ISLAM DAN PENDIDIKAN: AL – IRSYAD AL - ISLAMIYYAH SEBAGAI ALTERNATIF PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI
MASYARAKAT PRIBUMI BERTAHAN DI ANTARA MASYARAKAT KETURUNAN ARAB DAN MASYARAKAT KETURUNAN TIONGHOA (1997-1998) : MASYARAKAT JAGABAYAN KOTA CIREBON
Revolusi Sosial Cirebon 1946
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penulisan
Selagi negara baru Indonesia mencoba menyatakan kekuasannya, muncul tantangan dari berbagai kelompok yang berusaha menerapkan visi mereka sendiri mengenai apa itu Indonesia apa yang diwakili Indonesia. Rasa krisis, peningkatan gairah, euforia, dab harapan menyebabkan munculnya banyak sekali kelompok dengan aneka tujuan, semuanya berharap memanfaatkan semangat yang tak terkendali dan membawakan berbagai kemungkinan. Beberapa memang berniat mulia tapi menggunakan cara-cara kasar; yang lain hanya gerombolan begundal dan kriminal. Perseturuan antara peralihan peraturan dan politik kemerdekaan yang sangat ekspresif terwujud tidak hanya dalam kepahlawanan fanatik, gagah berani, tetapi juag di beberapa daerah terjadi apa yang dinamakn dengan “revolusi sosial”, salah satunya adalah revolusi sosial yang terjadi di Kota Cirebon pada tahun 1946 (Elson, 2008: 185:186).
Kurangnya tulisan yang membahas menganai revolusi sosial di Jawa Barat pada umumnya dan Kota Cirebon pada khususnya ini menimbulkan rasa ketertarikan saya mengkaji lebih dalam peristiwa tersebut ke dalam makalah ini. Dengan memperhatikan pertimbangan tersebut maka saya mengangkat makalah ini dengan judul “Revolusi Sosial di Cirebon: Pemberontakan Mr. Yusuf 12 - 14 Februari 1949”.
Dalam penulisan makalah ini saya membuat beberapa rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan. Rumusan masalah dapat membatasi pembahasan agar tidak melebar. Adapun rumusan masalah yang kami tetapkan adalah bagaimana:
1. Later Belakang Terjadinya Pemberontakan Mr. Yusuf?
2. Jalannya pemberontakan yang dilakukan Mr. Yusuf?
3. Dampak Pemberontakan Mr. Yusuf terhadap kehidupan sosial masyarakat Kota Cirebon?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menjawab rumusan masalah di atas, yakni dapat menjelaskan:
1. Later Belakang Terjadinya Pemberontakan Mr. Yusuf;
2. Jalannya pemberontakan yang dilakukan Mr. Yusuf;
3. Dampak Pemberontakan Mr. Yusuf terhadap kehidupan sosial masyarakat Kota Cirebon.
1.4. Metode Penulisan
Adapun penulisan makalah yang saya buat ini adalah dengan menggunakan metode analisis kritis. Penulisan dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber yang relevan, baik itu sumber tertulis maupun sumber lisan yang berupa wawancara terhadap tokoh yang terlibat dalam peristiwa ini. Pengkritikan terhadap kebenaran sumber tersebut baik kritik eksternal maupun kritik internal; Menginterpretasikan sumber-sumber yang didapat, dan menyusunya dalam sebuah historiografi.
1.5. Sistematika Penulisan
Untuk menguraikan isi dari makalah ini, saya membuat sistematika penulisan untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi makalah. Dimulai dengan kata pengantar kemudian dilanjutkan dengan Bab 1 Pendahuluan, Bab 2 Pembahasan, Bab 3 Kesimpulan, dan terakhir Daftar Pustaka.
Dalam Bab 1 Pendahuluan berisi latar belakang masalah yang menjadi pendorong dibuatnya makalah ini, rumusan masalah sebagai batasan kajian, tujuan penulisan makalah yang ingin dicapai dari penulisan, metode penulisan yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika penulisan.
Dalam bab dua berisi landasan teoritis mengenai revolusi dan revolusi sosial. Bab tiga berisikan pembahasan tentang later belakang terjadinya pemberontakan Mr. Yusuf, jalannya pemberontakan yang dilakukan Mr. Yusuf, dampak Pemberontakan Mr. Yusuf terhadap kehidupan sosial masyarakat Kota Cirebon. Dalam bab tiga ini berisi kesimpulan dari isi materi diakhrir dengan Daftar Pustaka.
TINJAUAN TEORITIS
Secara umum revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama (http://id.wiki.detik.com).
Sztompka (2005; http://blog.unila.ac.id) memberikan gambaran bahwa revolusi merupakan puncak dari perubahan sosial. Revolusi merupakan sebuah proses pembentukan ulang masyarakat sehingga menyerupai proses kelahiran kembali. Perubahan yang terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan yang luas dan menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat. Perubahan akibat revolusi bersifat radikal, fundamental dan menyentuh langsung pada inti dan fungsi dari struktur sosial. Proses perubahan tersebut hanya memerlukan waktu yang cepat, sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep evolusi pada perubahan sosial.
Revolusi mempunyai dua wajah yang saling bertolak belakang. Wajah pertama menggambarkan revolusi sebagai sebuah mitos, sedangkan wajah kedua memberikan gambaran revolusi sebagai sebuah konsep dan bahkan teori dalam ilmu sosiologi. Kedua wajah ini mempunyai kesaling terkaitan bahkan dialektika diantara keduanya menjadi suatu bentuk kewajaran
Terdapat empat aliran dalam teori revolusi, yaitu tindakan, psikologi, struktural dan politik. Aliran tindakan disampaikan oleh Sorokin yang menitikberatkan pengamatan pada peran tindakan individu dalam revolusi. Secara garis besar terdapat dua kondisi yang mendorong terjadinya revolusi, yaitu tekanan dari bawah dan kelemahan dari atas.
Aliran psikologi mengabaikan tindakan reflek atau naluriah dan beralih pada bidang orientasi sikap dan motivasi. Revolusi disebabakan sindrom mental yang menyakitkan yang terbesar di kalangan rakyat, diperburuk karena menjangkiti banyak orang sehingga memotivasi perjuangan kolektif untuk meredakannya.
Teori struktural memusatkan pada tingkat struktur makro dengan mengabaikan faktor psikologi. Revolusi adalah hasil hambatan dan ketegangan struktural dan terutama bentuk hubungan khusus tertentu antara rakyat dengan pemerintah. Revolusi dicari penyebabnya berdasarkan konflik antar kelas, antar kelompok.
Teori Politik melihat revolusi sebagai sifat fenomena politik yang muncul dari proses yang khusus terjadi di bidang politik. Revolusi dilihat sebagai akibat pergeseran keseimbangan kekuatan dan perjuangan perebutan hegemoni antar pesaing untuk mengendalikan negara.
Revolusi dianggapnya sebagai wujud dari perubahan sosial yang paling spektakuler, yang merupakan suatu pertanda perpecahan mendsar suatu proses histories, pembentukkan ulang masyarakat dari dalam, dan pembentukan ulang manusia. Revolusi tidak menyisakan apapun seperti keadaannya sebelumnya. Revolusi menutup epos lama dan membuka epos baru. Di saat terjadi suatu perubahan sosial besar, suatu revolusi, masyarakat mengelami puncak agenya. Bagi Sztompka pada saat itulah terjadi meledaknya potensi transormasi dirinya sendiri.
Secara ringkas Sztompka juga memberikan kerangka definisi tentang revolusi yang dikerucutkan dari beberapa ahli seperti C. Johnson (1968), Gurr (1970), Giddens (1989) yang pada akhirnya menemukan tiga komponen utama yang mendasar dari revolusi yaitu:
1. Revolusi mengacu pada perubahan fundamental, menyeluruh dan multidimensional, menyentuh inti tatanan sosial.
2. Revolusi melibatkan massa rakyat yang besar jumlahnya yang dimobilisasi dan bertindak dalam satu gerakan revolusioner. Seperti yang terjadi di Jepang dengan restorasi Maiji, revolusi Attaturk di Turki, Reformasi Nasser di Mesir, Perestorikanya Gorbachev).
3. Revolusi memerlukan keterlibatan kekerasan dan penggunaan kekerasan. Walaupun ada proses revolusi di India oleh Ghandi atau gerakan sosial di Eropa Timur dan Tengah yang memaksa kematian komunisme. Seperti juga revolusi damai Solidaritas di Polandia dan revolusi Beludru di Ceko.
Proses selanjutnya dari revolusi adalah suatu tatanan masyarakat yang seperti dihidupkan kembali, harapannya adalah dengan revolusi terjadi suatu perubahan yang lebih baik, dan masyarakat menemukan kesejahteraannya. Menurut Sztompka revolusi merupakan suatu proses perubahan sosial yang paling tinggi dan menimbulkan dampak yang luar biasa jika dibandingkan dengan proses perubahan sosial yang lainnya, yaitu:
1. Menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat, seperti: ekonomi, budaya, politik, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari masyarakat, dan perubahan kepribadian manusianya. perubahan yang terjadi dan dihadilkan adalah perubahan yang menyentuh inti dari bangunan dan fungsi sosial masyarakatnya.Jika proses kesejarahan dianggap sebagai suatu proses yang relative lambat, maka proses revolusi merupakan suatu proses perubahan yang terjadi sangat cepat, tiba-tiba, seperti ledakan bom atom.
Dalam seni pertunjukkan proses perubahan yang terjadi dalam bingkai revolusi merupakan suatu pertunjukkan perubahan yang paling menonjol, waktunya luar biasa cepat, dan karena itu sangat mudah diingat.
2. Revolusi dapat membangkitkan emosional khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa, antusiasme, kegemparan, kegirangan, kegembiraan, optimisme dan harapan, perasaan hebat dan perkasa, keriangan dan aktivisme dan menggapai kembali makna kehidupan, melambungkan aspirasi dan pandangan utopia ke masa depan. Revolusi terjadi secara tidak merata di sepanjang sejarah. Kebanyakan terjadi dalam periode modern. Revolusi Besar seperti di Inggris pada tahun 1640, revolusi perancis pada tahun 1789 yang melahirkan epos modern, revolusi komunis di Rusia pada tahun 1917 dan di Cina pada tahun 1949, dan revolusi yang anti komunis di Eropa Timur, dan Tengah pada tahun 1989 revolusi ini mengakhiri periode komunis.
Sztompka (2005; http://blog.unila.ac.id) menjelaskan revolusi sosial kedalam lima hal yaitu; (1) menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat, (2) dalam semua bidang tersebut perubahannya radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan fungsi sosial, (3) perubahan yang terjadi sangat cepat, tiba-tiba, (4) membangkitkan emosional khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa, antusiasme, kegirangan, kegembiraan, optimisme, dan harapan.
Berbagai konsep revolusi yang telah disampaikan di depan mempunyai sebuah gagasan yang sama yaitu sebagai bentuk perubahan sosial yang dahsyat dan bersifat fundamental dalam merubah tatanan masyarakat dalam waktu yang relatif cepat. Terdapat faktor pencetus yang menyebabkan revolusi dapat berjalan dalam suatu masyarakat. Berbagai teori menyampaikan pendapatnya tentang faktor penyebab ini, namun kesemuanya dapat disimpulkan sebagai sebuah hasil dari ketidakadilan dalam masyarakat. Kondisi ketidakadilan atau penyimpangan inilah yang melahirkan semangat revolusi.
Akibat dari revolusi secara garis besar dapat dilihat dari tumbangnya penguasa lama dan digantikannya oleh tatanan penguasa baru. Selain merubah tatanan kepemimpinan, revolusi mampu merubah segala aspek kehidupan masyarakat
BAB 3
REVOLUSI SOSIAL DI CIREBON:
PEMBERONTAKAN MR. YUSUF 12 - 14 FEBRUARI 1949
3.1. Later Belakang Terjadinya Pemberontakan Mr. Yusuf
Secara umum Elson (2008: 186) menggambar secara umum mengenai latar belakang terjadinya pemberontakan Mr. Yusuf seperti yang disebutkan dalam penggalan kalimat berikut ini:
“Gerakan-gerakan seperti itu berusaha menghancurkan masa lalu yang kolot, serbateratur, aristokratik, dan menindas berikut segala perangkatnya, mempermalukan dan menghina para pemegang kekuasaan, serta menggantikan masa lalu itu dengan masa depan yang berani, romantik, dan egaliter”.
Ricklefs (2008: 457) juga menyebutkan secara umum sebab-sebab trjandinya revolusi sosial “.... kebanyakan revolusi sosial diakibatkan oleh persaingan antara elit-elit alternatif, kelompok-kelompok kesukuan dan kemasyarakatan atau antargenerasi; struktur-struktur kelas sosial kurang penting”.
Menurut Tan Malak (Fahsin, 2005: 118), revolusi ini rerjadi akibat dari tidak harmonisnya pertentangan kelas. Tajamnya pertentangan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya ekonomi, politik, sosial, dan psikologi. Namun, lebih lanjut mengenai latar belakang terjadinya revolusi sosial di Kota Cirebon ini, Bapak Kusnan Kusumaatmadja (salah seorang tokoh yang terlibat dalam usaha penumpasan pemberontakan Mr. Yusuf) mengatakan bahwa revolusi ini dilatar belakangi oleh keinginan pihak PKI untuk merobohkan kekuasaan pemerintah RI di Kota Cirebon. Hal ini dilakukan PKI dengan alasan bahwa pemerintah yang ada pada saat itu adalah pemerintahan yang dibentuk oleh Belanda.
3.2. Jalannya Pemberontakan
Dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa (1979) dijelaskan bahwa pada bulan Februari 1946 PKI berniat mengadakan suatu konferensi di Gedung Bioskop “Rex” Cirebon. Menjelang konferensi itu, Laskar Merahnya yang pada waktu itu dipersenjatainya lebih lengkap daripada TRI setempat, mulai merajalela di Kota Cirebon. Cara mereka saling menghormati atau memberi salam itu ialah dengan mengangkat tangan kiri dikepalkan serta menyerukan “Hidup Soviet”. Jauh berbeda dengan salam Nasional kita yang lazim pada waktu itu ialah dengan mengangkat tangan kanan dikepalkan sambil menyerukan “Merdeka!”.
Tindakan mereka semakin memuncak lagi ketika rombongan PKI dan Laskar Merah di bawah pimpinan Mr. Yusuf yang diangkut dengan kereta api dari arah Surabaya sebanyak formasi 10 gerbong, tiba di stasiun Kejaksan Cirebon. Dengan dalih bahwa Polisi Tentara dan TRI Kereta Api hendak melucuti senjata mereka, yang terdiri atas senjata-senjata ringan termasuk senapan-senapan mesin, mereka melucuti senjata-senjata para petugas di stasiun tersebut. Komandan Polisi Tentara yang mendengar tentang peristiwa itu, segera mengutus seorang perwiranya Letnan II D. Sudarsono ke markas laskar Merah yang berkedudukan di depan Balaikota (sekarang) untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Ternyata mereka memperlakukan perwira Polisi Tentara itu dengan tidak sepantasnya, sehigga Letnan Sudarsosno kemudian menuju stasiun. Di tikungan menjelang stasiun, Polisi Tentara itu tiba-tiba dilucuti senjatanya setelah diperintahkan untuk turun dari kendaraannya oleh segerombolan orang-orang bersenjata di bawah pimpinan Mr. Yusuf.
Di stasiun ia mendapatkan penjelasan dari petugas Polisi Tentara- Sersan Wasji selaku Komandan Regu, Sersan Kusnan dan Kopral Ihsan- bahwa mereka dituduh hendak melucuti senjata-senjata Laskar Merah. Petugas Polisi Tentara di stasiun tersebut akhirnya dibawa dengan paksa ke Markas Batalyon Polisi Tentara untuk dilucuti persenjataanya dan menawan anggota Polisi Tentara tersebut.
Di pihak lain terpetik kabar, bahwa Laskar Merah di bawah pimpinan Mr. Yusuf akan melancarkan serangannya terhadap kedudukan TRI di Cirebon dan akan mengambil alih kekuasan pemerintahan dalam kota, serangan tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 13 Februari 1946 dini hari. Dan kegiatan persiapannya memang telah nampak sekali (Dinas Sejarah TNI-AD, 1985: 68).
Resimen TRI Cirebon dibawah pimpinan Muffreini tidak tinggal diam melihat perkembangan-perkembangan yang berlangsung itu. Pada tanggal 12 Februari 1946 TRI mengerahkan segenap senjata yang ada untuk mengepung markas PKI/Laskar Merah di Hotel Lebrinck. Setelah terjadinya pertempuran, pihak Resimen TRI terpaksa mengundurkan diri mengingat keadaan kekuatan senjata yang tidak berimbang.
Akan tetapi Resimen Cirebon (TRI) ini tidak patah semangat. Semua kekuatan senjata yang ada di wilayahnya dikonsolidasikan. Bantuan-bantuanpun datang dari Tegal, Pekalongan, bahkan dari Militer Akademi Tanggerang. Setelah segala sesuatunya siap, maka dilakukan serangan yang kedua pada tanggal 14 Februari 1946.
Sasaran utamanya adalah Hotel Leebrinck. Pertempuran juga terjadi pula di Kejaksan dan di dua tempat di Cangkol. Akhirnya Markas PKI/Laskar Merah menaikan bendera putih, menyerah. Mr. Yusuf berhasil ditangkap hidup-hidup, dan diadili di Pengadilan Tentara dibawah pimpinan Mayor Rivai dengan hukuman empat tahun lamanya.
3.3. Dampak Pemberontakan Mr. Yusuf terhadap kehidupan sosial masyarakat Kota Cirebon
Dampak yang ditimbulkan dari adanya pemberontakan Mr. Yusuf bagi masyarakat Kota Cirebon sendiri adalah terjadinya integrasi dan konsolidasi antara masyarakat dengan Polisi Tentara TRI. Hal ini dikarenakan masyarakat sadar, bahwa mereka memiliki “musuh bersama” yang dalam konteks ini adalah tindakan yang dilakukan Mr. Yusuf dan Laskar Merah sangat merugikan bagi masyarakat. DISJAM DAM IV/Siliwangi (1979: 66) menggambar secara jelas perilaku Mr. Yusuf dan Laskar Merah seperti petikat kalimat berikut:
“Tingkah laku serta tata krama yang mereka demonstrasikan ketika itu, tidaklah sesuai dengan tata-kesopanan yang biasanya dilakukan oleh bangsa Indonesia. Mereka seolah-olah ingin menunjukkan bahwa merekalah yang paling besar sahamnya dalam Revolusi Indonesia. Lihat saja persenjataan mereka!”.
Selain itu berdasarkan tulisan DISJAM DAM IV/Siliwangi (1979: 66) dapat disebutkan beberapa contoh dari ketidaksopanan mereka, seperti:
1. Bila mereka merasa lapar, maka didatangilah warung-warung yang banyak tersebar di Kota Cirebon. Dengan angkuhnya mereka memesan makanan yang mereka kehendaki untuk kemudian memakannya dengan penuh lahap. Setelah perutnya kenyang, mereka kemudian berdiri sambil tulak pinggang serta tidak langsung memperlihatkan atau menunjukkan senjata yang mereka miliki. Bila mereka ditanya mengenai pembayarannya, maka dengan penuh keangkuhan dan mata melotot, mereka menjawab: “Buat apa bayar kalau membawa senjata....”
2. Di samping “kegagahan” mereka demonstrasikan terhadap warung-warung nasi, merekapun seenaknya melakukan perbuatan-perbuatan yang amoral terhadap Wanita Tuna Susila yang memang tidak sedikit jumlahnya di Cirebon ketika itu. Di sinipun mereka menggadakan “machtsvertoon” dengan menggunakan kekerasan senjata seperti halnya yang mereka lakukan terhadap warung-warung.
3. Guna memenuhi kebutuhan rokok mereka, maka mereka dengan seenaknya saja mendatangi Pabri Rokok B.A.T. untuk kemudian secara paksa meminta rokok yang mereka perlukan.
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberontakan Mr. Yusuf di Kota Cirebon 12-14 Februari 1946 dikarenakan pihak PKI untuk merobohkan kekuasaan pemerintah RI di Kota Cirebon. Pemberontakan ini berlangsung dari tanggal 12 – 14 Februari 1946 dan dapat ditumpas dengan usaha para TRI yang dibantu dengan masyarakat Kota Cirebon sendiri, Mr. Yusuf sendiri akhirnya diadili di Pengadilan Militer Kota Cirebon dan mendapatkan hukuman selama empat tahun. Dampak sosial yang diakibatkan dari pemberontan ini adalah terjadinya konsolidasi, baik itu sesama TRI Kota Cirebon, antar TRI di Jawa Barat, maupun masyarakat Kota Cirebon dengan TRI sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Sejarah TNI-AD. (1985). Komunisme dan Kegiatannya di Indonesia. Kota dan Penerbit tidak tercantum.
DISJAM DAM IV/Siliwangi. (1979). Siliwangi dari Masa ke Masa (Edisi kedua). Bandung: Angkasa.
Elson, Robert Edward. (2008). The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: PT. Serambi Ilme Semesta.
Fahsin, M. Fa’al. (2005). Negara dan Revolusi Sosial: Pokok-pokok Pikiran Tan Malaka. Yogyakarta: Resist Book.
Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008. . Jakarta: PT. Serambi Ilme Semesta.
SUMBER INTERNET
Erwansyah. (2009). Teori Revolusi [Online]. Tersedia: http://blog.unila.ac.id/rone/tag/revolusi/. [23 Oktober 2009].
_____. (2009). Uraian Materi Kegagalan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia [Online]. Tersedia: http://fnonk.wordpress.com/2009/01/09/uraian-materi-kegagalan-pemberontakan-partai-komunis-indonesia/. [23 Oktober 2009].
_____. (___). Monumen Pancasila Sakti [Online]. Tersedia: http://www.sejarahtni.mil.id/index.php?cid=1827&page=15. [19 Oktober 2009].
_____. (___). Revolusi [Online]. Tersedia: http://id.wiki.detik.com/wiki/Revolusi. [23 Oktober 2009].
WAWANCARA
Kusnan Kusumaatmaja, Ketua Dewan LPRI Kota Cirebon (10 Oktober 2009).
problem pembelajaran sejarah lokal
PROPORSI SEJARAH LOKAL:
TANTANGAN DAN PELUANG PEMBELAJARAN SEJARAH
LOKAL DI SEKOLAH
LATAR BELAKANG
Belajar sejarah pada dasanya adalah belajar tentang kehidupan masyarakat. Berbagai aspek kehidupan dapat dipelajari dalam sejarah. Pembelajaran sejarah di sekolah sebaiknya lebih mudah dipahami siswa. Dalam pembelajaran sejarah hendaknya siswa dapat melihat langsung kehidupan yang nyata. Sejarah lokal dalam konteks pembelajaran di sekolah tidak hanya sebatas sejarah yang dibatasi oleh lingkup ruang yang bersifat administratif belaka, seperti sejarah provinsi, sejarah kabupaten, sejarah kecamatan, dan sejarah desa. Bertolak dari sejarah lokal inilah siswa dapat menyadari akan kekayaan tema kehidupan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat sekitarnya, sehingga siswa akan lebih bisa memahami dan memaknai peristiwa sejarah. Dengan dilatar belakangi hal tersebut, maka akhirnya kami mengangkat suatu judul “PROPORSI SEJARAH LOKAL: TANTANGAN DAN PELUANG PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL DI SEKOLAH”.
URGENSI SEJARAH LOKAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH
Walaupun sebagian dari kalangan awam baik itu orang tua murid maupun siswa di sekolah mempertanyakan tentang adanya kegunaan pelajaran sejarah yang secara umum mereka ketahui hanyalah sebuah “cerita atau dongeng tentang masa lalu”, padahal secara kenyataannya bukan seperti itu, para ahli telah menyatakan bahwa sejarah itu memiliki kegunaan. Secara garis besar setidaknya terdapat tiga kegunaan sejarah, yaitu: guna edukatif, guna inspiratif, dan guna rekreatif dan instruktif.
Sejarah memiliki guna edukatif karena sejarah dapat memberikan kearifan bagi yang mempelajarinya, yang secara singkat dirumuskan oleh Bacon: “histories make man wise”. Sejarah yang memberikan perhatian pada masa lampau tidak dapat dipisahkan dari kemasakinian, karena semangat dan tujuan untuk mempelajari sejarah ialah nilai kemasakiniannya. Hal ini tersirat dari kata-kata Croce bahwa “all history is contemporary history”, yang kemudian dikembangkan oleh Carr bahwa sejarah adalah “unending dialogue between the present and the past” (Widja, 1988: 49-50). Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila kita dapat memproyeksikan masa lampau ke masa kini, maka kita dapat menemukan makna edukattif dalam sejarah.
Sejarah memiliki guna inspiratif karena sejarah dapat memberikan inspirasi kepada kita tentang gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang dapat digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan masa kini, khususnya yang berkaitan dengan semangat untuk mewujudkan identitas sebagai suatu bangsa dan pembangunan bangsa.
Sejarah memiliki guna rekreatif karena dengan membaca tulisan sejarah kita seakan-akan melakukan “perlawatan sejarah” karena menerobos batas waktu dan tempat menuju zaman masa lampau untuk “mengikuti” peristiwa yang terjadi. Sementara itu guna instruktif merupakan kegunaan sejarah untuk menunjang bidang-bidang ketrampilan tertentu (Notosusanto, 1979: 2-3).
Dalam hubungannya dengan guna edukatif dan inspiratif dari sejarah, dapat dikemukakan bahwa sejarah memiliki kaitan yang sangat erat dengan pendidikan pada umumnya dan pendidikan karakter bangsa pada khususnya. Melalui sejarah dapat dilakukan pewarisan nilai-nilai dari generasi terdahulu ke generasi masa kini. Dari pewarisan nilai-nilai itulah akan menumbuhkan kesadaran sejarah, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan watak bangsa (nation character building).
Pewarisan nilai-nilai dari generasi ke generasi ini dapat dilakukan dengan penggalian dan penyampaian sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah disekolah, adapun pengertiannya sebagai berikut;
“Sejarah lokal dalam konteks pembelajaran di sekolah tidak hanya sebatas sejarah yang dibatasi oleh keruangan yang bersifat administratif belaka, seperti sejarah propinsi, sejara kabupaten, sejarah kecamatan dan sejarah desa” (Agus Mulyana dan Restu Gunawan, 2007: 2). Lokal disini juga lebih dijelaskan lagi oleh Taufik Abdullah (2005: 15) bahwa:
“Pengertian kata lokal tidak berbelit-belit, hanyalah ‘tempat, ruang’. Jadi ‘sejarah lokal’ hanyalahh berarti sejarah dari suatu ‘tempat’, suatu ‘locality’, yang batasannya ditentukan oleh ‘perjanjian’ yang diajukan penulis sejarah”. Batasan geografisnya dapat suatu tempat tinggal suku bangsa, yang kini mungkin telah mencangkup dua-tiga daerah administratif tingkat dua atau tingkat satu (suku bangsa Jawa, umpamanya) dan dapat pula suatu kota, atau malahan suatu desa”.
Atas dasar nilai guna yang dimilikinya, tidak mengherankan apabila sejarah perlu diberikan kepada seluruh siswa di sekolah (dari SD sampai SMA) dalam bentuk mata pelajaran. Kedudukannya yang penting dan strategis dalam pembangunan watak bangsa merupakan fungsi yang tidak bisa digantikan oleh mata pelajaran lainnya. Namun demikian, tujuan pembelajaran sejarah itu tidak sepenuhnya dapat tercapai yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain berkaitan dengan proses pembelajarannya. Oleh karena itu, sepanjang seluruh eksponen dan komponen bangsa masih menginginkan eksistensi sebuah bangsa dan negaranya, upaya-upaya peningkatan kualitas pembelajaran sejarah sampai kapan pun masih menemukan signifikansinya. Dalam hal ini guru menduduki posisi yang penting dan strategis dalam peningkatan kualitas pembelajaran sejarah. Sehubungan dengan hal itu, guru harus selalu meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah, dengan memperhatikan empat pilar pembelajaran sebagaimana telah dideklarasikan oleh Unesco (1988), yaitu: 1) learning to know (pembelajaran untuk tahu), learning to do (pembelajaran untuk berbuat), 3) learning to be (pembelajaran untuk membangun jati diri, dan 4) learning to live together (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis) (Setiadi, 2007: 2).
Selain itu, dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 40 Ayat 1 butir disebutkan bahwa “pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh ‘kesempatan menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas”. Pasal ini memberikan peluang bagi guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan dukungan sarana, prasarana, dan fasilitas yang memadai. Pasal ini dipertegas oleh kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan yang tertuang dalam pasal 40 Ayat 2 butir a yang menyatakan bahwa pendidik berkewajiban “menciptakan suasana yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis”, sehingga interaksi belajar yang monolog dan komunikasi satu arah tidak lagi menjadi satu-satunya model pembelajaran. Pendekatan pembelajaran yang bersifat indoktrinatif dapat menghalangi aktivitas dan kreativitas siswa, sehingga menjadikannya pribadi yang pasif (Setiadi, dkk., 2007; 3).
Berdasarkan uraian di atas, maka guru dituntut untuk selalu mengembangkan diri agar meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah kepada siswa, sehingga tujuan pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah dapat tercapai.
PENGERTIAN SUMBERDAYA SEJARAH LOKAL DALAM PEMANFAATAN BUDAYA LOKAL
Sebelum membicarakan tentang pemanfaatan sumber daya sejarah lokal untuk peningkatan kualitas pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah, kita perlu mendefinisikan istilah “sumberdaya sejarah (lokal) terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar kita memiliki pemahaman yang sama tentang istilah tersebut yang bermanfaat untuk dijadikan landasan dalam pembahasan lebih lanjut.
Istilah “sumberdaya” mengacu kepada sesuatu yang memiliki potensi dan dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan sesuatu yang memiliki potensi itu biasanya digunakan untuk pencapaian tujuan tertentu yang dapat diukur dari segi “produktivitas”. Apabila di belakang istilah itu ditambahkan dengan kata “lokal” (menjadi “sumberdaya lokal”), maka istilah itu memiliki arti bahwa sesuatu yang digunakan atau dimanfaatkan itu adalah hal-hal yang bersifat budaya [lokal] (Sedyawati, 2006: 169). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah budaya dan budaya lokal itu?
Budaya (sering juga disebut kebudayaan) adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1984: 9; dan 1986: 180). J.J. Honigmann dalam The World of Man (1959) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities, dan artifacts. Sejalan dengan hal tersebut Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan dapat digolongkan dalam tiga wujud. Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. Wujud pertama merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak (tidak dapat diraba, dipegang, atau difoto), berada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kebudayaan ideal ini disebut pula tata kelakukan yang berfungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan, dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini dengan cultural system (sistem budaya) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah adat atau adat istiadat (dalam bentuk jamak). Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan tersebut dinamakan sistem sosial (social system). Wujud kebudayaan ini dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasi karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi satu dengan yang lain. Sistem sosial merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret dalam bentuk perilaku dan bahasa. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia; bersifat paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat dilihat, diraba, dan difoto. Wujud kebudayaan yang ketiga ini disebut kebudayaan fisik (material culture).
Ketiga wujud kebudayaan dalam realitas kehidupan masyarakat tentu tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Ide-ide dan tindakan menghasilkan benda-benda yang merupakan kebudayaan fisik. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk lingkungan hidup tertentu yang dapat mempengaruhi tindakan dan cara berpikir masyarakat (Koentjaraningrat, 1984: 5-6; dan 1986: 186-188).
Sementara itu, budaya lokal merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/ subetnik atau budaya daerah.
Sumber daya budaya mencakup tiga wujud kebudayaan tersebut. Dengan kata lain sumberdaya budaya tidak hanya yang bersifat kebendaan saja, dan juga tidak hanya yang berasal dari masa lampau. Dalam arti yang luas, sumberdaya budaya meliputi hasil-hasil budaya baik yang kebendaan dan dapat disentuh (tangible) (benda cagar budaya) maupun yang nonbenda (intangible) seperti konsep-konsep dan ekspresi-ekspresi budaya melalui suaradan atau gerak yang berlalu dalam waktu (Sedyawati, 2006: 94).
PEMANFAATAN SUMBERDAYA LOKAL UNTUK PEMBELAJARAN SEJARAH DAN IPS
Ada satu pertanyaan penting mengapa sumberdaya lokal perlu dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah? Jawabannya adalah karena pemanfaatan khasanah sumberdaya lokal dalam pembelajaran di sekolah dapat berfungsi sebagai titik tolak untuk upaya pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadaran budaya. Pada dasarnya kesadaran sejarah mempersyaratkan beberapa hal. Pertama, pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah yang mewujudkan bangsa Indonesia, kemudian membawa bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Kedua, pengetahuan tentang upaya-upaya kekuatan-kekuatan dari luar Indonesia untuk menguasai kekuasaan di Indonesia dengan usaha-usaha dominasi ekonomi dan militer. Ketiga, pemihakan yang kuat untuk martabat dan kewibawaan bangsa dan negara Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain, setelah menyimak sejarah bangsa.
Sementara itu, kesadaran budaya ditandai oleh empat hal. Pertama, pengetahuan tentang adanya berbagai kebudayaan yang masing-masing mempunyai jati diri dan keunggulan-keunggulannya. Kedua, sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri. Ketiga, pengetahuan tentang adanya riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam. Keempat, pengertian bahwa di samping merawat dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia yang bersatu juga sedang memperkembangkan sebuah kebudayaan baru, kebudayaan nasional (Sedyawati, 2006: 330-331).
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa sumberdaya budaya (lokal) merupakan sarana untuk pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadarajn budaya.
PROPORSI SEJARAH LOKAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH
Pembelajaran sejarah lokal di setiap sekolah memiliki proporsi yang berbeda, tetapi esensinya sama. Mengenalkan anak didik dengan sejarah yang ada di sekitarnya. Menurut salah satu guru sejarah yang kami wawancarai tentang proporsi pembelajaran sejarah lokal di sekolahnya, bisa dikatakan dalam tiga pertemuan, beliau menggunakan satu pertemuan untuk menyisipkan sejarah lokal dalam pelajarannya. Walaupun memang, pembelajaran sejarah lokal lebih mengasyikan bila metode pembelajarannya tepat. Tidak seperti sejarah nasional yang hanya dengan diskusi dan ceramah saja sudah cukup sebagai metode yang digunakan guru. Berdasarkan narasumbertesebut jika, proporsi sejarah lokal dengan sejarah nasional dapat dikatakan 70 : 30. Maksudnya, 70% adalah materi sejarah nasional, sedangkan 30% adalah materi sejarah lokal. Hal ini dilakukan agar, siswa dapat memahami dan mengerti akan kekayaan sejarah lokal yang ada di daerahnya tanpa melupakan sejarah nasional sebagai pijakan akan materi pembahasan dalam kurikulum.
SEPERTI APA ANTUSIASME SISWA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL?
Berdasarkan sharing salah satu siswa MTs N Tegal tentang pembelajaran sejarah di sekolahnya (di kelasnya), sejarah ditanggapi dengan berbagai sikap. Khusus dengan siswa ini, berbeda. Ia sedikit respek ke pelajaran yang mengutamakan penghapalan. Satu contoh waktu kami berbincang tentang materi pembelajaran sejarah lokal di kelasnya, berbeda dengan teman-temannya yang lain yang sibuk dengan dirinya sendiri dan tak fokus. Beberapa kali guru juga mengingatkan siswa-siswinya untuk diam dan fokus. Saat pelajaran sejarah lokal, hanya sedikit siswa yang masih mau mendengarkan cerita dari sang guru, salah satunya siswa yang saya wawancarai. “Sebenarnya banyak siswa yang suka dengan sejarah, cuman gurunya saja yang kadang kurang bisa menyampaikannya dengan menarik,” katanya. Dalam pembelajaran sejarah lokal di kelasnya, awalnya mereka antusias, apalagi objek cerita ada di sekitar mereka. Tapi berhubung guru tak memiliki metode yang praktis dan menarik, siswa bukan hanya acuh, tapi juga ingin cepat-cepat pelajaran itu selesai. Contoh saat menceritakan tentang sejarah Tegal. Bagaimana sosok pendiri Kota Tegal yang masih kerabat dengan raja Demak abad ke-16 datang ke sebuah pesisir yang tak berpenghuni. Hingga ia mendirikan sebuah dusun dan padepokan untuk menyebarkan syiar Islam. Cerita ini sebenarnya menarik, apalagi dengan dikaitkannya dengan Kerajaan Mataram Islam, yang ada kaitannya dengan pendiri Kota Tegal tersebut. Dengan menghubungkan cerita tersebut dengan salah satu tayangan televisi dulu tentang ‘Misteri Gunung Merapi’ yang mengambil latar sejarah Islam, khususnya kerajaan Mataram Islam.
Namun, tak sedikit juga yang memiliki tingkat keingintahuan yang bagus, dengan bekal cerita dari gurunya, ia (siswa yang kami wawancarai) dan beberapa temannya menvari sumber-sumber tulisan yang berkaitan dengan itu. Meskipun tidak ada tugas dari guru untuk mencari referensi lain tentang sejarah lokal tersebut. Hingga mereka berkunjung ke makam ‘Mbah Panggung’ atau Raden Sayyid Abdurrahman sebagai pendiri Tegal, dan makam Sultan Trenggono (salah satu pejabat Kerajaan Mataram) untuk mewawancarai petugas penjaga makamnya tentang sejarah tokoh-tokoh tersebut.
KENDALA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL
Ada banyak sekali kendala dalam pembelajaran Sejarah Lokal, baik itu yang berkenaan dengan konseptual maupun praktis. Secara konseptual salah satu kendalanya adalah seperti yang diutarakan oleh Said Hamid Hasan (2007: 189-190) pada jenjang pendidikan menengah terutama untuk sekolah umum (SMA) yang mempersiapkan peserta didik untuk meniti pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi, maka kemampuan pemahaman maupun skills yang diperlukan dalam disiplin sejarah sudah selayaknya diperkenalkan. Selain itu tujuan pembelajaran sejarah berikutnya yaitu seperti apa yang dikemukakan oleh NCHS yaitu historical thinking, historical analysis and interpretation, dan historical research capabilities dapat dikembangkan sebagai fokus utama. Selain itu juga dalam konteks yang diusulkan Departemen Pendidikan New York maka tujuannya adalah:
1. The skill of historical analysis include the ability to: explain the significance of historical evidence; eigh the importance, reliability, and validity of evidence; understand the concept of multiple causation; understand the importance of changing and competing interpretations of different historical developments.
2. Establishing time frames, exploring different periodizations, examining themes across time and within cultures, and focusing on important turning points inworld history help organize the study of world cultures an civilizations.
Kemampuan seperti diatas, menerut Hamid Hasan (2007: 190) tidak mendapatkan perhatian dalam KURIKULUM SEJARAH SMA dan MA 2004. Pemahaman terhadap peristiwa sejarah memang menonjol tetapi skills dalam sejarah serta pengembangan wawasan belum mendapatkan tempat yang seharusnya.
Permasalahan besar yang dihadapi dalam pengembangan sejarah lokal adalah ketersediaan sumber. Tulisan-tulisan mengenai berbagai peristiwa sejarah lokal belum banyak tersedia. Hal ini menjadi kedala dalam pembelajaran sejarah lokal.
Selain itu, berdasarkan wawancara dengan salah satu guru sejarah di kota Cirebon, kendala dalam pembelajaran sejarah lokal adalah waktu dan biaya. Maksudnya, dikarenakan sumbernya yang minim, dibutuhkan waktu dan biaya yang cukup menyita perhatian para guru sejarah. Hal inilah yang menyebabkan kurang antusiasmenya guru sejarah untuk menggali potensi sejarah lokal di daerahnya.
KESIMPULAN
Pemanfaatan khasanah sumberdaya budaya lokal dalam pembelajaran di sekolah dapat berfungsi sebagai titik tolak untuk upaya pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadaran budaya. Pada dasarnya kesadaran sejarah mempersyaratkan beberapa hal. Pertama, pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah yang mewujudkan bangsa Indonesia, kemudian membawa bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Kedua, pengetahuan tentang upaya-upaya kekuatan-kekuatan dari luar Indonesia untuk menguasai kekuasaan di Indonesia dengan usaha-usaha dominasi ekonomi dan militer. Ketiga, pemihakan yang kuat untuk martabat dan kewibawaan bangsa dan negara Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain, setelah menyimak sejarah bangsa.
Sementara itu, kesadaran budaya ditandai oleh empat hal. Pertama, pengetahuan tentang adanya berbagai kebudayaan yang masing-masing mempunyai jati diri dan keunggulan-keunggulannya. Kedua, sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri. Ketiga, pengetahuan tentang adanya riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam. Keempat, pengertian bahwa di samping merawat dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia yang bersatu juga sedang memperkembangkan sebuah kebudayaan baru, kebudayaan nasional (Sedyawati, 2006: 330-331).
Selain Sejarah lokal merupakan sarana untuk pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadaran budaya, juga sebagai pendekatan seorang guru atau pengajar untuk mengenalkan kepada anak didik tentang kearifan-kearifan lokal yang ada di sekitar mereka. Pembelajaran seperti ini akan menjadikan anak didik paham dengan sejarah diri atau lingkungannya, yang bisa menjadikan anak didik menjadi peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Dan sebagai alternatif para guru untuk menanamkan rasa memiliki terhadap sejarah sendiri, agar tidak diganggu oleh negri lain. Jika pembelajaran lokal tidak diajarkan pada generasi bangsa, dikhawatirkan sejarah-sejarah lokal yang seharusnya turun temurun dipahami generasi bangsa, sedikit demi sedikit hilang dari pengetahuan masyarakat.
Dengan demikian, sejarah lokal tidak bisa disepelekan dalam pendidikan sejarah Indonesia. Harapan kami, pembelajaran sejarah lokal di sekolah-sekolah Indonesia harus diberikan ruang, agar sejarah lokal tidak hilang sampai kapanpun dari pengetahuan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Said Hamid. (2007). Kurikulum Sejarah dan Pendidikan Sejarah Lokal dalam Sejarah Lokal; Penulisan dan Pembelajaran Sejarah. Bandung: Salamina Press.
Kartodirdjo, Sartono. (1994). Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartodirdjo, Sartono. (1994). Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.
Koentjaraningrat, (1984). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, (1986). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Notosusanto, Nugroho. (1979). Sejarah Demi Masa Kini. Jakarta: UI press.
Sedyawati, Edi. (2006). Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Press.
Sedyawati, Edi. (2006). “Tentang Sumberdaya Budaya”, Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, Volume 1, Nomor 2, Desember 2006. Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.
Sedyawati, Edi. (2007). Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Sedyawati, Edi. (2008). Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 2 Dialog Budaya Nasional dan Etnik, Peranan Industri Budaya dan Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Setiadi, Elly M., Kama A. Hakam, dan Ridwan Effendi. (2007). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sevilla, Consuelo, et al.(1993). Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press.
Smiers, Joost.( 2009). Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress.
Widja, G. (1988). Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.
Wawancara
Hadikarta S. Pd, Guru Sejarah SMAN 3 Cirebon. (23 Desember 2009).
Rochjati S. Pd. Guru Sejarah SMAN 3 Cirebon (23 Desember 2009).
M. Meiska Raihan, Siswa MTs N Tegal. (2 Januari 2010).