RSS

PROPORSI SEJARAH LOKAL:

TANTANGAN DAN PELUANG PEMBELAJARAN SEJARAH

LOKAL DI SEKOLAH

Oleh: Rifky Azhari

LATAR BELAKANG

          Belajar sejarah pada dasanya adalah belajar tentang kehidupan masyarakat. Berbagai aspek kehidupan dapat dipelajari dalam sejarah. Pembelajaran sejarah di sekolah sebaiknya lebih mudah dipahami siswa. Dalam pembelajaran sejarah hendaknya siswa dapat melihat langsung kehidupan yang nyata. Sejarah lokal dalam konteks pembelajaran di sekolah tidak hanya sebatas sejarah yang dibatasi oleh lingkup ruang yang bersifat administratif belaka, seperti sejarah provinsi, sejarah kabupaten, sejarah kecamatan, dan sejarah desa. Bertolak dari sejarah lokal inilah siswa dapat menyadari akan kekayaan tema kehidupan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat sekitarnya, sehingga siswa akan lebih bisa memahami dan memaknai peristiwa sejarah. Dengan dilatar belakangi hal tersebut, maka akhirnya kami mengangkat suatu judul “PROPORSI SEJARAH LOKAL: TANTANGAN DAN PELUANG PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL DI SEKOLAH”.

URGENSI SEJARAH LOKAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH

Walaupun sebagian dari kalangan awam baik itu orang tua murid maupun siswa di sekolah mempertanyakan tentang adanya kegunaan pelajaran sejarah yang secara umum mereka ketahui hanyalah sebuah “cerita atau dongeng tentang masa lalu”, padahal secara kenyataannya bukan seperti itu, para ahli telah menyatakan bahwa sejarah itu memiliki kegunaan. Secara garis besar setidaknya terdapat tiga kegunaan sejarah, yaitu: guna edukatif, guna inspiratif, dan guna rekreatif dan instruktif.

Sejarah memiliki guna edukatif karena sejarah dapat memberikan kearifan bagi yang mempelajarinya, yang secara singkat dirumuskan oleh Bacon: “histories make man wise”. Sejarah yang memberikan perhatian pada masa lampau tidak dapat dipisahkan dari kemasakinian, karena semangat dan tujuan untuk mempelajari sejarah ialah nilai kemasakiniannya. Hal ini tersirat dari kata-kata Croce bahwa “all history is contemporary history”, yang kemudian dikembangkan oleh Carr bahwa sejarah adalah “unending dialogue between the present and the past” (Widja, 1988: 49-50). Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila kita dapat memproyeksikan masa lampau ke masa kini, maka kita dapat menemukan makna edukattif dalam sejarah.

 Sejarah memiliki guna inspiratif karena sejarah dapat memberikan inspirasi kepada kita tentang gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang dapat digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan masa kini, khususnya yang berkaitan dengan semangat untuk mewujudkan identitas sebagai suatu bangsa dan pembangunan bangsa.

 Sejarah memiliki guna rekreatif karena dengan membaca tulisan sejarah kita seakan-akan melakukan “perlawatan sejarah” karena menerobos batas waktu dan tempat menuju zaman masa lampau untuk “mengikuti” peristiwa yang terjadi. Sementara itu guna instruktif merupakan kegunaan sejarah untuk menunjang bidang-bidang ketrampilan tertentu  (Notosusanto, 1979: 2-3).

Dalam hubungannya dengan guna edukatif dan inspiratif dari sejarah, dapat dikemukakan bahwa sejarah memiliki kaitan yang sangat erat dengan pendidikan pada umumnya dan pendidikan karakter bangsa pada khususnya. Melalui sejarah dapat dilakukan pewarisan nilai-nilai dari generasi terdahulu ke generasi masa kini. Dari pewarisan nilai-nilai itulah akan menumbuhkan kesadaran sejarah, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan watak bangsa (nation character building).

Pewarisan nilai-nilai dari generasi ke generasi ini dapat dilakukan dengan penggalian dan penyampaian sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah disekolah, adapun pengertiannya sebagai berikut;

“Sejarah lokal dalam konteks pembelajaran di sekolah tidak hanya sebatas sejarah yang dibatasi oleh keruangan yang bersifat administratif belaka, seperti sejarah propinsi, sejara kabupaten, sejarah kecamatan dan sejarah desa” (Agus Mulyana dan Restu Gunawan, 2007: 2). Lokal disini juga lebih dijelaskan lagi oleh Taufik Abdullah (2005: 15) bahwa:

“Pengertian kata lokal tidak berbelit-belit, hanyalah ‘tempat, ruang’. Jadi ‘sejarah lokal’ hanyalahh berarti sejarah dari suatu ‘tempat’, suatu ‘locality’, yang batasannya ditentukan oleh ‘perjanjian’ yang diajukan penulis sejarah”. Batasan geografisnya dapat suatu tempat tinggal suku bangsa, yang kini mungkin telah mencangkup dua-tiga daerah administratif tingkat dua atau tingkat satu (suku bangsa Jawa, umpamanya) dan dapat pula suatu kota, atau malahan suatu desa”.

 

Atas dasar nilai guna yang dimilikinya, tidak mengherankan apabila sejarah perlu diberikan kepada seluruh siswa di sekolah (dari SD sampai SMA) dalam bentuk mata pelajaran. Kedudukannya yang penting dan strategis dalam pembangunan watak bangsa merupakan fungsi yang tidak bisa digantikan oleh mata pelajaran lainnya. Namun demikian, tujuan pembelajaran sejarah itu tidak sepenuhnya dapat tercapai yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain berkaitan dengan proses pembelajarannya. Oleh karena itu, sepanjang seluruh eksponen dan komponen bangsa masih menginginkan eksistensi sebuah bangsa dan negaranya, upaya-upaya peningkatan kualitas pembelajaran sejarah sampai kapan pun masih menemukan signifikansinya. Dalam hal ini guru menduduki posisi yang penting dan strategis dalam peningkatan kualitas pembelajaran sejarah. Sehubungan dengan hal itu, guru harus selalu meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah, dengan memperhatikan empat pilar pembelajaran sebagaimana telah dideklarasikan oleh Unesco (1988), yaitu: 1) learning to know (pembelajaran untuk tahu), learning to do (pembelajaran untuk berbuat), 3) learning to be (pembelajaran untuk membangun jati diri, dan 4) learning to live together (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis) (Setiadi, 2007: 2).

Selain itu, dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 40 Ayat 1 butir  disebutkan bahwa “pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh ‘kesempatan menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas”. Pasal ini memberikan peluang bagi guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan dukungan sarana, prasarana, dan fasilitas yang memadai. Pasal ini dipertegas oleh kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan yang tertuang dalam pasal 40 Ayat 2 butir a yang menyatakan bahwa pendidik berkewajiban “menciptakan suasana yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis”, sehingga interaksi belajar yang monolog dan komunikasi satu arah tidak lagi menjadi satu-satunya model pembelajaran. Pendekatan pembelajaran yang bersifat indoktrinatif dapat menghalangi aktivitas dan kreativitas siswa, sehingga menjadikannya pribadi yang pasif (Setiadi, dkk., 2007; 3).

 Berdasarkan uraian di atas, maka guru dituntut untuk selalu mengembangkan diri agar meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah kepada siswa, sehingga tujuan pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah dapat tercapai.

 

PENGERTIAN SUMBERDAYA SEJARAH LOKAL DALAM PEMANFAATAN BUDAYA LOKAL

Sebelum membicarakan tentang pemanfaatan sumber daya sejarah lokal untuk peningkatan kualitas pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah, kita perlu mendefinisikan  istilah “sumberdaya sejarah (lokal) terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar kita memiliki pemahaman yang sama tentang istilah tersebut yang bermanfaat untuk dijadikan landasan dalam pembahasan lebih lanjut. 

Istilah “sumberdaya” mengacu kepada sesuatu yang memiliki potensi dan dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan sesuatu yang memiliki potensi itu biasanya digunakan untuk pencapaian tujuan tertentu yang dapat diukur dari segi “produktivitas”. Apabila di belakang istilah itu ditambahkan dengan kata “lokal” (menjadi “sumberdaya lokal”), maka istilah itu memiliki arti bahwa sesuatu yang digunakan atau dimanfaatkan itu adalah hal-hal yang bersifat budaya [lokal] (Sedyawati, 2006: 169). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah budaya dan budaya lokal itu?

Budaya (sering juga disebut kebudayaan) adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1984: 9; dan 1986: 180). J.J. Honigmann dalam The World of Man (1959) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities, dan artifacts. Sejalan dengan hal tersebut Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan dapat digolongkan dalam tiga wujud. Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. Wujud pertama merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak (tidak dapat diraba, dipegang, atau difoto), berada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kebudayaan ideal ini disebut pula tata kelakukan yang berfungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan, dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini dengan  cultural system (sistem budaya) yang dalam bahasa Indonesia  dikenal dengan istilah adat  atau adat istiadat (dalam bentuk jamak). Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan tersebut dinamakan sistem sosial (social system). Wujud kebudayaan ini dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasi karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi satu dengan yang lain. Sistem sosial merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret dalam bentuk perilaku dan bahasa. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia; bersifat paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat dilihat, diraba, dan difoto. Wujud kebudayaan yang ketiga ini disebut kebudayaan fisik (material culture).

Ketiga wujud kebudayaan dalam realitas kehidupan masyarakat tentu tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Ide-ide dan tindakan menghasilkan benda-benda yang merupakan kebudayaan fisik. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk lingkungan hidup tertentu yang dapat mempengaruhi tindakan dan cara berpikir masyarakat (Koentjaraningrat, 1984: 5-6; dan 1986: 186-188).

Sementara itu, budaya lokal merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/ subetnik atau budaya daerah.

Sumber daya budaya mencakup tiga wujud kebudayaan tersebut. Dengan kata lain sumberdaya budaya tidak hanya yang bersifat kebendaan saja, dan juga tidak hanya yang berasal dari masa lampau. Dalam arti yang luas, sumberdaya budaya meliputi hasil-hasil budaya baik yang kebendaan dan dapat disentuh  (tangible) (benda cagar budaya) maupun yang nonbenda (intangible) seperti konsep-konsep dan ekspresi-ekspresi budaya melalui suaradan atau gerak yang berlalu dalam waktu (Sedyawati, 2006: 94).  

 

PEMANFAATAN SUMBERDAYA LOKAL UNTUK PEMBELAJARAN SEJARAH DAN IPS

Ada satu pertanyaan penting mengapa sumberdaya lokal perlu dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah? Jawabannya adalah karena pemanfaatan khasanah sumberdaya lokal dalam pembelajaran di sekolah dapat berfungsi sebagai titik tolak untuk upaya pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadaran budaya. Pada dasarnya kesadaran sejarah mempersyaratkan beberapa hal. Pertama, pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah yang mewujudkan bangsa Indonesia, kemudian membawa bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Kedua, pengetahuan tentang upaya-upaya kekuatan-kekuatan dari luar Indonesia untuk menguasai  kekuasaan di Indonesia dengan usaha-usaha dominasi ekonomi dan militer. Ketiga, pemihakan yang kuat untuk martabat dan kewibawaan bangsa dan negara Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain, setelah menyimak sejarah bangsa.

Sementara itu, kesadaran budaya ditandai  oleh empat hal. Pertama, pengetahuan tentang adanya berbagai kebudayaan yang masing-masing mempunyai jati diri dan keunggulan-keunggulannya. Kedua,  sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri. Ketiga, pengetahuan tentang adanya riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam. Keempat, pengertian bahwa di samping merawat dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia yang bersatu juga sedang memperkembangkan sebuah kebudayaan baru, kebudayaan nasional  (Sedyawati, 2006: 330-331).

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa sumberdaya budaya (lokal) merupakan sarana untuk pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadarajn budaya.

 

PROPORSI SEJARAH LOKAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH

            Pembelajaran sejarah lokal di setiap sekolah memiliki proporsi yang berbeda, tetapi esensinya sama. Mengenalkan anak didik dengan sejarah yang ada di sekitarnya. Menurut salah satu guru sejarah yang kami wawancarai tentang proporsi pembelajaran sejarah lokal di sekolahnya, bisa dikatakan dalam tiga pertemuan, beliau menggunakan satu pertemuan untuk menyisipkan sejarah lokal dalam pelajarannya. Walaupun memang, pembelajaran sejarah lokal lebih mengasyikan bila metode pembelajarannya tepat. Tidak seperti sejarah nasional yang hanya dengan diskusi dan ceramah saja sudah cukup sebagai metode yang digunakan guru. Berdasarkan narasumbertesebut jika, proporsi sejarah lokal dengan sejarah nasional dapat dikatakan 70 : 30. Maksudnya, 70% adalah materi sejarah nasional, sedangkan 30% adalah materi sejarah lokal. Hal ini dilakukan agar, siswa dapat memahami dan mengerti akan kekayaan sejarah lokal yang ada di daerahnya tanpa melupakan sejarah nasional sebagai pijakan akan materi pembahasan dalam kurikulum.

 

SEPERTI APA ANTUSIASME SISWA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL?

Berdasarkan sharing salah satu siswa MTs N Tegal tentang pembelajaran sejarah di sekolahnya (di kelasnya), sejarah ditanggapi dengan berbagai sikap. Khusus dengan siswa ini, berbeda. Ia sedikit respek ke pelajaran yang mengutamakan penghapalan. Satu contoh waktu kami berbincang tentang materi pembelajaran sejarah lokal di kelasnya, berbeda dengan teman-temannya yang lain yang sibuk dengan dirinya sendiri dan tak fokus. Beberapa kali guru juga mengingatkan siswa-siswinya untuk diam dan fokus. Saat pelajaran sejarah lokal, hanya sedikit siswa yang masih mau mendengarkan cerita dari sang guru, salah satunya siswa yang saya wawancarai. “Sebenarnya banyak siswa yang suka dengan sejarah, cuman gurunya saja yang kadang kurang bisa menyampaikannya dengan menarik,” katanya. Dalam pembelajaran sejarah lokal di kelasnya, awalnya mereka antusias, apalagi objek cerita ada di sekitar mereka. Tapi berhubung guru tak memiliki metode yang praktis dan menarik, siswa bukan hanya acuh, tapi juga ingin cepat-cepat pelajaran itu selesai. Contoh saat menceritakan tentang sejarah Tegal. Bagaimana sosok pendiri Kota Tegal yang masih kerabat dengan raja Demak abad ke-16 datang ke sebuah pesisir yang tak berpenghuni. Hingga ia mendirikan sebuah dusun dan padepokan untuk menyebarkan syiar Islam. Cerita ini sebenarnya menarik, apalagi dengan dikaitkannya dengan Kerajaan Mataram Islam, yang ada kaitannya dengan pendiri Kota Tegal tersebut. Dengan menghubungkan cerita tersebut dengan salah satu tayangan televisi dulu tentang ‘Misteri Gunung Merapi’ yang mengambil latar sejarah Islam, khususnya kerajaan Mataram Islam.

Namun, tak sedikit juga yang memiliki tingkat keingintahuan yang bagus, dengan bekal cerita dari gurunya, ia (siswa yang kami wawancarai) dan beberapa temannya menvari sumber-sumber tulisan yang berkaitan dengan itu. Meskipun tidak ada tugas dari guru untuk mencari referensi lain tentang sejarah lokal tersebut. Hingga mereka berkunjung ke makam ‘Mbah Panggung’ atau Raden Sayyid Abdurrahman sebagai pendiri Tegal, dan makam Sultan Trenggono (salah satu pejabat Kerajaan Mataram) untuk mewawancarai petugas penjaga makamnya tentang sejarah tokoh-tokoh tersebut.

 

 

 

KENDALA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL

            Ada banyak sekali kendala dalam pembelajaran Sejarah Lokal, baik itu yang berkenaan dengan konseptual maupun praktis. Secara konseptual salah satu kendalanya adalah seperti yang diutarakan oleh Said Hamid Hasan (2007: 189-190) pada jenjang pendidikan menengah terutama untuk sekolah umum (SMA) yang mempersiapkan peserta didik untuk meniti pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi, maka kemampuan pemahaman maupun skills yang diperlukan dalam disiplin sejarah sudah selayaknya diperkenalkan. Selain itu tujuan pembelajaran sejarah berikutnya yaitu seperti apa yang dikemukakan oleh NCHS yaitu historical thinking, historical analysis and interpretation, dan  historical research capabilities dapat dikembangkan sebagai fokus utama. Selain itu juga dalam konteks yang diusulkan Departemen Pendidikan New York maka tujuannya adalah:

1.      The skill of historical analysis include the ability to: explain the significance of historical evidence; eigh the importance, reliability, and validity of evidence; understand the concept of multiple causation; understand the importance of changing and competing interpretations of different historical developments.

2.      Establishing time frames, exploring different periodizations, examining themes across time and within cultures, and focusing on important turning points inworld history help organize the study of world cultures an civilizations.

Kemampuan seperti diatas, menerut Hamid Hasan (2007: 190) tidak mendapatkan perhatian dalam KURIKULUM SEJARAH SMA dan MA 2004. Pemahaman terhadap peristiwa sejarah memang menonjol tetapi skills dalam sejarah serta pengembangan wawasan belum mendapatkan tempat yang seharusnya.

Permasalahan besar yang dihadapi dalam pengembangan sejarah lokal adalah ketersediaan sumber. Tulisan-tulisan mengenai berbagai peristiwa sejarah lokal belum banyak tersedia. Hal ini menjadi kedala dalam pembelajaran sejarah lokal.

Selain itu, berdasarkan wawancara dengan salah satu guru sejarah di kota Cirebon, kendala dalam pembelajaran sejarah lokal adalah waktu dan biaya. Maksudnya, dikarenakan sumbernya yang minim, dibutuhkan waktu dan biaya yang cukup menyita perhatian para guru sejarah. Hal inilah yang menyebabkan kurang antusiasmenya guru sejarah untuk menggali potensi sejarah lokal di daerahnya.

 

KESIMPULAN

Pemanfaatan khasanah sumberdaya budaya lokal dalam pembelajaran di sekolah dapat berfungsi sebagai titik tolak untuk upaya pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadaran budaya. Pada dasarnya kesadaran sejarah mempersyaratkan beberapa hal. Pertama, pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah yang mewujudkan bangsa Indonesia, kemudian membawa bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Kedua, pengetahuan tentang upaya-upaya kekuatan-kekuatan dari luar Indonesia untuk menguasai  kekuasaan di Indonesia dengan usaha-usaha dominasi ekonomi dan militer. Ketiga, pemihakan yang kuat untuk martabat dan kewibawaan bangsa dan negara Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain, setelah menyimak sejarah bangsa.

Sementara itu, kesadaran budaya ditandai  oleh empat hal. Pertama, pengetahuan tentang adanya berbagai kebudayaan yang masing-masing mempunyai jati diri dan keunggulan-keunggulannya. Kedua,  sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri. Ketiga, pengetahuan tentang adanya riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam. Keempat, pengertian bahwa di samping merawat dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia yang bersatu juga sedang memperkembangkan sebuah kebudayaan baru, kebudayaan nasional  (Sedyawati, 2006: 330-331).

Selain Sejarah lokal merupakan sarana untuk pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadaran budaya, juga sebagai pendekatan seorang guru atau pengajar untuk mengenalkan kepada anak didik tentang kearifan-kearifan lokal yang ada di sekitar mereka. Pembelajaran seperti ini akan menjadikan anak didik paham dengan sejarah diri atau lingkungannya, yang bisa menjadikan anak didik menjadi peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Dan sebagai alternatif para guru untuk menanamkan rasa memiliki terhadap sejarah sendiri, agar tidak diganggu oleh negri lain. Jika pembelajaran lokal tidak diajarkan pada generasi bangsa, dikhawatirkan sejarah-sejarah lokal yang seharusnya turun temurun dipahami generasi bangsa, sedikit demi sedikit hilang dari pengetahuan masyarakat.

Dengan demikian, sejarah lokal tidak bisa disepelekan dalam pendidikan sejarah Indonesia. Harapan kami, pembelajaran sejarah lokal di sekolah-sekolah Indonesia harus diberikan ruang, agar sejarah lokal tidak hilang sampai kapanpun dari pengetahuan masyarakat.

          

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Said Hamid. (2007). Kurikulum Sejarah dan Pendidikan Sejarah Lokal dalam Sejarah Lokal; Penulisan dan Pembelajaran Sejarah. Bandung: Salamina Press.

Kartodirdjo, Sartono. (1994). Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kartodirdjo, Sartono. (1994). Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.

Koentjaraningrat, (1984). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, (1986). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Notosusanto, Nugroho. (1979). Sejarah Demi Masa Kini. Jakarta: UI press.

Sedyawati, Edi. (2006). Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Press.

Sedyawati, Edi. (2006).  “Tentang Sumberdaya Budaya”, Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, Volume 1, Nomor 2, Desember 2006. Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.

Sedyawati, Edi. (2007). Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sedyawati, Edi. (2008). Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 2 Dialog Budaya Nasional dan Etnik, Peranan Industri Budaya dan Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Setiadi, Elly M., Kama A. Hakam, dan Ridwan Effendi. (2007). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sevilla, Consuelo, et al.(1993). Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press.

Smiers, Joost.( 2009). Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress.

Widja, G. (1988). Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.

Wawancara

Hadikarta S. Pd, Guru Sejarah SMAN 3 Cirebon. (23 Desember 2009).

Rochjati S. Pd. Guru Sejarah SMAN 3 Cirebon (23 Desember 2009).

M. Meiska Raihan, Siswa MTs N Tegal. (2 Januari 2010).

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar