RSS

MASYARAKAT PRIBUMI BERTAHAN DI ANTARA MASYARAKAT KETURUNAN ARAB DAN MASYARAKAT KETURUNAN TIONGHOA (1997-1998) : MASYARAKAT JAGABAYAN KOTA CIREBON

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penulisan Makalah
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik. Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan itu sering kali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk (Nasikun, 2009: 34-35).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan prularitas masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi. Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih 3.000 pulau yang terserak di suatu daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat dan lebih dari 1.000 mil dari utara ke selatan. Selain itu juga kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas di dalam masyarakat Indonesia (Nasikun, 2009: 44-46).
Dengan melihat kalimat di atas, akhirnya penulis merasa tertarik untuk membahas tentang suatu masyarakat di Jagabayan Kota Cirebon yang bisa dibilang menggambarkan kemajemukan masyarakat di Indonesia, dimana di tempat itu terdapat tiga golongan masyarakat, yang pertama, masyarakat keturunan Tionghoa; kedua, masyarakat keturunan Arab; ketiga, masyarakat pribumi.
Tulisan ini berusaha mendeskripsikan dan menganalisis mengenai struktur sosial – budaya di tempat tersebut pada medio tahun 1997-1998 dimana pada saat itu Indonesia sedang mengalami masalah krisis multidimensi. Untuk itu makalah ini penulis mengakat judul “MASYARAKAT PRIBUMI BERTAHAN DI ANTARA MASYARAKAT KETURUNAN ARAB DAN MASYARAKAT KETURUNAN TIONGHOA (1997-1998) : STRUKTUR SOSIAL - BUDAYA MASYARAKAT JAGABAYAN KOTA CIREBON”.

1.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis membuat beberapa rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan. Rumusan masalah dapat membatasi agar pembahasan tidak melebar dan lebih terfokus. Adapun rumusan masalah yang penulis kemukakan adalah bagaimana:
1. Sejarah singkat daerah Jagabayan?
2. Gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat keturunan Arab di daerah Jagabayan?
3. Gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat keturunan Tionghoa di daerah Jagabayan?
4. Gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat pribumi di daerah Jagabayan?
5. Struktur sosial dan struktur budaya masyarakat Jagabayan menghadapi masa krisis multidimensi di Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah untuk menjawab rumusan masalah di atas, yakni dapat menjelaskan:
1. Sejarah daerah Jagabayan;
2. Gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat keturunan Arab di daerah Jagabayan;
3. Gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat keturunan Tionghoa di daerah Jagabayan;
4. Gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat pribumi di daerah Jagabayan;
5. Struktur sosial dan struktur budaya masyarakat Jagabayan pada masa krisis multidimensi di Indonesia.

1.4. Metode Penulisan
Adapun penulisan makalah yang penulis buat ini adalah dengan menggunakan metode analisis kritis. Tahap heuristik dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber yang relevan, baik itu sumber tertulis maupun sumber lisan yang berupa wawancara. Pengkritikan terhadap kebenaran sumber tersebut baik kritik eksternal maupun kritik internalpun penulis lakukan. Serta menginterpretasikan sumber-sumber yang didapat, dan menyusunnya dalam sebuah historiografi.

1.5. Sistematika Penulisan
Untuk menguraikan isi dari makalah ini, penulis membuat sistematika penulisan untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi makalah ini. Dimulai dengan kata pengantar kemudian dilanjutkan dengan bab satu pendahuluan, bab dua tinjauan pustaka, bab tiga pembahasan materi, bab empat penutup dan terakhir daftar pustaka.
Dalam Bab 1 Pendahuluan berisi latar belakang masalah yang menjadi pendorong dibuatnya makalah ini, rumusan masalah sebagai batasan kajian, tujuan penulisan makalah yang ingin dicapai dari penulisan, metode penulisan yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika penulisan.
Dalam bab dua berisi tinjauan pustaka mengenai gambaran tentang sistem sosial budaya di Indonesia. Bab tiga membahas mengenai Sejarah daerah Jagabayan, gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat keturunan Arab di daerah Jagabayan, gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat keturunan Tionghoa di daerah Jagabayan, gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat pribumi di daerah Jagabayan, struktur sosial dan struktur budaya masyarakat Jagabayan pada masa krisis multidimensi di Indonesia Dalam bab empat berisi kesimpulan dari isi materi dan diakhrir dengan Daftar Pustaka.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Tatang M. Amirin (Ranjabar, 2006:7) menyatakan bahwa istilah sistem berasal dari bahasa Yunani; systema, yang artinya :
1. Suatu hubungan yang terssusun atas sekian banyak bagian;
2. Hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur.
Jadi, systema itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Tatang M. Amirin mengambil beberapa contoh yang menurutnya agak dikenal di Indonesia, antara lain seperti:
1. Sistem yang digunakan untuk menunjuk suatu kumpulan atau himpunan benda-benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk saling hubungan atau saling ketergantungan yang teratur.
2. Sistem yang digunakan untuk menyebut alat-alat atau organ tubuh secara keseluruhan yang secara khusus memberikan andil atau sumbangan terhadap berfungsinya tubuh tertentu yang rumit, tetapi amat vital.
3. Sistem yang menunjuk sehimpunan gagasan (ide) yang tersusun dan terorganisasikan.
4. Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk suatu hipotesis atau suatu teori.
5. Sistem yang dipergunakan dalam arti metode atau tata cara.
6. Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk pengertian skema atau metode tata cara.
Dari pernyataan di atas, terdapat ciri khusus yang melekat pada tiap arti sistem tersebut, yaitu bahwa dalam suatu sistem terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan atau berhubungan dalam suatu keastuan.
Pengertian sosial budaya mengandung makna sosial dan budaya. Sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakatan berarti segala sesuatu yang bertalian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyarakt dari orang atau sekelompok orang yang di dalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nilai-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Arti budaya, kultur atau kebudayan adalah cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal balik dengan alam dan lingkungan hidupnya yang di dalamnya sudah tercakup pula segala hasil cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik materiil maupun yang psikologis, idiil, dan spritual (Koentjaraningrat, 2009: 146).
Dari uraian yang dikemukakan itu, dapat disimpulkan secara sederhana dalam arti luas bahwa pengertian sistem sosial-budaya, yaitu merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama-sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hiup dalam bermasyarakat (Ranjabar, 2006:9).


BAB 3
MASYARAKAT PRIBUMI BERTAHAN DI ANTARA MASYARAKAT
KETURUNAN ARAB DAN MASYARAKAT KETURUNAN TIONGHOA
(1997-1998) : STRUKTUR SOSIAL - BUDAYA MASYARAKAT JAGABAYAN
KOTA CIREBON

3.1. Sejarah Singkat Jagabayan
P.S. Sulendraningrat (1984) mengatakan bahwa Jagabayan didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Tidak ada keterangan pasti mengenai waktu daerah ini didirikan, namun menurut Ade, seorang Juru Kunci daerah tersebut mengatakan bahwa waktu tahun pendirian Jagabayan oleh Sunan Gunung Jati adalah sama dengan tahun didirikannya Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan Cirebon, yaitu pada 1489 M.
Daerah ini awalnya hanya terdiri dari satu buah masjid, yang bernama Masjid Jami Jagabayan. P.S. Sulendraningrat mengungkapkan bahwa didirikannya Jagabayan adalah bertujuan untuk menjaga dari bahaya. Maksudnya, Jagabayan ini memiliki fungsi sebagai pusat penjagaan sebelum memasuki pintu Keraton Kanoman dan Kasepuhan. Wahid (2009: 62) mengatakan bahwa daerah Jagabayan adalah daerah strategi sebagai pintu untuk memasuki keraton.
Letaknya yang strategis, dekat dengan pesisir laut dan sebagai pintu gerbang untuk memasuki keraton, ini menyebabkan beberapa masyarakat untuk tertarik tinggal di daerah tersebut. Beberapa etnis yang mendiami daerah tersebut adalah etnis Tionghoa, etnis Arab, dan masyarakat pribumi sendiri. Maka tak heran, jika daerah tersebut sampai saat ini masih terdapat beberapa usaha yang sangat menguntungkan, seperti pusat usaha pertokoan emas, pusat penjualan minyak wangi, pusat elektronik, dan beberapa usaha lainnya yang sangat vital bagi kelangsungan perekonomi Kota Cirebon sendiri. Bahkan, masjid Jami Jagabayan, dipercaya oleh beberapa masyarakat memiliki “berkah” tersendiri bagi siapa saja yang mandi dengan menggunakan air sumur di masjid tersebut. Menurut Malinowsky (Nazsir, 2009: 10), keberadaan sumur Jagabayan ini dapat menenangkan masyarakat dari kegelisahan dari rasa tajut ketika menghadapi musibah yang dalam banyak hal mereka merasa tidak berdaya.

3.2. Gambaran Umum Mengenai Kehidupan Sosial Masyarakat Keturunan
Arab
3.2.1. Awal Kedatangan Orang Arab ke Cirebon
Awal kedatangan orang-orang Arab ke Cirebon ini menurut Sulendraningrat (1984: 21-22) adalah ketika Sunan Gunung Jati masih hidup tepatnya pada 1464 M. Orang Arab yang pertama datang ke Cirebon menurut Sulendraningrat adalah Syarif Abdurrachman, beliau adalah putra dari Sultan Maulana Sulaeman penguasa di Bagdad yang diperintahkan untuk berguru kepada Sunan Gunun Jati. Oleh Sunan Gunung Jati Syarif Abdurrachman diberi tempat yang kemudian disebut dengan Panjunan.Semenjak saat itu Panjunan didiami oleh komunitas keturunan Arab.

3.2.2. Kehidupan Sosial Masyarakat Keturunan Arab
Masyarakat keturunan Arab yang mendiami daerah Jagabayan mayoritas bermata pencaharian sebagai penjual minyak wangi. Tercatat 11 toko minyak wangi yang terdapat di daerah Jagabayan yang dimilki oleh masyarakat keturunan Arab. Jika dilihat secara geografis, letak Jagabayan yang berdekatan dengan Panjunan (daerah di mana mayoritas masyarakat keturunan Arab di Cirebon ini tinggal) sangat wajar bila di sana banyak terdapat toko-toko yang menjual minyak wangi. Selain itu, biasanya, selain menjual minyak wangi mereka juga ada yang membuka usaha toko buku.
Jika kita mengkaji lebih dalam tentang masyarakat keturunan Arab ini, maka menurut Selo Soemardjan (Ranjabar, 2006:32) masyarakat ini dapat dikategorikan sebagai masyarakat dengan struktur sosial-budaya madya. Di mana ciri-ciri masyarakat madya adalah:
1. Hubungan dalam keluarga tetap kuat, tetapi hubungan dalam masyarakat setempat sudah mengendor dan menunjukkan gejala-gejala hubungan atas dasar perhitungan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari adanya hubungan kekerabatan yang ada di masyarakat keturunan Arab ini. Mereka memilki ikatan yang kuat dengan “bangsa-nya”, seperti “bangsa” Attamimmi akan sangat kuat dengan orang yang “berbangsa” sams Attamimmi.
2. Adat istiadat masih dihormati, tetapi sikap masyarakat mulai terbuka akan pengaruh dari luar. Terlihat disini bahwa masyarakat ini masih tetap menghormati adat istiadatnya seperti mengadakan pengajian pada saat Malam Jum’at.
3. Dengan timbulnya rasionalitas dalam cara berfikir, maka kepercayaan-kepercayaan pada kekuatan-kekuatan gaib baru timbul apabila orang sudah mulai kehabisan akal untuk menaggulangi suatu masalah. Dan biasanya jika sudah mulai kehabisn akal, beberapa orang dari masyarakt keturunan Arab ini pergi ke Masjid Jagabayan untuk mandi air sumur.
4. Di dalam masyarakt timbul lembaga-lembaga pendidikan formal sampai tingkat lanjutan dan masih jarang sekali ada lembaga pendidikan keterampilan atau kejuruan. Masyarakat ini sudah memilki sekolah yang bernama SMP Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Dimana muridnya hampir 90% adalah masyarakat keturunan Arab itu sendiri.

3.3. Gambaran Umum Mengenai Kehidupan Sosial Masyarakat Keturunan
Tionghoa
3.2.1. Awal Kedatangan Orang Tionghoa ke Cirebon
de Graff dan Pigeaud (1997:123-124 ; Wahid, 2009: 51-52) mengungkapkan bahwa orang Tionghoa telah hadir di daerah Cirebon jauh sebelum Kesultanan Cirebon berdiri. Kehadiran orang Tionghoa di Cirebon pada periode tersebut itu salah satunya ditandai dengan sebuah bangunan menara. Sejarah komunitas Tionghoa di Cirebon yang lebih bisa dipercaya dalam catatan-catatan tersebut dimulai setelah sejarah Semarang.
Tome’ Pires (de Graff dan Pigeaud, 1997: 125 ; Wahid, 2009: 52) menyebutkan bahwa hubungan antara Demak dan Cirebon bermula pada dekade akhir abad ke-15, sebelum kekuasaan Muslim dibangun di Demak. Adapun keterlibatan orang Tionghoa dalam pendirian Kesultanan Cirebon adalah berkaitan dengan sosok legendaris Sunan Gunung Jati. Tokoh legendaris lainnya yang sering diungkap ketika membicarakan orang Tionghoa di Cirebon adalah sosok Tan Ong Tin Nio. Keberadaannya sangat penting dalam legenda orang Tionghoa di Cirebon karena dia diyakini kemudian menjadi istri dari Sunan Gunung Jati.

3.2.2. Kehidupan Sosial Masyarakat Keturunan Tionghoa
Letak Jagabayan yang berdekatan dengan daerah Lemahwungkuk (yang mayoritas penduduknya adalah Tionghoa) menyebabkan banyaknya masyarakat Tionghoa yang tinggal di daerah Jagabayan. Hal ini dipertegas dengan apa yang diungkapkan Wahid (2009: 62), yang menyatakan bahwa Komunitas Tionghoa yang dari asal kedatangannya di Cirebon berkonsentrasi di daerah Lemahwungkuk, namun pada abad ke-20 komunitas Tionghoa di Cirebon ini telah menyebar ke kawasan sepanjang Pekalipan, Pekiringan, Pasuketan, Karanggetas, termasuk Jagabayan. Kawasan-kawasan tersebut sejak awal abad ke-20 menjelma menjadi kawasan strategis Kota Cirebon.
Keadaan masyarakat Tionghoa pada saat ini di daerah Jagabayan, tercatat 267 dari 367 penduduknya adalah mayoritas keturunan Tionghoa. Mereka hampir menguasai sebagian besar sektor perekonomian di daerah tersebut. Tercatat sebelas toko emas yang semuanya itu dimiliki oleh orang Tionghoa. Selain itu, masyarakat Tionghoa juga menguasai sektor kesehatan, sektor jasa di daerah tersebut, bahkan sektor politikpun di daerah ini dikuasai oleh orang-orang Tionghoa.
Jika kita menutip pendapat Ranjabar yang mengemukakan apa yang dikemukakan Koentjaraningrat (2006:130) tentang klasifikasi masyarakat dan kebudayaan di Indonesia, maka masyarakat Tionghoa di Jagabayan termasuk ke dalam tipe masyarakat metropolitan, dimana mereka mulai mengembangkan suatu sektor perdagangan dan industri yang agak berarti. Dimana dalam hal ini mereka mulai mengembangkan perdagangan emas.
Jika dihubungkan dengan pendapat Selo Soemardjan (Ranjabar, 2006:32) masyarakat ini dapat dikategorikan sebagai masyarakat dengan struktur sosial-budaya pramodern atau modrn. Di mana ciri-ciri masyarakatnya adalah:
1. Kepercayaan kuat kepada manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan mulai digunakannya semacam komputerisasi dalam perdagangan emas.
2. Tingkat pendidikan formal tinggi dan merata. Banyak keturunan Tionghoa di daerah ini mengecam pendidikan di Perguruan Tinggi, bahkan mayoritas menyekolahkan anaknya di Perguruan Tinggi yang ada di luar negeri.
3. Ekonomi hampir seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkan atas penggunaan uang dan alat pembayaran lain. Nampak jelas dengan ada banyaknya toko yang menjual emas dimana perdagangannya disesuaikan dengan mekanisme pasar.

3.4. Gambaran Umum Mengenai Kehidupan Sosial Masyarakat Pribumi
Masyarakat pribumi yang tinggal di daerah Jagabayan ini terdiri atas suku Jawa dan Batak. Dimana terdapat 44 jiwa yang berasal dari suku Jawa dan 4 orang dari suku Batak. Tidak seperti masyarakat keturunan Tionghoa dan masyarakat keturunan Arab yang ada di sana, masyarakat pribumi tidak memiliki peran sebesar kedua masyarakat keturunan tadi. Jika keturunan Tionghoa menguasai perdagangan emas dengan memiliki sebelas toko emas, dan sektor ekonomi lainnya seperti super mall. Dan masyarakat keturunan Arab menguasai sektor perdagangan minyak wangi serta penjualan buku dan kitab, maka masyarakat pribumi hanya berusaha memanfaatkan sarana wisata religi saja. Adanya sebuah masjid yang dianggap oleh sebagian masyarakat Cirebon sebagai masjid keramat yaitu Masjid Jagabayan membuka lahan bagi masyarakat pribumi untuk berusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mereka ada yang mencari nafkah dengan menjual jasa mengambilkan air sumur di mesjid tersebut yang konon dianggap keramat. Ada beberapa masyarakat pribumi yang berusaha berkecimpung di dalam bisnis perdagangan emas, mereka biasanya berusaha di pinggir jalan Karanggetas dan Pasuketan. Selain itu bisnis penjualan makanan menjadi alternatif lain masyarakat pribumi untuk kelangsungan hidupnya.

3.5. Struktur Sosial dan Struktur Budaya Masyarakat Jagabayan Pada Masa Krisis Multidimensi di Indonesia
Pada medio tahun 1997 Indonesia mengalami apa yang disebut dengan ‘kristal’ (krisis total) tidak sekedar ‘krismon’ (krisis moneter). Krisis ini telah memporak-porandakan sendi-sendi ekonomi yabg telah dibangaun selama lebih dari 30 tahun. Krisis ini menyebabkan utang negara melonjak tajam, sektor riil dan keuangan ambruk. Dampak sosial yang serius, pengangguran dam kemiskinan melonjak (Adiningsih, 2008: v). Hampir seluruh daerah di Indonesia mengalami dampak dari krisis itu, termasuk daerah Jagabayan sendiri. Namun, dampak dari krisis di daerah ini bisa dibilang unik karena jika daerah-daerah lain sektor perekonomian menjadi lumpuh, di daerah ini justru sebaliknya.
Nilai tukar Rupiah yang pada saat itu mengalami depresiasi sampai Rp.14.900,00 per US$ (Sri Adiningsih, 2008: 43), mengakibatkan harga penjualan emas mengalami peningkatan yang signifikan. Keadaan seperti ini tak pelak menyebabkan rangsangan begi masyarakat untuk menjual emasnya. Jagabayan, yang mayoritas sektor perekonomiannya didominasi oleh para padagang emas, baik yang di toko-toko maupun yang ada di pinggiran jalan, turut terkena imbasnya.
Pada medio tahun 1997, daerah ini mengalami kestabilan perekonomian. ‘anomali’ ini dikarenakan banyaknya masyarakat yang menjual emasnya di daerah ini, yang memang menjadi sentral penjualan emas di Kota Cirebon. Berdasarkan temuan di lapangan, pada tahun ini pendapatan masyarakat mengalami perubahan yang signifikan. Tak pelak hal ini mengakibatkan dinamika sosial di masyarakat daerah tersebut menjadi lebih berkembang.
Jika sebelum medio tahun 1997 perekonomian hanya didominasi oleh orang Tionghoa, maka setelah tahun ini masyarakat pribumi mulai mendapat ruang untuk mengembangkan usahanya. Tercatat sebelum medio tahun 1997 hanya terdapat sekitar 15 orang saja yang menjadi penjual emas, maka setelah medio tahun 1997 terdapat 29 orang yang menjadi penjual emas. Bahkan ada beberapa dorang yang berasal dari keturunan Arab ikut menjadi penjual emas.
Menurut Parson (Beilharz, 2005: 295) apa yang terjadi pada masyarakat pribumi itu merupakan hal yang wajar. Karena menurut pendapatnya, tugas kelompok adalah mengadapatasi dengan lingkungan tertentu dan taat kepada disiplin kegiatan instrumental.
Jika kita mengadopsi pendapat Parsons tentang konsep A-G-I-L (Supardan, 2008: 154), maka dapat dianalisis bahwa:
1. Adaption, dimana adanya keharusan bagi sisem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya. Dimana, Parsons membagi ke dalam dua dimensi permasalahan, yang pertama, harus ada suatu penyesuaian dari sistem itu terhadap tuntutan kenyataan yang keras, yang tidak dapat diubah (inflexible) yang datang dari lingkungan. Kedua, ada proses transformasi aktif dari situasi itu. Maka apa yang dilakukan masyarakat di Jagabayan sudah tepat, mereka beradaptasi dari tuntutan yang keras yang memaksa mereka untuk mengembangkan usaha mereka menjadi penjual emas.
2. Goal Attainment, merupakan persyaratan fungsional yang muncul dari tindakan yang diarahkan pada tujuan-tujuannya. Namun, perhatian yang diutamakan di sini bukanlah tujuan pribadi individu, melainkan tujuan bersama para anggota dalam suatu sistem sosial. Dalam konteks masyarakat Jagabayan ini, maka tujuan bersama masyarakat adalah memanfaatkan ketidakstabilan perekonomian di Indonesia, untuk menyambung hidup masyarakat tersebut.
3. Integration, agar sistem sosial itu berfungsi secara efektif sebagai satu kesatuan, harus ada paling kurang satu tingkat solidaritas di antara individu yang termasuk di dalamnya. Perangkat pemerintahan lokal, dalam hal ini Rukun Tetangga maupun Rukun Warga dapat menjadi jembatan bagi terciptanya soliaritas antar penduduk Jagabayan.
4. Laten Pattern Maintenance, para anggota ,masyarakat bisa letih dan jenuh serta tunduk pada sistem sosial lainnya di mana mungkin mereka terlibat. Karena itu semua sistem sosial harus berjaga-jaga bilamana sistem itu suatu saat kocar-kacir dan para anggotanya tidak lagi bertindak atau berinteraksi sebagai anggota sistem.
Jika menurut pandangan Parsons masyarakat diluar etnis Cina melakukan adaptasi terhadap apa yang terjadi pada saat itu, maka pandangan berbeda justru dikemukakan oleh beberapa tokoh, seperti pandangan Stephen K Sanderson (1993:12 ; Nazsir, 2009: 18). Menurut pandangannya bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat pribumi dan keturunan Arab itu dikarenakan mereka ingin merebut sumber-sumber daya ekonomi yang selama ini dikuasai oleh masyarakat Tionghoa melalui perdagangan emasnya. masyarakat Tionghoa yang dalam hal ini menjadi kelompok determinan, akan selalu menentukan pola-pola sosial dasar masyarakat yang didasarkan atas kepentingan ekonomi. Pandangan seperti ini tidak lepas dari anggapan Max Weber (Nazsir, 2009: 18) bahwa pertentangan antara kelas dominan dan kelas yang tersubordinasi memainkan peran sentral dalam menciptakan bentuk-bentuk penting perubahan sosial.
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Dahrendorf (Poloma, 1952 ; Nazsir, 2009: 24). Ia berpendapat bahwa distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata akan menjadi faktor yang menentukan konflik sosial yang sistematis. Jika demikian, maka penyebab konflik diantara masyarakat keturunan Tionghoa dan non Tionghoa adalah distribusi kekuasaan dan wewenang dalam hal perekonomian yang tidak merata sehingga perekonomian di daerah Jagabayan sangat didominasi oleh masyarakat Tionghoa.
Lebih lanjut Karel J. Veeger (1992: 93-95 ; Nazsir, 2009: 28-30) menjelaskan bahwa:
1. Kedudukan orang-orang di dalam kelompok atau masyarakat tidaklah sama. Karena ada pihak yang berkuasa dan berwenang (masyarakat Tionghoa), dan ada pula pihak yang tergantung (mayarakat non Tionghoa).
2. Perbedaan dalam kedudukan menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berbeda pula. Jika masyarakat Tionghoa ingin menguasai perekonomian di daerah Jagabayan, maka masyarakat pribumi dan Arab berusaha merebut dominasi masyarakat Tionghoa.
3. Mula-mula sebagian kepentingan-kepentingan yang berada itu tidak disadari dan karenanya dapat disebut kepentingan tersembunyi, yang tidak akan menimbulkan aksi. Pada medio tahun 1997 dimana perekonomian Indonesia sedang mengalami resesi, maka saat itulah masyarakat pribumi dan Arab mulai menyadari bahwa perekonomian di daerah itu didominasi oleh masyarakat Tionghoa. “manifest interest” terjadi, dan segera mereka memulai berusaha mengurangi dominasi Tionghoa dalam perekonomian di Jagabayan.
4. Konflik akan berhasil membawa suatu perubahan dalam struktur relasi-relasi sosial, jika kondisi tertentu telah terpenuhi salah satunya adalah perubahan struktural.


BAB 4
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Jadi, dari penjelasan sebelumnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa masyarakat di daerah Jagabayan ini terdiri atas masyarakat pribumi, masyarakat keturunan Arab, dan masyarakat keturunan Tionghoa. Sebelum tahun 1997 masyarakat Tionghoa sangat mendominasi sektor perekonomian dan sektor politik di daerah itu. Dari segi perekonomian, dapat dilihat dari adanya 11 toko emas, enam toko elektronik, tiga toko roti, dua salon, bahkan toko baju dan sepatupun dikuasai oleh masyarakat Tionghoa. Sedangkan dari segi politik, dominasi masyarakat Tionghoa terlihat dengan diangkatnya dua orang Tionghoa menjadi Ketua RW dan Ketua RT. Sedangkan Masyarakat Keturunan Arab menguasai sektor perdagangan minyak wangi, yang dari dulu memang sudah sangat terkenal. Sedangkan masyarakat pribumi, menjadi masyarakat yang memanfaatkan sektor jasa, dan sekaligus menjadi bagian dari sektor politik yang penting di daerah tersebut, yaitu menjadi ketua RT.
Pada medio tahun 1997, Indonesia terjadi krisis di segala aspek kehidupan, termasuk sektor perekonomian. Jagabayanpun tak pelak ikut merasakan dampak dari krisis tersebut. Sektor perekonomian yang dari dahulu dikuasai oleh masyarakat Tionghoa kini mulai menyebar ke masyarakat pribumi dan masyarakat Arab. Jika sebelum medio tahun 1997, masyarakat tertarik untuk berinvestasi dengan membeli perhiasan emas ke toko-toko emas yang dikuasai oleh Tionghoa, sejak medio tahun 1997 mulai juga melirik untuk berinvestasi perhiasan emas kepada masyarakat pribumi dan Arab yang biasanya membuka usahanya di pinggiran jalan. Harga jual emas yang tinggi pada tahun itu, serta harga beli para pedagang emas di pinggiran yang relatif dapat bersaing dengan harga beli pedagang emas yang berasal dari Tionghoa menyebabkan hal itu terjadi.
Keadaan demikian, dapat menimbulkan apa yang disebutkan dalam teori struktur fungsional dan teori konflik yang nantinya dapat mengakibatkan terjadinya perubahan sosial. Memang antara struktural dan konflik terdapat perbedaan dalam hal perubahan sosialnya namun keduanya tidaklah saling meolak, tetapi saling melengkapi. Orang yang bijak pasti akan memadukan keduanya untuk menelaah kehidupan sosial di daerah itu agar memperoleh suatu gambaran yang lebih lengkap.


DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, Sri et al. (2008). Satu Dekade Pasca-Krisis Indonesia: Padai Pasti Berlalu. Yogyakarta: Kanisius.
Beilhardz, Peter. (2005). Teori-teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi (edisi revisi 2009). Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Nasikun. (2009). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Nazsir, Nasrullah. (2009).Teori-Teori Sosiologi. Bandung: Widya Padjadjaran.
Ranjabar, Jacobus. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sulendraningrat, P. S. (1984). Babad Tanah Sunda Babad Cirebon. Kota dan penerbit tidak tercantum.
Supardan, Dadang. (2008). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Wahid, Abdul. (2009). Bertahan di Tengah Krisis: Komunitas Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon (1930-1940). Yogyakarta: Ombak.

Wawancara
Suryani, Ketua RW 09 Jagabayan (10 Oktober 2009).
Nursaid, Ketua RT 01 Jagabayan (10 Oktober 2009).
Lo Tjok Fong, Ketua RT 02 Jagabayan (10 Oktober 2009).
Ade, Juri Kunci Masjid Jagabayan (10 Oktober 2009).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar