan internal Angkatan Darat.

Beragam penyebutan itu berdasarkan waktu terjadinya peristiwa tersebut dan perspektif orang/kelompok yang menamakannya. Yang paling obyektif tentu saja menamakan peristiwa sebagaimana pelaku gerakan itu menyebut diri mereka yaitu Gerakan 30 September. Itu yang tertulis secara nyata dalam doku­men-dokumen yang dikeluarkan Letnan Kolonel Un­tung tanggal 1 Oktober 1965 mengenai "Pembentukan Dewan Revolusi" serta "Penurunan dan Penaikan Pangkat". Bahwasanya kemudian muncul penafsiran tentang dalang peristiwa itu yang berbeda-beda tentu sah saja (PKI, Angkatan Darat, Central Intelligence Agency (CIA), Sukarno, Soeharto, "kudeta merangkak MPRS", dan lain sebagainya).

Setelah Soeharto berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia tahun 1998, bermunculan buku-buku yang tentunya dilarang bila terbit semasa Orde Baru. Terbit pula buku-buku sejarah dengan beragam versi mengenai Gerakan 30 September. Tidak mengherankan dalam kurikulum 2004 peristiwa itu disebut G 30 S dan pada tingkat SMA diajarkan versi-versi mengenai G 30 S. Kurikulum 2004 (dalam bentuk buku dan disket) diterbitkan Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional pada Oktober 2003 dengan pengantar dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Jati Sidi dan Kepala Balitbang Boediono.

Anehnya, dalam kurikulum 2006 (Kurikulum Ting­kat Satuan Pendidikan) yang diatur melalui Pera­turan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006 ditetapkan kembali istilah G 30 S/ PKI. Kemudian Kejaksaan Agung mendatangi Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional dan menanyakan siapa yang menghilangkan kata PKI dari istilah G 30 S? Jawab mereka, kurikulum itu disusun berdasarkan masukan dari para ahli (sejarawan, pa­kar psikologi dan pendidikan serta kurikulum) de­ngan mempertimbangkan temuan-temuan baru dalam bidang sejarah. Selanjutnya Kejaksaan Agung juga memeriksa beberapa penerbit. Karena menteri Pen­didikan Nasional meminta instansi ini untuk menarik buku-buku sejarah yang menghilangkan kata PKI di belakang singkatan G 30 S.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional itu da­pat membingungkan masyarakat, terutama guru dan siswa. Kebijakan ini semakin menjauh dari tujuan "mencerdaskan kehidupan bangsa".


BERBAGAI VERSI TENTANG PERISTIWA G 30 S

Telah lebih 30 tahun Tragedi 30 September terjadi. Banyak fakta objektif yang bersifat mutlak dan tidak bisa dipungkiri, antara lain: keterlibatan PKI, ambiguitas Soekarno, intrik dalam tubuh mi­liter (khususnya AD), serta kedekatan hubungan personal antara pelaku utama G 30 S dengan Mayjen Soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai Pangkostrad/Pangkopkamtib.

Tidak dapat diabaikan, G 30 S juga menjadi faktor pemicu bagi operasi paling efektif pembas­mian sebuah ideologi di suatu negara. Stigmatisasi yang diterapkan Soeharto terhadap mereka yang tidak terlibat langsung dengan komunisme pun dilakukan, misalnya dengan mengadakan pelarangan anak-anak mantan tahanan politik menjadi pegawai negeri juga merupakan cara efektif untuk menutup kemungkinan bangkitnya komu­nisme di negeri ini.

Telah banyak penelitian, kajian maupun lite­ratur yang mengkaji hancurnya komunisme di Indonesia, baik yang ditulis oleh pakar luar negeri maupun dalam negeri. Berbagai versi tentang G 30 S pun muncul. Setidaknya, ada enam teori yang ada dalam penulisan mengenai G 30 S, masing‑masing sebagai berikut:

a) Pelaku Utama G 30 S adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Biro Khusus

Dengan memperalat unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), tokoh-tokoh Biro Khusus Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan pemberontakan ini sejak lama. Tujuannya adalah merebut kekuasaan dan menciptakan masyarakat komunis di Indonesia. Tentu saja, pemerintah Orde Baru merupakan pi­hak yang pertama menyetujui teori pertama ini. Buku Putih Pengkhianatan G 30 S PKI terbitan Se­kretariat Negara (1994) merupakan penjelasan se­cara lengkap atas peristiwa paling tragis tersebut. Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh adalah penulis domestik pertama yang menulis versi ini, bukunya berjudul Percobaan Kup Gerakan 30 September di Indonesia (terbitan Jakarta, 1968). Penulis luar negeri yang dikategorikan masuk dalam versi ini adalah Arnold Brackman, penulis buku The Communist Collapse in Indonesia (terbitan New York, 1969).

b) G 30 S adalah Persoalan Internal Angakatan Darat

Versi kedua beranggapan bahwa G 30 S me­rupakan persoalan internal Angkatan Darat yang didalangi sebuah klik (kelompok terbatas). Persiapan ge­rakan dilakukan secara teliti oleh klik tersebut dengan cara menyusupi Partai Komunis Indonesia. Versi kedua ini di­tulis oleh MR Siregar (Tragedi Manusia dan Ke­manusiaan, Kasus Indonesia: Sebuah Holokaus yang Diterima sesudah Perang Dunia Kedua yang terbit per­tama kali 1993 di Amsterdam). The 30 September Movement karya Coen Holtsappel juga termasuk dalam versi kedua ini. Demikian pula CorneIl Pa­per (A Preliminary Analysis of the October 1,1965: Coup in Indonesia). Karya Ben Anderson dkk. yang diterbitkan di Ithaca, 1971. Whose Plot? New Light on the 1965 Events karya W.F. Wertheim juga mengacu pada versi yang memojokkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), khususnya Angkatan Darat ini. Buku karya Wi­mandjaja K. Litohoe, Primadosa, juga mengarah pada sintesis bahwa G 30 S merupakan kudeta yang dirancang oleh klik Angkatan Darat di bawah pimpinan Soeharto.

c) G 30 S Digerakkan oleh Central Intelligence Agency (CIA)

Versi ketiga ini beranggapan bahwa pelaku utama/dalang G 30 S adalah Central Intelligence Agency (CIA) atau pemerin­tah Amerika Serikat. Central Intelligence Agency (CIA) bekerjasama dengan sebuah klik Angkatan Darat untuk memprovokasi Partai Komunis Indonesia dengan tujuan akhir untuk menggulingkan Soekarno. Artikel Peter Dale Scott ("US dan the Overthrow of Soekarno: 1965-1967", Pacific Affairs, 1985) dan tulisan. Geoffrey Robin­son (Some Arguments Concerning US Influence and Complicity in the Indonesia Coup of October 1, 1965) merupakan analisis yang mengasumsikan bahwa Central Intelligence Agency (CIA) adalah dalang utama G 30 S. Kepentingan Amerika Serikat sangat jelas, yakni jangan sampai Indonesia menjadi basis komunisme. Pada awal dekade 1960-an, mereka mencemaskan Teori Domino, bahwa komunisme di Indo-China (Vietnam-Kam­boja) bisa bersambung dengan komunisme di In­donesia, yang kemudian menciptakan poros Ja­karta - Pyongyang - Beijing yang sangat ditakuti Amerika Serikat.

d) Bertemunya Kepentingan Inggris dan Amerika Serikat

Versi ini pada intinya mensinyalir bahwa G 30 S adalah "pertemuan" antara rencana Inggris dan Amerika Serikat. Inggris berkeinginan agar sikap konfron­tatif Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri de­ngan penggulingan kekuasaan, sedangkan Amerika Serikat menginginkan Indonesia terbebas dari komu­nisme. Greg Poulgrain, penulis buku The Genesis of Confrontation: Malaysia, Brunai and Indonesia, 1945-1965, percaya pada asumsi bahwa G 30 S adalah buah pertemuan kepentingan Inggris dan Amerika Serikat.

e) Soekarno Dalang Gerakan 30 September

Versi yang lebih kontroversial, karena meng­asumsikan Soekarno adalah dalang G 30 S. Ke­pentingan Soekarno adalah untuk melenyapkan oposisi sebagian perwira tinggi Angkatan Darat terhadap ke­pemimpinannya. Partai Komunis Indonesia (PKI) ikut terseret karena kede­katannya dengan sosok Soekarno. Versi ini di­kembangkan oleh Antonie Dake dalam karyanya, In The Spirit of the Red Banteng, The Devious Dalang: Soekarno and so-called Untung Putsch; juga oleh John Hughes (The End of Soekarno, 1968 atau Indone­sian Upheaval, 1967). Bagian dari buku Ulf Sund­haussen (Politik Militer Indonesia 1945-1967: Me­nuju Dwi Fungsi ABRI) juga mengarah pada dugaan bahwa Soekarno adalah pelaku utama G 30 S.

f) Teori Chaos

"Tidak ada dalang tunggal G 30 S", ini adalah versi keenam, yang menyerupai Teori Chaos. Ti­dak ada grand scenario, semua lebih didominasi oleh improvisasi lapangan. Manai Sophiaan (Ke­hormatan Bagi yang Berhak), Oei Tjoe Tat (Memoar Oei Tjoe Tat), John D. Legge (Sukarno: Sebuah Bio­grafi Politik) merupakan buku-buku yang terma­suk versi keenam ini. Intinya, G 30 S merupakan hasil kombinasi unsur-unsur Nekolim atau negara Barat, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang keblinger, serta oknum-­oknum Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang tidak benar.

Di luar keenam teori tersebut, adalah versi­-versi yang lebih melontarkan pertanyaan diban­dingkan memberi jawaban-jawaban. Sebaliknya, enam versi tersebut di atas juga belum sampai pa­da kesimpulan yang final. Persoalannya, banyak pengakuan para saksi sejarah yang belum bisa dijadikan sebagai bahan analisis Yang dibutuh­kan, tentu saja pengakuan yang jujur. Bukan pengakuan yang dikemas dengan tujuan "men­cuci dosa masa lampau", bukan pengakuan aki­bat "tekanan selama masa penahanan", bukan pula penulisan sejarah (historiografi) yang di­bingkai dengan kepentingan politik.


KESIMPULAN

Apa yang dilakukan dari versi yang beragam itu? Tugas sejarawan kadang kala ibarat dokter, seperti pernah dikatakan Marc Ferro. Ia melakukan diagnosa. Berbagai versi itu termasuk bagian dari diagnosa. Sang dokter berusaha menyimpulkan, artinya membuat sintesa dari berbagai versi tadi dan mengeluarkan pendapat.

Kasus G 30 S kita jadikan contoh. Kita tahu, gerakan ini menyebut diri. sebasai Gerakan Tiga Puluh September. Karena itu lebih obyektif bila peristiwa itu disebut sebagai G30S, bukan Gestapu dan bukan pula Gestok. Ada beberapa fakta yang dapat diterima. Pertama, yang diculik adalah perwira militer (khususnya Angkatan Darat). Yang menculik berasal dari resimen Cakrabirawa yang juga berasal dari unsur Angkatan Darat. Beberapa pimpinan PKI ,(dalam hal ini Biro Khusus) seperti Aidit dan Sjam, dipercaya terlibat dalam gerakan itu. Sjam sendiri masih misterius, apakah dia double agent (AD dan Biro Khusus PKI) bahkan triple agent (AD, Biro Khusu PKI, dan CIA)? Bebe­rapa dinas rahasia asing juga berperan seperti CIA. Pada tingkat lokal, Kodam Diponegoro, Jawa Tengah, merupakan Kodam yang paling "terlibat" G30S. Para pelaku dan pemberantas gerakan ini paling banyak berasal dari Kodam ini. Dari data yang sudah terteri­ma, dibuat narasi tentang peristiwa G 30 S.

Namun, itu saja tidak cukup. Sebuah peristiwa juga memiliki unsur kausalitas, hubungan sebab­ akibat. Kondisi nasional sebelum 30 September 1965 menjadi latar belakang meletusnya gerakan ini. Saat itu Indonesia mengalami krisis ekonomi, sosial, dan politik yang parah. Dalam konteks internasional, sedang berkecambuk perang dingin. Amerika Serikat berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis.

Tragedi tahun 1965 tidak berhenti sampai 1 Oktober 1965, tetapi berkelanjutan sampai masa Orde Baru, karena dampak langsung peristiwa ini adalah pembantaian massal tahun 1965/1966 dan penahanan politik di Pulau Buru (tahun 1969-1979). Mengung­kapkan rangkaian peristiwa secara utuh juga merupakan bagian dari pelurusan sejarah


DAFTAR PUSTAKA

Abdoerraoef. (1971). Komunisme dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Bulan Bintang.

Adam, A. W. (2009). Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Center for Information Analysis. (2006). Gerakan 30 September: Antara Fakta dan Rekayasa Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah. Yogyakarta: Media Pressindo.

Darmawan. (2008). Soekarno Memilih Tenggelam Agar Soeharto Muncul. Bandung: Hikayat Dunia.

Dinas Sejarah TNI-AD. (1985). Komunisme dan Kegiatannya di Indonesia. Kota dan Penerbit tidak tercantum.

DISJAM DAM IV/Siliwangi. (1979). Siliwangi dari Masa ke Masa (Edisi kedua). Bandung: Angkasa.

Elson, R. E. (2008). The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1981). 30 Tahun Indonesia Merdeka: 1965-1973. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1994). Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Sundhaussen, U. (1988). Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES.

Yani, A. (1981). Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan. Bandung: Karya Kelana.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

LAPORAN PENELITIAN KUALITAS PELAYANAN BIMBINGAN dan KONSELING di SMA SANTA ANGELA


Oleh:

Rifky Azhari


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Layanan Bimbingan dan Konseling merupakan suatu layanan bantuan bagi peserta didik (siswa) melalui kegiatan-kegiatan kelas atau di luar kelas, yang disajikan secara sistematis, dalam rangka membantu siswa mengembangkan potensinya secara optimal (A. Juntika, 2006: 26). Dengan demikian jelas bahwa tujuan dari adanya layanan Bimbingan dan Konseling ini tidak lain adalah utnuk membantu siswa agar memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, dan memperoleh keterampilan dasar hidupnya. Lebih jauh Juntika mengemukakan bahwa tujuan layanan Bimbingan dan Konseling ini dapat dirumuskan sebagai upaya untuk membantu siswa agar (1) memiliki kesadaran pemahaman tentang diri dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, sosial budaya, dan agama); (2) mampu mengembangkan keterampilan untuk mengidentifikasi tanggung jawab atau seperangkat tingkah laku bagi penyesuaian dirinya dengan lingkungannya; (3) mampu menangani atau memenuhi kebutuhan dan masalahnya, serta mengembangkan dirinya dalam rangka mencapai tujuan hidupnya.

Layanan Bimbingan dan Konseling dalam hal mencapai tujuan-tujuannya tersebut harus mampu menggunakan strategi-strategi tertentu agar tujuan yang diharapkan bisa terwujud. Strategi-strategi Bimbingan dan Konseling yang ditempuh juga harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Bimbingan dan Konseling, dimana prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah (A. Juntika, 2006: 18):

  1. Bimbingan diperuntukkan bagi semua individu
  2. Bimbingan bersifat individualisasi
  3. Bimbingan menekankan hal yang positif
  4. Bimbingan merupakan usaha bersama
  5. Pengambilan keputusan merupakan hal yang esensial
  6. Bimbingan berlangsung dalam berbagai setting

Ditinjau dari segi teoritis, memang layanan Bimbingan dan Konseling ini merupakan suatu layanan yang ideal dalam upaya membantu optimalisasi tumbuh kembang peserta didik. Di zaman globalisasi seperti saat ini, pentingnya keberadaan layanan Bimbingan dan Konseling tidak dapat terelakan. Karena arus globalisasi dan modernisasi yang tak terbendung acapkali diiringi oleh beribu masalah dalam kehidupan. Disini lah peran layanan Bimbingan dan Konseling sangat diharapkan dapat membantu peserta didik dalam mengatasi permasalahannya yang sangat kompleks. Namun, pertanyaannya apakah kondisi di lapangan mengenai layanan Bimbingan dan Konseling ini sudah sesuai dengan konsep maupun teori yang menjadi dasar layanan Bimbingan dan Konseling.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini, layanan Bimbingan dan Konseling masih dipandang sebelah mata bagi segelintir orang, khususnya bagi para siswa. Banyak diantara siswa yang masih menganggap layanan Bimbingan dan Konseling sebagai suatu layanan yang hanya diperuntukkan bagi siswa bermasalah. Sehingga banyak siswa yang enggan untuk memanfaatkan layanan Bimbingan dan Konseling untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapi mereka karena pencitraan negatif terhadap layanan Bimbingan dan Konseling yang sudah melekat. Kalaupun ada siswa yang memanfaatkan layanan Bimbingan dan Konseling ini, maka jumlahnya pun masih sedikit. Umumnya mereka menggunakan layanan Bimbingan dan Konseling ini pada saat pemilihan jurusan sewaktu di kelas X dan pada saat akan masuk Perguruan Tinggi di akhir kelas XII.

Persepsi yang negatif tersebut juga disebabkan adanya anggapan bahwa layanan Bimbingan dan Konseling merupakan satu cara yang menekan aspirasi. Padahal sebenarnya Bimbingan dan Konseling ini merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membantu membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang. Sementara itu pencitraan negatif terhadap Bimbingan dan konseling juga diperburuk oleh masih adanya guru pembimbing yang kinerjanya tidak profesional. Mereka masih lemah dalam memahami konsep-konsep bimbingan secara komprehensif, menyusun program bimbingan, dan mengimplementasikan teknik-teknik bimbingan. Kurangnya profesionalitas guru Bimbingan dan Konseling juga dapat disebabkan karena pengangkatan guru mata pelajaran tertentu menjadi guru pembimbing.

Pencitraan negatif terhadap layanan Bimbingan dan Konseling itu menyebabkan peran dan fungsi Bimbingan dan Konseling di Sekolah menjadi tidak optimal. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya baik dari sekolah maupun guru Bimbingan dan Konseling untuk memulihkan citra layanan Bimbingan dan Konseling ini agar keberadaannya dapat dimanfaatkan sesuai dengan peran dan fungsinya. Salah satu upaya untuk memulihkan citra layanan Bimbingan dan Konseling adalah dengan melakukan peningkatan kualitas layanan bimbingan. Dalam hal ini, kami mencoba untuk melakukan penelitian sederhana mengenai kualitas layanan Bimbingan dan Konseling di SMA Santa Angela, Bandung.


BAB 2

HASIL LAPANGAN

Rekapitulasi data sebaran kuisioner mengenai masalah yang dikonsultasikan pada layanan BK di kelas XI IPS 2 SMA Santa Angela

No

Jenis Kelamin (L/P)

Masalah Yang Dikonsultasikan

Contoh

1

L

Belajar dan pribadi

Kesulitan mata pelajaran tertentu; masalah pacaran

2

P

Karir dan pribadi

Pengambilan jurusan kuliah dan program studi; bermasalah dengan aturan sekolah, guru, dan kepala sekolah.

3

P

-

-

4

P

Belajar

Nilai yang kurang

5

L

Belajar dan pribadi

Malas; masalah pacaran

6

P

Pribadi

Masalah keluarga

7

L

-

-

8

P

Belajar

Waktu kelas X, masuk jurusan mana di kelas XI

9

L

Belajar; karir; pacar

Motivasi kurang; kerja ke depan; masalah pacaran

10

L

Belajar

Nilai yang jelek

11

P

Belajar

Pemilihan jurusan di kelas XI

12

L

Belajar

Malas belajar dan cara belajar

13

P

-

-

14

P

Belajar

Cara belajar dan nilai-nilai yang kurang

15

P

Belajar; sosial

Proses belajar dan cara belajar; hubungan dengan teman

16

P

Belajar

Arahan untuk masuk penjurusan di kelas XI

17

L

Belajar; pribadi

Kurang motivasi; minat belajar yang terganggu dari factor keluarga (intern).

18

P

Belajar

Cara efektif dalam belajar mengurangi kemalasan

19

P

Belajar

Cara belajar dan pemilihan jurusan di kelas XI

20

L

-

-

21

P

Belajar; pribadi

Masalah nilai dan cara belajar; soal teman dan keluarga

22

P

Belajar; karir

Masalah dengan guru; jurusan untuk universitas

23

L

-

-

24

P

Belajar

Cara membagi waktu belajar dan melatih ingatan

25

P

Belajar

Nilai yang kurang

26

P

Belajar

Nilai yang kurang

27

L

-

-

28

L

Belajar

Pola belajar

29

P

Belajar; pribadi

Nilai yang kurang; masalah keluarga

30

P

-

-

31

L

Belajar; karir

Perkembangan belajar; pemilihan kerja/ jurusan di universitas

32

P

-

-

33

P

-

-

34

L

Belajar; pribadi

Nilai; kelakuan di sekolah

35

P

-

-

36

L

-

-

37

L

Belajar

Nilai-nilai yang kurang

38

L

Belajar

Nilai

39

P

-

-

40

P

Belajar

Malas

Diagram Perbandingan Masalah Yang Dikonsultasikan

Siswa SMA Santa Angela

Jumlah Siswa : 40

Jumlah Laki-laki : 16

Jumlah Perempuan : 34

Masalah Belajar : 26

Karir : 4

Pribadi : 8

Sosial : -

Tidak pernah konsultasi : 12

Kesimpulan :

  1. Bidang Belajar

Bidang belajar merupakan bidang yang paling banyak dikonsultasikan oleh sebagian besar siswa kelas XI IPS 2. Bidang belajar yang dikonsultasikan meliputi konsultasi mengenai nilai-nilai mata pelajaran yang kurang, konsultasi mengenai cara emmbagi waktu belajar, pemilihan jurusan waktu di kelas x dan konsultasi dalam emngatasi kemalasan.

  1. Bidang Karir

Sebagian besar siswa kelas XI IPS 2 tidak mengkonsultasikan masalah karir dalam layanan BK. Hanya ada sekitar 4 siswa yang mengkonsultasikan masalah karir, seperti pemilihan pekerjaan yang cocok di masa depan dan tidak ada yang mengkonsultasikan tentang orientasi pekerjaan setelah lulus SMA, karena kebanyakan dari mereka akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi.

  1. Bidang Sosial

Dari keseluruhan siswa kelas XI IPS 2 tidak ada satupun yang mengkonsultasikan masalah sosial dalam penggunaan layanan BK. Rata-rata, siswa memasukkan masalah sosial seperti hubungan pertemanan ke dalam masalah pribadi.

  1. Bidang Pribadi

Bidang pribadi merupakan bidang yang paling banyak dikonsultasikan oleh siswa kleas XI IPS 2 setelah bidang belajar. Masalah pribadi yang dikonsultasikan meliputi masalah dalam keluarga dan masalah hubungan hubungan dengan teman dekat.


BAB 3

PEMBAHASAN

Jones (1963 dalam Walgito, 2005: 6) mengatakan bahwa pengertian konseling adalah sebagai berikut:

”Counseling is talking over a problem with some one. Usually but not always, one of the two has facts or experiences or abilities not possesed to the same degree by the other. The process of counselling involves a clearing up of the problem by discussion.”

Kottler dan Brown ( dalam Surya, 2003: 7) menjelaskan bahwa konserling yaitu;

Konserling adalah suatu profesi; dengan suatu sejarah dan perangkat standar dan etika yang membedakan dari dispilin; dan suatu proses, yang sedang berjalan, selalu berubah, dinamik, dan terbuka, yang dapat dibatasi dan operasional dalam tahapan, tingkat, titik akhir; yang melibatkan suatu hubungan; baik dalam format kelompok, keluarga maupun individual yang bersifat asuhan, persahabatan, terbuka, dan mengarah kepada kontak psikologis yang konstruktif; antara orang-orang, yang seorang adalah pemberi bantuan yang profesional dengan latihan dan profesional dengan latihan dan pengalaman untuk membantu orang lain, dan seorang lagi yang meninginkan bantuan dalam memecahkan masalah-masalah pribadi; dan menuntut suatu perangkat keterampilan, keterampilan khusus, dalam mendukung, mengandung rasa, merefleksi, mengkonfrontasi, menganalisis, dan mengakhiri; dan pengetahuan, yang berkenaan dengan bagaimana orang belajar, berubah, dan tumbuh; yang dapat dikomunikasikan, dalam ungkapan bahasa yang khusus secara jelas efisien, berwibawa, dan situasional; untuk mempengaruhi lkien berubag, sikap, perasaan, pikiran, perilaku, keterampilan dan kemampuan melalui cara yang konstruktif dan pilihan sendiri.

3.1. Bidang Belajar

Tugas seorang pembimbing di sekolah adalah membantu kepala sekolah dalam menyelenggarakan kesejahteraan sekolah secara keseluruhan. Karena itu sudah selayaknya bila bidang gerakannya tidak terbatas kepada pemberian bimbingan dan konseling kepada anak didik saja, akan tetapi juga meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan sekolah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Walgito (2005: 47) mengetakan behwa pentingnya Bimbingan dan Konseling pada segi pelajaran, adalah:

a) Tujuan Bimbingan dan Konseling dalam pelajaran ialah untuk memberikan bantuan kepada anak didik agar dapat menemukan caranya sendiri untuk belajar dengan metode yang lebih mudah dan lebih efisien.

b) Di samping itu juga agar anak didik mengenal diri, yaitu mengetahui kekurangan dan kelebihannya dalam mempelajari setiap mata pelajaran.

c) Mengingat bahwa pengajaran adalah alat dari pendidikan maka tujuan bimbingan dan konseling pada segi pelajaran tidak boleh terlepas daripada tujuannya secara umum, yaitu untuk membentuk membantu anak didik dalam membentuk wataknya sebagai jalan pembentukan kepribadian yang berpancasila.

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:

a) Bimbingan merupakan suatu proses sehingga oleh karenanya memerlukan kesabaran dan pengebdian dari pihak pembimbing.

b) Bimbingan hendaknya bergerak secara operasional terutama dalam bidang preventif.

c) Karena pembimbing bertugas membantu anak didik agar dapat mengatasi kesukaran-kesukarannya, maka hendaknya pembimbing mengetahui faktor-faktor yang menyulitkan secara umum, yaitu:

1. Faktor kurikulum;

2. Faktor minat dan motif

3. Faktor peralatan

4. Faktor aparatur

5. Faktor evaluasi

6. Faktor masyarakat

Cara-cara untuk mengatasi kesukaran dalam mempelajari mata pelajaran, adalah:

1. Untuk mata pelajaran pengetahuan alam

a) Belajar secara sistematis dan menyediakan waktu yang cukup.

b) Belajar berdasarkan pengalaman.

c) Mengadakan latihan-latihan secara rutin sehinnga bertaraf pengetahuan siap.

d) Mengadakan latihan-latihan yang bersifat problem solving menuju insight.

e) Memahami kesalahan-kesalahan yang telah dibuat dalam menyelesaikan soal-soal.

f) Merangkum bagian-bagian informatoris sebagai pegangan untuk berfikir teratur dan kaya.

g) Mengulangi tiap-tiap rengkuman itu sampai bertaraf pengetahuan siap.

h) Kadang-kadang diwajibkan untuk membaca literatur lengkap dan apabila mungkin literatur lain sebagai bahan perbandingan.

2. Untuk mata pelajaran pengetahuan sosial

a) Belajar secara sistematis dan menyediakan waktu yang cukup.

b) Belajar berdasarkan atas pemahaman.

c) Merangkum bagian-bagian informatoris sebagai pegangan untuk berpikir secara teratur.

d) Mengulangi rangkuman-rangkuman itu sehingga menjadi pengetahuan parat.

e) Kadang-kadang diwajibkan untuk membaca literatur lengkap dan apabila mungkin literatur lain sebagai perbandingan.

3. Untuk mata pelajaran bahasa

a) Belajar secara sistematis dan menyediakan waktu yang cukup.

b) Banyak berlatih mengarang dan berbicara guna mencapai tingkat penguasaan bahasa secara aktif.

c) Benyak membaca buku-buku dalam bahasa yang dipelajari.

d) Berlatih mengeluarkan buah pikiran dalam bentuk karangan atau bentuk pidato dalam bahasa yang sedang dipelajari.

3.2. Bidang Pribadi

Konserling membantu seseorang untuk mengenal bahwa masalah-masalah yang dialami, sesungguhnya bersumber dari konflik-konflik yang ada dalam dirinya dan bukan karena situasi di luar dirinya. Akan tetapi pada umumnya orang menaggap bahwa masalh yang dihadapinya, disebabkan oleh hal-hal di luar dirinya. Melalui konserling individu di bantu untuk menyadari bahwa masalah psikologis yang dihadapinya sesungguhnya berada di dalam dirinya, apa yang ada diluar dirinya merupakan faktor yang mempengaruhi, sedangkan faktor yang menetukan ada didalam dirinya sendiri. Dengan demikian masalah-masalah yang dibawa ke konserling sebenernya berada dalam pribadi konseli (klien);

Langkah awal yang harus dilakukan oleh konselor adalah menyadarkan klien atau pribadi bahwa konselor tidak dapat berbuat banyak terhadap lingkungan yang diakui sebagai sebab dari masalah yang di hadapi klien. Ada tiga macam faktor-faktor internal yang menyebabkan konflik dalam diri individu, yaitu; 1. Penilaian negatif terhadap diri sendiri 2. Keharusan psikologis, dan 3. Konflik kebetuhan.

Penilaian Negatif Terhadap Diri Sendiri

Bila seseorang dihinggapi perasaan perasaan negatif terhadap dirinya, baik secara sadar ataupun tidak, maka mereka lebih mudah terkena ancaman atau gangguan dalam interaksinya dengan lingkungan. Keadaan ini tentu saja dapat menimbulkan konflik-konflik dalam dirinya karena apa yang dirasakan belum tentu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Dengan demikian makin banyak seseorang memiliki perasaan negetif terhadap dirinya, maka makin banyak masalah konflik yang dialaminya. Hal itu timbul dengan tiga alasan yaitu pertama, sebagian waktu dan tenaganya akan digunakan untuk melewati atau menghindari dari orang lain atau situasi. Kedua, lingkungan hubungannya dengan lingkungan akan bertambah mudah terbakar karena perlawanan dan penghindaran diri dapat menimbulkan masalah objektif dengan lingkungan. Ketiga, karena mereka melihat hanya sebagian kecil lingkungan, dan tidak melebur dengan dirinya, maka meraka cenderung untuk menyelahkan lingkungan sebagai sumber masalahnya.

Keharusan Psikologis

Keharusan psikologis adalah pikiran dan perasaan yang secara multak ”mengaruskan” sesorang berbuat untuk menujang, perjalanan hidupannya. Individu yang mempunyai keharusan psikologis ini merasa bahwa hidup ini dianggap gagal dan tidak berarti apabila tidak mencapai apa yang di ”haruskan” itu. Mereka tidak mampu berhubungan dengan lingkungan secara realistik dan tidak memperoleh kepuasan dari lingkungannya. Dengan demekian mereka selalu berada dalam konflik yang menekan dirinya, yang kemudian dapat menimbulkan masalah. Terdapat empat keharusan psikologis, pertama, keharusan psikologis personal (pribadi). Kedua, keharusan psikologis interpersonal. Ketiga, keharusan psikologis sosial. Kempat, keharusan psikologis destruktif.

Konflik Kebutuhan-kebutuhan

Manusia tidak memiliki satu kebutuhan tunggal dalam kehidupannya, melainkan menghadapi sejumlah kebutuhan yang harus dipuaskan. Kebutuhan itu memiliki kekuatan yang sama untuk dipuaskan dan sering bertentangan satu dengan lainnya. Keadaan ini dapat menimbulkan konflik internal, yang pada gilirannya dapat menimbulkan gangguan prilaku serta masalah-masalah pribadi.

3.3. Bidang Sosial

Bimbingan dan Konseling pada segi sosial adalah sebagai berikut:

1. Bimbingan sosial dimaksudkan untuk membantu murid mengembangkan sikap jiwa dan tingkah laku pribadi dalam kehidupan kemasyarakatan mulai dari lingkungan yang terbesar, berdasarkan ketentuan yang menjadi landasan bimbingan dan konseling, yakni dasar negara, haluan negara, tujuan negara, tujuan pendidikan nasional.

2. Dalam membantu siswa perlu memperhatikan faktor umum, yaitu pengaruh dan fungsi lingkungan kemasyarakatan, dan faktor khusus, yaitu keadaan masyarakat Indonesia dalam masa transisi yang mengalami perubahan nilai budaya, sosial, ekonomi, moral. Lingkunagn dan usaha pendidikan yang amat berpengaruh pada perkembanagn pribadi dan sosial di masa remaja ialah lingkungan keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama, kemudian lingkungan pendidikan kedua di sekolah, dan akhirnya masyarakat sebagai lingkungan pendidikan ketiga.

3. Usaha ini harus selalu berpedoman kepada ciri khas yang kita inginkan bagi individu atau orang Indonesia, ialah sifat-sifat manusia Indonesia.

3.4. Bidang Karir

Bidang karir ialah bimbingan dalam lapangan kerja atau jabatan profesi dalam mempersiapkan diri untuk memasuki lapangan pekerjaan itu dan dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan di jenis pekerjaan tertentu.

Bidang pekerjaan cukup bererti dalam kehidupan individu, sebagian besar dopikiran dan waktu tercurahkan pada kepentingan pekerjaan. Dalam masyarakat tradisional memilih pekerjaan biasanya bukan masalah karena anak ikut tradisi keluarganya dalam hal ini, apalagi tidak ada banyak variasi mengenai bidang-bidang pekerjaan. Dalam masyarakat modern keadaannya lain, kehidupan masyarakt lebih kompleks dan bidang pekerjaan yang begitu banyak. Maka peranan sek menjadilebih penting dan jenis-jenis jurusan pendidikan sekolah bertambah banyak pula. Pada pihak murid, keharusan dalammemilih suatu bidang pekerjaan semakin mendesak karena makin tidakmungkin untuk menguasai berbagai jenis pekerjaan tersebut.

Dalam rangka program bimbingan di sekolah dapat dimulai dari uasaha-usaha sebagai berikut;

1. memberikan penjelasan tentang arti di pekerjaan atu jabatan dalam hidup sesorang. Menyadarkan bahwa segala jenis pekerjaan memberikan sumbnagan pada pembangunan negara meskipun tingkatnya berbeda-beda.

2. memberika info pada murid tentang harian dalam bidang-bidang pekerjaan, tentang tuntut-tuntutannya.

3. menyediakan brosur-brosur

4. wawancara penyuluhan dengan murid yang sudah akan terjun di dunia pekerjaan.

Menurut syamsu dalam bukunya Landasan Bimbingan dan Konserling, bidang karir ini sering digunakan sebagai berikut;

1. kurang memahami cara memilih program studi yang cocok dengan kemampuan dan minat;

2. kurang mempunyai motivasi untuk mencari informasi tentang dunia kerja;

3. masih bingung untuk memilih pekerjaan;

4. masih kurang mampu memilih pekerjaan yang sesuai dengan kempauan dan minat;

5. merasa cemas untuk mendapat pekerjaan setelah tamat sekolah;

6. belum memiliki pilihan perguruan tinggi tertentu, jika setelah tamat tidak memasuki dunia kerja.


BAB 4

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dalam kehidupan sehari-hari bimbingan dan konserling mempunyai peranan yang sangat penting. Layanan ini bertujuan untuk membantu individu dalam mengahadapi permasalahan yang dialaminya dan memecahkannya. Permasalahan yang dihadapi bisanya mencakup di berbagai bidang, bidang pribadi, bidang karier, bidang sosial, bidang belajar. Dalam bidang pribadi, layanan ini bisa membantu individu dalam mengembangkan dirinya sehingga bisa mencapai suatu pencapaian yang optimal. Di bidang karier, layanan ini membantu individu dalam memilih bidang pekerjaan apa yang sesuai dengan minatnya. Di bidang sosial, layanan ini membantu individu dalam mengembangkan pribadi dalam kehidupan kemasyarakatan dan di bidang belajar layanan ini membantu individu dalam memotivasi dan mengatasi kesulitan dalam belajar. Jadi peranan Layanan Bimbingan dan Konserling ini mempunyai peran yang sangat penting, khususnya penerapan di sekolah. Sehingga peran layanan Bimbingan dan Konserling yang baik akan membantu pihak sekolah dalam mengoptimalkan perkembangan siswa terutama pada bidang pribadi, belajar, sosial, dan karir. Khususnya pada sekolah yang kami teliti kemarin, SMA Santa Angela. Peranan Bimbingan dan Konserling yang diterapkan disana sudah cukup baik, meskipun masih banyak siswa yang belum menggunakan layanan Bimbingan dan Konserling secara optimal.

4.2. Saran

Dari uraian yang telah dijelaskan diatas dan dibandingkan dengan keadaan sekolah yang kami teliti, kami memberi saran agar layanan Bimbingan dan Konserling yang telah diterapkan lebih bisa mencakup kesemua pihak, agar tidak terjadi lagi kekurang optimalan dari siswa dalam menggunakan layanan bimbingan dan konserling.


DAFTAR PUSTAKA

Surya, Muhammad. (2003). Psikologi Konseling. Bandung: CV. Pustaka Bani Quraisy.

Syamsu, Yusuf dan Nurikhsan, A. Juntika. (2006). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Walgito, Bimo. (2005). Bimbingan dan Konseling (Studi dan Karir). Yogyakarta: CV. Andi Offset.

Winkel, W.S. (1982). Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah. Jakarta: PT. Gramedia.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS