RSS

ISLAM DAN PENDIDIKAN: AL – IRSYAD AL - ISLAMIYYAH SEBAGAI ALTERNATIF PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penulisan
Pada masa penjajahan kolonial Belanda untuk mengenyam pendidikan sangat sulit sekali dikarenakan ada berbagai peraturan yang diterapkan oleh pihak kolonial terutama terhadap bangsa pribumi, adanya diskriminasi. Selain itu pendidikan yang dibuat oleh pihak kolonial hanya diperuntukan untuk mendapatkan pegawai dengan upah rendah namun berpotensi. Selain itu ruang lingkup pendidikan tersebut sangat diawasi oleh kolonial Belanda dikarenakan Belanda khawatir akan terjadinya suatu pembrontakan akibat pendidikan itu.
Sedangkan bangsa Indonesia sendiri memerlukan sebuah pendidikan untuk mendukung pergerakan mereka menuju kemedekaan, maka dari itu pendidikan di Indonesia mulai bermunculan, baik yang sesuai haluan politik maupun agama. Maka dari itu kami melihat ada salah satu gerakan pendidikan yang berhaluan agama yaitu Jam’iyatul Islah wal Irsyad Al-arabiyah, gerakan ini memberikan andil yang cukup besar dalam pendidikan di Indonesia. Selain itu adanya tuntutan keadaan sosial masyarakat yang sarat akan TBC (Taklid, Bid’ah dan Churafat) sehingga adanya indikasi pemurnian kembali terhadap ajaran agama Islam.
Maka dari itu kami sangat tertarik untuk mengulas tentang gerakan Al-Irsyad dalam pendidikan, sehingga kami mengambil sebuah judul tentang “ISLAM DAN PENDIDIKAN: AL – IRSYAD AL - ISLAMIYYAH SEBAGAI ALTERNATIF PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI”.

1.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini kami membuat beberapa rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan. Rumusan masalah dapat membatasi pembahasan agar tidak melebar. Adapun rumusan masalah yang kami tetapkan adalah:
1. Bagaimana latar belakang berdirinya Al-Irsyad Al-Islamiyyah?
2. Apa peranan dan kontribusi Al-irsyad dalam sejarah pendidikan di Indonesia?
3. Bagaimana sekolah Al-irsyad ini mampu bersaing dengan sekolah yang lain maupun sekolah pemerintah?
4. Bagaimana perkembangan Al-Irsyad saat ini?

1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin di capai dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menjawab rumusan masalah diatas, yakni untuk mengetahui:
1. Latar belakang berdirinya Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
2. Peranan dan kontribusi al-Irsyad dalam sejarah pendidikan di Indonesia.
3. Sekolah Al-Irsyad ini mampu bersaing dengan sekolah yang lain maupun sekolah pemerintah.
4. Perkembangan Al-Irsyad saat ini.

1.4. Metode Penulisan
Adapun penulisan makalah yang kami buat ini adalah dengan menggunakan metode analisis kritis. Penulisan dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan bahasan baik sumber tulisan maupun lisan. Pengkritikan terhadap kebenaran sumber tersebut baik kritik eksternal maupun kritik internal; Menginterpretasikan sumber-sumber yang didapat, dan menyusunya dalam sebuah historiografi. Kami berusaha menampilkan sebuah kajian sejarah pendidikan yang kritis dengan interpretasi yang mendalam.

1.5. Sistematika Penulisan Makalah
Untuk menguraikan isi dari makalah ini, kami membuat sistematika penulisan untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi makalah. Dimulai dengan kata pengantar kemudian dilanjutkan dengan Bab 1 Pendahuluan, Bab 2 Pembahasan, Bab 3 Kesimpulan dan Saran, dan terahir Daftar pustaka serta lampiran-lampiran.
Dalam Bab 1 Pendahuluan berisi latar belakang masalah yang menjadi pendorong dibuatnya makalah ini, rumusan masalah sebagai batasan kajian, tujuan penulisan makalah yang ingin dicapai dari penulisan, metode penulisan yang digunakan dalam penelition, dan sistematika penulisan.
Bab 2 berisikan mengenai latar belakang berdirinya Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Peranan dan kontribusi Al-Irsyad dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Sekolah Al-Irsyad ini mampu bersaing dengan sekolah yang lain maupun sekolah pemerintah. Perkembangan Al-Irsyad saat ini.
Dan pada bab 3, kelompok kami berusaha manarik suatu kesimpulan dari data dan fakta yang telah kami peroleh sebelumnya. Dan diakhiri dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

BAB 2
ISLAM DAN PENDIDIKAN:
AL – IRSYAD AL - ISLAMIYYAH SEBAGAI ALTERNATIF PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI

2.1. Latar Belakang Berdirinya Al-Irsyad Al-Islamiyyah
Saat Indonesia yakin bahwa kemerdekaan berada di ambang pintu, untuk meningsing Kemerdekaan maka lahirlah pergerakan-pergerakan kebangsaan/keagamaan sebagai alat perjuangan kmerdekaaan, berupa perwujudan kesadaraan berorganisasi sebagai langkah pertama untuk berdiri sendiri. Dengan sendirinya pula kesadaran berorganisasi itu, yang diliputi oleh perasaan nasional yang murni, menimbulkan perkembangan baru di lapangan pendidikan dan pengajaran. Maka lahirlah perguruan-perguruan nasional.
Menurut Djumhur dan Danasuparta (1985: 166), para pemimpin pergerakan nasional dengan sadar ingin mengubah keadaan yang kurang tepat. Para pemimpin sadar bahwa penyelanggaraan pendidikan yang bersifat nasional harus segara dimasukan kedalam program perjuangan. Maka lahirlah sekolah-sekolah parikelir atas usaha-usaha perintis Kemerdekaan. Sekolah itu bermula bercorak doa yaitu:
1. Sesuai dengan haluan politik
2. Sesuai dengan tuntutan agama (islam)
Al-Irsyad pada permulaanya dikenal Al-Nahda Al-Hadrawiyah, kebangkitan Hadhrami. Yaitu berjuang untuk persamaan dengan orang-orang yang lain dalam kebudayaan, peradaban dan pendidikan. Kebangkitan Hadhrami ditandai dengan pertumbuhan 3 lembaga sosial modern: Organisasi Sukarela (Jam’iyyah), Sekolah-sekolah Modern (Madrasah) dan surat-surat kabar (Jaridah). Penjelmaan pada awal dari kebangkitan Hahrami adalah Jami’atul Khair, suatu organisasi bergaya barat yang didirikan oleh sekumpulan saudagar dan hartawan Hadhrami yang kaya di Batavia pada tahun 1901 (Kesheh, Natalie Mobini, 1997: 8-9).
Pada tahun 1914 Jami’atul Khair terpecah karena suatu konflik tentang status kedudukan sadah di dalam masyarakat Hadhrami. Akhirnya pada tahun 1915, Hadhrami di Batavia mendirikan suatu lembaga yang dipimpin oleh Syekh Ahmad Sukarti bernama Jam’iyatul Islah wal Irsyad Al-arabiyah (Ricklefs, 2008: 267) yang kemudian disebut Al-Irsyad saja. Al-Irsyad memainkan suatu peranan yang sangat terpenting dalam “menyadarkan” masyarakat Hadhrami di Indonesia selama awal dasawarsa abad 21. Dalam suatu periode kekacauan keagamaan, politik dan sosial, Al-Irsyad menyediakan suatu tempat berkumpul bagi orang-orang yang mendukung gagasan-gagasan moderenisasi dan reformasi tentang pendidikan, kemasyarakatan, dan Islam (Kesheh, Natalie Mobini, 1997: 3-4). Bahkan G. F. Pijper menyebut Al-Irsyad sebagai gerakan pembaharuan yabg punya kesamaan dengan gerakan reformis di Mesir, sebagaimana yang dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha lewat Jam’iyat al-Islah wa Al-Irsyad (G. F. Pijper, 1984: 120 dan 144 : Affandi, 1999: 1).
Tujuan Al-Irsyad itu sendiri adalah “mengumpulkan dan menjaga dana-dana dan membelanjakannya untuk tujuan sebagai berikut: a) untuk mengembangkan adat istiadat/ kebiasaan Arab yang konsisten dengan Agama Islam, mengajarkan masyarakat Arab membaca dan menulis, mempromosikan bahasa Arab, Belanda dan bahasa-bahasa lain yang diperlukan, b) untuk membangun gedung-gedung dan segala sesuatunya dimana manfaat/ keuntungan bisa diperoleh, dan sasaran yang disebutkan pada poin (a) bisa direalisasikan, c) untuk mendirikan sebuah perpustakaan untuk mengumpulkan buku-buku yang berguna agar bisa menerangi pemikiran dan pendidikan Kesheh, Natalie Mobini, 1997: 26-27).
Al-Irsyad mendirikan sekolah-sekolah campuran (pria dan wanita) yang pelajarannya disampaikan dalam bahasa Melayu, Arab, dan Belanda, sebagian besar di Jawa. Sebagian muridnya keturunan Arab, tetapi terdapat pula bebrapa orang Indonesia asli yang belajar di situ (Ricklefs, 2008: 268). Madrasah ini semula terdiri dari lima bagian, yaitu;
1) Awwaliyah yang mempunyai 3 kelas
2) Ibtidaiyah yang mempunyai 4 kelas
3) Tajhiziah yang mempunyai 2 kelas
4) Mu’allimin yang mempunyai 4 kelas
5) Takhassus yang mempunyai 2 kelas.
Sekarang susunannya seperti berikut:
1) SD Al-Irsyad
2) SMP Al-Irsyad
3) SMA Al-Irsyad
4) SMK Al-Irsyad

2.2. Peranan dan Kontribusi Al-Irsyad Dalam Sejarah Pendidikan Indonesia
Al- Irsyad memandang pendidikan adalah satu-satunya cara untuk mereformasi masyarakat Islam. Bagi para Irsyadi, pendidikan dimaksudkan untuk mencapai dua sasaran. Pertama, ia dimaksudkan untuk mendidik siswa dalam memahami Islam yang benar dengan mengajarkan kepada mereka membaca dan menafsirkan Al-Qur’an dan menolak bid’ah dan khurafat. Siswa harus dididik dalam hal ilmu pengatahuan modern dan bahasa-bahasa agar bisa untuk mengatasi keterbelakangan masyarakat Islam (Kesheh, Natalie Mobini, 1997: 30). Dalam perkembangannya, organisasi ini berlandaskan atas apa yang disebut dengan Mabādĩ. Mabādĩ berasal dari kata Mabda dalam artian bahasa Indoneia mempunyai makna azas; sikap; prinsip; kaidah; landasan atau keyakinan. Adapun isi Mabādĩ Al-Irsyad sendiri awalnya terdiri atas:
1) Mengesakan Allah dengan sebersih-bersihnya peng-esa-an dari segala hal yang berbau syirik, mengikhlaskan ibadah kepada Allah dan meminta pertolongan kepada-Nya dalam segala hal.
2) Mewujudkan kemerdekaan dan persamaan dikalangan kaum Muslimin berpedoman kepada Al-Qur’an, As-Sunnah, perbuatan para imam yang sah serta perilaku ulama salaf dalam persoalan khilafiyah
3) Memberantas taqlid buta tanpa sandaran dan dalil naqli
4) Menyebarkan ilmu pengetahuan, kebudayaan Arab-Islam dan budi pekerti luhur yang diridhai Allah
5) Berusaha mempersatukan kaum muslimin dan bangsa Arab sesuai dengan kehendak dan ridho Allah
Pada awal perkembangan Al-Irsyad, Mabādĩ diterapkan oleh syekh Ahmad sukarti didalam lembaga pendidikan yang langsung dipimpinnya. Penerapannya pada tahap awal dibatasi pada fungsi mencetak pendidik dan pengajar (dai/ muballigh). Sasaran perwujudan dua fungsi diatas adalah untuk mengatasi kebodohan dan kekurangan tenaga pemimpin dalam masyarakat dewasa itu. (PP. Al-Irsyad Al-Islamiyyah, __: 4-5).
Adapun usaha yang ditempuh untuk menerapkan Mabādĩ sebagai materi yang mampu menjiwai para guru dan sebagai kurikulum dalam pelajaran disekolah-sekolah Al-Irsyad adalah: Tahap Pertama: Menjadikan para pendidik/ tenaga pengajar sekolah, sebagai inti yang harus memahami Mabādĩ dan mempraktikannya dalam keseharian hidupnya. Dari upaya itu diharapkan sekolah-sekolah Al-Irsayad mendapat semangat baru dan mampu bangkit dengan baik. Tahap berikutnya: Memikirkan bagaimana menyiapkan operasionalisasi materi tersebut sebagai mata pelajaran. Menyusun kurikulum dan kelengkapan instruksional pendidikan lainnya. Tahap selanjutnya: Mencetak murid-murid bermutu yang dapat menerapkan Mabādĩ Al-Irsyad dalam dirinya, kemudian mampu menjabarkan dalam masyarakat (PP. Al-Irsyad Al-Islamiyyah, __: 6).
Banyak sekali aktivitas-aktivitas lain yang dilakukan di sekolah-sekolah Al-Irsyad, dimana pemimpin-pemimpin Al-Irsyad di masa yang akan datang dididik dan direkrut dari sini, dan kebanyakan pemimpin-pemimpin tersebut pada gilirannya mengajar pada sekolah-sekolah tersebut. Dengan demikian, hal tersebut mengauatkan betapa besar peranan dan kontribusi Al-Irsyad dalam dunia pendidikan Indonesia. Bahkan sebagian besar tokoh besar Muhammadiyah kala itu adalah kader-kader yang dibina dalam lembaga pendidikan Al-Irsyad.

2.3. Sekolah Al-Irsyad Ini Mampu Bersaing Dengan Sekolah Yang Lain Maupun Sekolah Pemerintah
Sekolah-sekolah Al-Irsyad berbeda dari model tradisional ini dalam banyak hal. Rata-rata SD Al-Irsyad memiliki 100 sampai 200 murid, yang membuatnya ini lebih besar dari pada sekolah Arab tradisional. Kebanyakan murid-muridnya adalah anak dari saudagar-saudagar Hadhrami, tetapi orang-orang Indonesia asli juga ada di sekolah-sekolah tersebut. Mereka biasanya anak-anak dari anggota masyarakat Muslim elit di Indonesia, sudagar-saudagar kaya, guru-guru agama dan pegawai-pegawai pemerintah.
Sekolah-sekolah tersebut didasarkan pada suatu sistem kelas-kelas bertingkat/berjenjang, ini sangat berbeda sekali dengan sekolah-sekolah tradisional, dimana murid-murid segala usia diajar bersama-sama dalam sebuah kelompok. Berbagai murid belajar berbagai macam mata pelajaran agama Islam dan umu. Pada awal sekolah, kurikulum didominasi oleh pelajaran bahasa Arab dan dasar-dasar Islam. Sejalan dengan meningkatnya kemajuan, mereka dikenalkan dengan mata pelajaran baru seperti Geografi, Sejarah, Aritmatika, Kesehatan, Tata Buku, Olah Raga, Bahasa Melayu dan Belanda.
Perbedaan terbesar dengan sekolah-sekolah tradisional Arab adalah pada dasarnya pendidikan Al-Irsyad memasukkan suatu dasar-dasar modernisasi, suatu pengembangan tentang gagasan dan perkembangan tentang gagasan dan kebiasaan dari Barat yang modern. Ini merupakan suatu kecenderungan yang jauh melewati kurikuluk sekolah. Untuk memulainya, maka gedung-gedung sekolah harus memperhatikan teknologi yang modern. Sekolah-sekolah Al-Irsyad juga menggalakkan untuk menggunakan pemakaian pakaian modern. Foto-foto memperlihatkan bahwa murid laki-laki memakai kemeja putih dengan celana pendek atau celana panjang, sepatu dan kaos kaki, beberapa bahkan menghiasi diri dengan dasi. Tidak ada satupun dari hal-hal di atas bisa didapatkan dalam suatu sekolah tradisional.
Jika dilihat dari segi kurikulum, kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah Al-Irsyad jauh berbeda dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari komposisi mata pelajaran yang diajarkan di Al-Irsyad adalah 60% adalah mata pelajaran umum, seperti Matematika, Geografi, Sejarah, dan lain sebagainya Sedangkan 40% adalah mata pelajaran mengenai agama Islam, seperti Al-Qur’an, Hadits, Fikih, Tauhid, Akhlak, Nahwu Shorof, Bahasa Arab, serta mata pelajaran Mabādĩ Al-Irsyad, dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah sejak awal berdirinya sampai sekarang selalu bernaung dibawah Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan Al-Irsyad, menurut Kesheh (1997: 34) dari awal berdirinya memang organisasi dibidang pendidikan yang sangat desentralisasi. Sehingga aktivitas-aktivitasnya berasal dan dilaksanakan pada tingkat cabang, sedangkan para eksekutifnya sedikit saja melakukan suatu peranan koordinasi. Sedangkan dalam perkembangannya sekolah-sekolah ini dibawah kordinasi dengan Departemen Agama yang bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional.

2.4. Perkembangan Al-Irsyad Saat Ini
Sekolah-sekolah Al-Irsyad pada masa sekarang mengalami penurunan kwalitas organisasi, serta mutu sekolah Al-Irsyad. Penurunan mutu ini dikarenakan:
a) Sekolah Al-Irsyad pada masa kini tidak mengajarkan Mabādĩ Al-Irsyad kepada murid-muridnya. Ynag diajarkan adalah pelajaran ke-Al-Irsyad-an. Terminologi salah yang mengadopsi dari mata pelajaran ke-Muhammadiyah-an dilingkungan Organisasi Muhammadiyah.
b) Murid yang tamat dari sekolah Al-Irsyad tidak diberi bekal Mabādĩ dan karenanya tidak cukup mempunyai persiapan dalam menghadapi kehidupan sesudah keluar dari jenjang pendidikan Al-Irsyad. Dengan kata lain hanyalah merupakan usaha yang sis-sia belaka.
c) Secara organisatoris Al-Irsyad Al-Islamiyyah terkena dampak akibat kurikulum pendidikan yang salah tersebut.
d) Guru-guru sekolah Al-Irsyad juga tidak memahami dengan baik Mabādĩ Al-Irsyad sehingga tidak mampu menerapkan materi tersebut kepada anak didiknya.
e) Mabādĩ Al-Irsyad merupakan barang asing, diketahui hanya untuk sebatas pelajaran sejarah Al-Irsyad dan tidak menyentuh esensi perjuangan pembaharuan Islam karenanya tidak memberikan dampak yang berarti terhadap diri murid-murid.
Selain menurunya mutu, sekolah-sekolah Al-Irsyad juga mengalami penurunan dalam jumlah kwantitas. Dari hasil wawancara kami dengan salah satu pengurus Lajnah Pendidikan dan Pengajaran Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kota Cirebon, ternyata jumlah murid yang masuk ke sekolah-sekolah AlIrsyad Kota Cirebon pada khususnya dan seluruh sekolah-sekolah Al-Irsyad di Indonesia mengalami penurunan yang sangat drastis. Sebagai contoh, pada SMP Al-Irsyad Kota Cirebon, jika pada tahun 2006 bisa merekrut sekitar 25 murid tetapi pada tahun 2008 hanya bisa merekrut 13 murid kelas VII.
Kelompok kami mencoba menganalisis mengenai penyebab penurunan kwantitas murid sekolah-sekolah Al-Irsyad, diantaranya adalah:
a) Semakin banyaknya sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah.
b) Penurunan mutu sekolah-sekolah Al-Irsyad itu sendiri dibanding sekolah-sekolah Islam dan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah.

BAB 3
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Peran Al-Irsyad dalam pendidikan di Indonesia sangat berpengaruh dan memberikan corak tersendiri dalam sistem pendidikan di negara kita, disaat banyaknya sekolah-sekolah yang lebih mementingkan kepentingan aspek intelektual dan mengesampingkan aspek moral, Al-Irsyad tampil sebagai pendidikan yang menimbang aspek moral, yang bertujuan untuk meningkatkan moral bangsa Indonesia dan menjadikan penerus-penerus bangsa yang taat terhadap agamanya. Selain itu Al-Irsyad juga turut meningkatkan mutu pendidikan, sepak terjang Al-Irasyad dalam dunia pendidikan tidak diragukan atas kontribusinya dalam mendidik rakyat di negara kita Indonesia. Pada masa kemasa Al-irasyad pun mengalami perkembangan cukup pesat.

3.2. Saran
Al-Irsyad Al-Islamiyah dapat dijadikan alternatif dalam dunia pendidikan Indonesia di era globalisasi. Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi agar Al-Irsyad ini dapat bersaing di era globalisasi ini adalah:
a) Sekolah Al-Irsyad pada masa kini mengajarkan kembali Mabādĩ Al-Irsyad kepada murid-muridnya.
b) Murid yang tamat dari sekolah Al-Irsyad diberi bekal Mabādĩ...
c) Guru-guru sekolah Al-Irsyad memahami dengan baik Mabādĩ Al-Irsyad sehingga tidak mampu menerapkan materi tersebut kepada anak didiknya.
d) Mabādĩ Al-Irsyad tidak dijadikan barang asing, diketahui tidak hanya untuk sebatas pelajaran sejarah Al-Irsyad dan menyentuh esensi perjuangan pembaharuan Islam


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Affandi, Bisri. (1999). Syaikh Ahmad Syukarti (1874-1943) Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Djumhur, dan Danasuparta. (1985). Buku Pelajaran Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu.
Kesheh, Natalie Mobini. (1997). Modernisasi Islam Dimasa Kolonial Jawa: Gerakan Al – Irsyad (terjemahan Khalid Abud Attamimi). Koln: Brill Leiden - New York.
PP. Al – Irsyad Al – Islamiayyah. (__). Mabadi’ul Irsyad. Jakarta: Penerbit tidak tercantum.
Ricklefs, M. C. (2008). Sejarag Indonesia Modern (edisi ketiga). Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Sumber Internet
Admin. (2004). Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah [Online]. Tersedia: www.alirsyad.org. [22 April 2009].
Rahmat. (__). Al-Irsyad Al-Islamiyyah [Online]. Tersedia: http://blog.re.or.id/al-irsyad-al-islamiyyah.htm. [22 April 2009].
_____. (__). Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah [Online]. Tersedia: http://alirsyad.ning.com/.. [22 April 2009].

Sumber Wawancara
Mustaqfiroh, Pembina Osis SMP Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kota Cirebon (13 Maret 2009).
Ratam Mulyadi Castar, Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum (13 Maret 2009).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MASYARAKAT PRIBUMI BERTAHAN DI ANTARA MASYARAKAT KETURUNAN ARAB DAN MASYARAKAT KETURUNAN TIONGHOA (1997-1998) : MASYARAKAT JAGABAYAN KOTA CIREBON

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penulisan Makalah
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik. Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan itu sering kali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk (Nasikun, 2009: 34-35).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan prularitas masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi. Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih 3.000 pulau yang terserak di suatu daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat dan lebih dari 1.000 mil dari utara ke selatan. Selain itu juga kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas di dalam masyarakat Indonesia (Nasikun, 2009: 44-46).
Dengan melihat kalimat di atas, akhirnya penulis merasa tertarik untuk membahas tentang suatu masyarakat di Jagabayan Kota Cirebon yang bisa dibilang menggambarkan kemajemukan masyarakat di Indonesia, dimana di tempat itu terdapat tiga golongan masyarakat, yang pertama, masyarakat keturunan Tionghoa; kedua, masyarakat keturunan Arab; ketiga, masyarakat pribumi.
Tulisan ini berusaha mendeskripsikan dan menganalisis mengenai struktur sosial – budaya di tempat tersebut pada medio tahun 1997-1998 dimana pada saat itu Indonesia sedang mengalami masalah krisis multidimensi. Untuk itu makalah ini penulis mengakat judul “MASYARAKAT PRIBUMI BERTAHAN DI ANTARA MASYARAKAT KETURUNAN ARAB DAN MASYARAKAT KETURUNAN TIONGHOA (1997-1998) : STRUKTUR SOSIAL - BUDAYA MASYARAKAT JAGABAYAN KOTA CIREBON”.

1.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis membuat beberapa rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan. Rumusan masalah dapat membatasi agar pembahasan tidak melebar dan lebih terfokus. Adapun rumusan masalah yang penulis kemukakan adalah bagaimana:
1. Sejarah singkat daerah Jagabayan?
2. Gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat keturunan Arab di daerah Jagabayan?
3. Gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat keturunan Tionghoa di daerah Jagabayan?
4. Gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat pribumi di daerah Jagabayan?
5. Struktur sosial dan struktur budaya masyarakat Jagabayan menghadapi masa krisis multidimensi di Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah untuk menjawab rumusan masalah di atas, yakni dapat menjelaskan:
1. Sejarah daerah Jagabayan;
2. Gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat keturunan Arab di daerah Jagabayan;
3. Gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat keturunan Tionghoa di daerah Jagabayan;
4. Gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat pribumi di daerah Jagabayan;
5. Struktur sosial dan struktur budaya masyarakat Jagabayan pada masa krisis multidimensi di Indonesia.

1.4. Metode Penulisan
Adapun penulisan makalah yang penulis buat ini adalah dengan menggunakan metode analisis kritis. Tahap heuristik dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber yang relevan, baik itu sumber tertulis maupun sumber lisan yang berupa wawancara. Pengkritikan terhadap kebenaran sumber tersebut baik kritik eksternal maupun kritik internalpun penulis lakukan. Serta menginterpretasikan sumber-sumber yang didapat, dan menyusunnya dalam sebuah historiografi.

1.5. Sistematika Penulisan
Untuk menguraikan isi dari makalah ini, penulis membuat sistematika penulisan untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi makalah ini. Dimulai dengan kata pengantar kemudian dilanjutkan dengan bab satu pendahuluan, bab dua tinjauan pustaka, bab tiga pembahasan materi, bab empat penutup dan terakhir daftar pustaka.
Dalam Bab 1 Pendahuluan berisi latar belakang masalah yang menjadi pendorong dibuatnya makalah ini, rumusan masalah sebagai batasan kajian, tujuan penulisan makalah yang ingin dicapai dari penulisan, metode penulisan yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika penulisan.
Dalam bab dua berisi tinjauan pustaka mengenai gambaran tentang sistem sosial budaya di Indonesia. Bab tiga membahas mengenai Sejarah daerah Jagabayan, gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat keturunan Arab di daerah Jagabayan, gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat keturunan Tionghoa di daerah Jagabayan, gambaran umum mengenai kehidupan sosial masyarakat pribumi di daerah Jagabayan, struktur sosial dan struktur budaya masyarakat Jagabayan pada masa krisis multidimensi di Indonesia Dalam bab empat berisi kesimpulan dari isi materi dan diakhrir dengan Daftar Pustaka.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Tatang M. Amirin (Ranjabar, 2006:7) menyatakan bahwa istilah sistem berasal dari bahasa Yunani; systema, yang artinya :
1. Suatu hubungan yang terssusun atas sekian banyak bagian;
2. Hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur.
Jadi, systema itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Tatang M. Amirin mengambil beberapa contoh yang menurutnya agak dikenal di Indonesia, antara lain seperti:
1. Sistem yang digunakan untuk menunjuk suatu kumpulan atau himpunan benda-benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk saling hubungan atau saling ketergantungan yang teratur.
2. Sistem yang digunakan untuk menyebut alat-alat atau organ tubuh secara keseluruhan yang secara khusus memberikan andil atau sumbangan terhadap berfungsinya tubuh tertentu yang rumit, tetapi amat vital.
3. Sistem yang menunjuk sehimpunan gagasan (ide) yang tersusun dan terorganisasikan.
4. Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk suatu hipotesis atau suatu teori.
5. Sistem yang dipergunakan dalam arti metode atau tata cara.
6. Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk pengertian skema atau metode tata cara.
Dari pernyataan di atas, terdapat ciri khusus yang melekat pada tiap arti sistem tersebut, yaitu bahwa dalam suatu sistem terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan atau berhubungan dalam suatu keastuan.
Pengertian sosial budaya mengandung makna sosial dan budaya. Sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakatan berarti segala sesuatu yang bertalian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyarakt dari orang atau sekelompok orang yang di dalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nilai-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Arti budaya, kultur atau kebudayan adalah cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal balik dengan alam dan lingkungan hidupnya yang di dalamnya sudah tercakup pula segala hasil cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik materiil maupun yang psikologis, idiil, dan spritual (Koentjaraningrat, 2009: 146).
Dari uraian yang dikemukakan itu, dapat disimpulkan secara sederhana dalam arti luas bahwa pengertian sistem sosial-budaya, yaitu merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama-sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hiup dalam bermasyarakat (Ranjabar, 2006:9).


BAB 3
MASYARAKAT PRIBUMI BERTAHAN DI ANTARA MASYARAKAT
KETURUNAN ARAB DAN MASYARAKAT KETURUNAN TIONGHOA
(1997-1998) : STRUKTUR SOSIAL - BUDAYA MASYARAKAT JAGABAYAN
KOTA CIREBON

3.1. Sejarah Singkat Jagabayan
P.S. Sulendraningrat (1984) mengatakan bahwa Jagabayan didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Tidak ada keterangan pasti mengenai waktu daerah ini didirikan, namun menurut Ade, seorang Juru Kunci daerah tersebut mengatakan bahwa waktu tahun pendirian Jagabayan oleh Sunan Gunung Jati adalah sama dengan tahun didirikannya Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan Cirebon, yaitu pada 1489 M.
Daerah ini awalnya hanya terdiri dari satu buah masjid, yang bernama Masjid Jami Jagabayan. P.S. Sulendraningrat mengungkapkan bahwa didirikannya Jagabayan adalah bertujuan untuk menjaga dari bahaya. Maksudnya, Jagabayan ini memiliki fungsi sebagai pusat penjagaan sebelum memasuki pintu Keraton Kanoman dan Kasepuhan. Wahid (2009: 62) mengatakan bahwa daerah Jagabayan adalah daerah strategi sebagai pintu untuk memasuki keraton.
Letaknya yang strategis, dekat dengan pesisir laut dan sebagai pintu gerbang untuk memasuki keraton, ini menyebabkan beberapa masyarakat untuk tertarik tinggal di daerah tersebut. Beberapa etnis yang mendiami daerah tersebut adalah etnis Tionghoa, etnis Arab, dan masyarakat pribumi sendiri. Maka tak heran, jika daerah tersebut sampai saat ini masih terdapat beberapa usaha yang sangat menguntungkan, seperti pusat usaha pertokoan emas, pusat penjualan minyak wangi, pusat elektronik, dan beberapa usaha lainnya yang sangat vital bagi kelangsungan perekonomi Kota Cirebon sendiri. Bahkan, masjid Jami Jagabayan, dipercaya oleh beberapa masyarakat memiliki “berkah” tersendiri bagi siapa saja yang mandi dengan menggunakan air sumur di masjid tersebut. Menurut Malinowsky (Nazsir, 2009: 10), keberadaan sumur Jagabayan ini dapat menenangkan masyarakat dari kegelisahan dari rasa tajut ketika menghadapi musibah yang dalam banyak hal mereka merasa tidak berdaya.

3.2. Gambaran Umum Mengenai Kehidupan Sosial Masyarakat Keturunan
Arab
3.2.1. Awal Kedatangan Orang Arab ke Cirebon
Awal kedatangan orang-orang Arab ke Cirebon ini menurut Sulendraningrat (1984: 21-22) adalah ketika Sunan Gunung Jati masih hidup tepatnya pada 1464 M. Orang Arab yang pertama datang ke Cirebon menurut Sulendraningrat adalah Syarif Abdurrachman, beliau adalah putra dari Sultan Maulana Sulaeman penguasa di Bagdad yang diperintahkan untuk berguru kepada Sunan Gunun Jati. Oleh Sunan Gunung Jati Syarif Abdurrachman diberi tempat yang kemudian disebut dengan Panjunan.Semenjak saat itu Panjunan didiami oleh komunitas keturunan Arab.

3.2.2. Kehidupan Sosial Masyarakat Keturunan Arab
Masyarakat keturunan Arab yang mendiami daerah Jagabayan mayoritas bermata pencaharian sebagai penjual minyak wangi. Tercatat 11 toko minyak wangi yang terdapat di daerah Jagabayan yang dimilki oleh masyarakat keturunan Arab. Jika dilihat secara geografis, letak Jagabayan yang berdekatan dengan Panjunan (daerah di mana mayoritas masyarakat keturunan Arab di Cirebon ini tinggal) sangat wajar bila di sana banyak terdapat toko-toko yang menjual minyak wangi. Selain itu, biasanya, selain menjual minyak wangi mereka juga ada yang membuka usaha toko buku.
Jika kita mengkaji lebih dalam tentang masyarakat keturunan Arab ini, maka menurut Selo Soemardjan (Ranjabar, 2006:32) masyarakat ini dapat dikategorikan sebagai masyarakat dengan struktur sosial-budaya madya. Di mana ciri-ciri masyarakat madya adalah:
1. Hubungan dalam keluarga tetap kuat, tetapi hubungan dalam masyarakat setempat sudah mengendor dan menunjukkan gejala-gejala hubungan atas dasar perhitungan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari adanya hubungan kekerabatan yang ada di masyarakat keturunan Arab ini. Mereka memilki ikatan yang kuat dengan “bangsa-nya”, seperti “bangsa” Attamimmi akan sangat kuat dengan orang yang “berbangsa” sams Attamimmi.
2. Adat istiadat masih dihormati, tetapi sikap masyarakat mulai terbuka akan pengaruh dari luar. Terlihat disini bahwa masyarakat ini masih tetap menghormati adat istiadatnya seperti mengadakan pengajian pada saat Malam Jum’at.
3. Dengan timbulnya rasionalitas dalam cara berfikir, maka kepercayaan-kepercayaan pada kekuatan-kekuatan gaib baru timbul apabila orang sudah mulai kehabisan akal untuk menaggulangi suatu masalah. Dan biasanya jika sudah mulai kehabisn akal, beberapa orang dari masyarakt keturunan Arab ini pergi ke Masjid Jagabayan untuk mandi air sumur.
4. Di dalam masyarakt timbul lembaga-lembaga pendidikan formal sampai tingkat lanjutan dan masih jarang sekali ada lembaga pendidikan keterampilan atau kejuruan. Masyarakat ini sudah memilki sekolah yang bernama SMP Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Dimana muridnya hampir 90% adalah masyarakat keturunan Arab itu sendiri.

3.3. Gambaran Umum Mengenai Kehidupan Sosial Masyarakat Keturunan
Tionghoa
3.2.1. Awal Kedatangan Orang Tionghoa ke Cirebon
de Graff dan Pigeaud (1997:123-124 ; Wahid, 2009: 51-52) mengungkapkan bahwa orang Tionghoa telah hadir di daerah Cirebon jauh sebelum Kesultanan Cirebon berdiri. Kehadiran orang Tionghoa di Cirebon pada periode tersebut itu salah satunya ditandai dengan sebuah bangunan menara. Sejarah komunitas Tionghoa di Cirebon yang lebih bisa dipercaya dalam catatan-catatan tersebut dimulai setelah sejarah Semarang.
Tome’ Pires (de Graff dan Pigeaud, 1997: 125 ; Wahid, 2009: 52) menyebutkan bahwa hubungan antara Demak dan Cirebon bermula pada dekade akhir abad ke-15, sebelum kekuasaan Muslim dibangun di Demak. Adapun keterlibatan orang Tionghoa dalam pendirian Kesultanan Cirebon adalah berkaitan dengan sosok legendaris Sunan Gunung Jati. Tokoh legendaris lainnya yang sering diungkap ketika membicarakan orang Tionghoa di Cirebon adalah sosok Tan Ong Tin Nio. Keberadaannya sangat penting dalam legenda orang Tionghoa di Cirebon karena dia diyakini kemudian menjadi istri dari Sunan Gunung Jati.

3.2.2. Kehidupan Sosial Masyarakat Keturunan Tionghoa
Letak Jagabayan yang berdekatan dengan daerah Lemahwungkuk (yang mayoritas penduduknya adalah Tionghoa) menyebabkan banyaknya masyarakat Tionghoa yang tinggal di daerah Jagabayan. Hal ini dipertegas dengan apa yang diungkapkan Wahid (2009: 62), yang menyatakan bahwa Komunitas Tionghoa yang dari asal kedatangannya di Cirebon berkonsentrasi di daerah Lemahwungkuk, namun pada abad ke-20 komunitas Tionghoa di Cirebon ini telah menyebar ke kawasan sepanjang Pekalipan, Pekiringan, Pasuketan, Karanggetas, termasuk Jagabayan. Kawasan-kawasan tersebut sejak awal abad ke-20 menjelma menjadi kawasan strategis Kota Cirebon.
Keadaan masyarakat Tionghoa pada saat ini di daerah Jagabayan, tercatat 267 dari 367 penduduknya adalah mayoritas keturunan Tionghoa. Mereka hampir menguasai sebagian besar sektor perekonomian di daerah tersebut. Tercatat sebelas toko emas yang semuanya itu dimiliki oleh orang Tionghoa. Selain itu, masyarakat Tionghoa juga menguasai sektor kesehatan, sektor jasa di daerah tersebut, bahkan sektor politikpun di daerah ini dikuasai oleh orang-orang Tionghoa.
Jika kita menutip pendapat Ranjabar yang mengemukakan apa yang dikemukakan Koentjaraningrat (2006:130) tentang klasifikasi masyarakat dan kebudayaan di Indonesia, maka masyarakat Tionghoa di Jagabayan termasuk ke dalam tipe masyarakat metropolitan, dimana mereka mulai mengembangkan suatu sektor perdagangan dan industri yang agak berarti. Dimana dalam hal ini mereka mulai mengembangkan perdagangan emas.
Jika dihubungkan dengan pendapat Selo Soemardjan (Ranjabar, 2006:32) masyarakat ini dapat dikategorikan sebagai masyarakat dengan struktur sosial-budaya pramodern atau modrn. Di mana ciri-ciri masyarakatnya adalah:
1. Kepercayaan kuat kepada manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan mulai digunakannya semacam komputerisasi dalam perdagangan emas.
2. Tingkat pendidikan formal tinggi dan merata. Banyak keturunan Tionghoa di daerah ini mengecam pendidikan di Perguruan Tinggi, bahkan mayoritas menyekolahkan anaknya di Perguruan Tinggi yang ada di luar negeri.
3. Ekonomi hampir seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkan atas penggunaan uang dan alat pembayaran lain. Nampak jelas dengan ada banyaknya toko yang menjual emas dimana perdagangannya disesuaikan dengan mekanisme pasar.

3.4. Gambaran Umum Mengenai Kehidupan Sosial Masyarakat Pribumi
Masyarakat pribumi yang tinggal di daerah Jagabayan ini terdiri atas suku Jawa dan Batak. Dimana terdapat 44 jiwa yang berasal dari suku Jawa dan 4 orang dari suku Batak. Tidak seperti masyarakat keturunan Tionghoa dan masyarakat keturunan Arab yang ada di sana, masyarakat pribumi tidak memiliki peran sebesar kedua masyarakat keturunan tadi. Jika keturunan Tionghoa menguasai perdagangan emas dengan memiliki sebelas toko emas, dan sektor ekonomi lainnya seperti super mall. Dan masyarakat keturunan Arab menguasai sektor perdagangan minyak wangi serta penjualan buku dan kitab, maka masyarakat pribumi hanya berusaha memanfaatkan sarana wisata religi saja. Adanya sebuah masjid yang dianggap oleh sebagian masyarakat Cirebon sebagai masjid keramat yaitu Masjid Jagabayan membuka lahan bagi masyarakat pribumi untuk berusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mereka ada yang mencari nafkah dengan menjual jasa mengambilkan air sumur di mesjid tersebut yang konon dianggap keramat. Ada beberapa masyarakat pribumi yang berusaha berkecimpung di dalam bisnis perdagangan emas, mereka biasanya berusaha di pinggir jalan Karanggetas dan Pasuketan. Selain itu bisnis penjualan makanan menjadi alternatif lain masyarakat pribumi untuk kelangsungan hidupnya.

3.5. Struktur Sosial dan Struktur Budaya Masyarakat Jagabayan Pada Masa Krisis Multidimensi di Indonesia
Pada medio tahun 1997 Indonesia mengalami apa yang disebut dengan ‘kristal’ (krisis total) tidak sekedar ‘krismon’ (krisis moneter). Krisis ini telah memporak-porandakan sendi-sendi ekonomi yabg telah dibangaun selama lebih dari 30 tahun. Krisis ini menyebabkan utang negara melonjak tajam, sektor riil dan keuangan ambruk. Dampak sosial yang serius, pengangguran dam kemiskinan melonjak (Adiningsih, 2008: v). Hampir seluruh daerah di Indonesia mengalami dampak dari krisis itu, termasuk daerah Jagabayan sendiri. Namun, dampak dari krisis di daerah ini bisa dibilang unik karena jika daerah-daerah lain sektor perekonomian menjadi lumpuh, di daerah ini justru sebaliknya.
Nilai tukar Rupiah yang pada saat itu mengalami depresiasi sampai Rp.14.900,00 per US$ (Sri Adiningsih, 2008: 43), mengakibatkan harga penjualan emas mengalami peningkatan yang signifikan. Keadaan seperti ini tak pelak menyebabkan rangsangan begi masyarakat untuk menjual emasnya. Jagabayan, yang mayoritas sektor perekonomiannya didominasi oleh para padagang emas, baik yang di toko-toko maupun yang ada di pinggiran jalan, turut terkena imbasnya.
Pada medio tahun 1997, daerah ini mengalami kestabilan perekonomian. ‘anomali’ ini dikarenakan banyaknya masyarakat yang menjual emasnya di daerah ini, yang memang menjadi sentral penjualan emas di Kota Cirebon. Berdasarkan temuan di lapangan, pada tahun ini pendapatan masyarakat mengalami perubahan yang signifikan. Tak pelak hal ini mengakibatkan dinamika sosial di masyarakat daerah tersebut menjadi lebih berkembang.
Jika sebelum medio tahun 1997 perekonomian hanya didominasi oleh orang Tionghoa, maka setelah tahun ini masyarakat pribumi mulai mendapat ruang untuk mengembangkan usahanya. Tercatat sebelum medio tahun 1997 hanya terdapat sekitar 15 orang saja yang menjadi penjual emas, maka setelah medio tahun 1997 terdapat 29 orang yang menjadi penjual emas. Bahkan ada beberapa dorang yang berasal dari keturunan Arab ikut menjadi penjual emas.
Menurut Parson (Beilharz, 2005: 295) apa yang terjadi pada masyarakat pribumi itu merupakan hal yang wajar. Karena menurut pendapatnya, tugas kelompok adalah mengadapatasi dengan lingkungan tertentu dan taat kepada disiplin kegiatan instrumental.
Jika kita mengadopsi pendapat Parsons tentang konsep A-G-I-L (Supardan, 2008: 154), maka dapat dianalisis bahwa:
1. Adaption, dimana adanya keharusan bagi sisem-sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya. Dimana, Parsons membagi ke dalam dua dimensi permasalahan, yang pertama, harus ada suatu penyesuaian dari sistem itu terhadap tuntutan kenyataan yang keras, yang tidak dapat diubah (inflexible) yang datang dari lingkungan. Kedua, ada proses transformasi aktif dari situasi itu. Maka apa yang dilakukan masyarakat di Jagabayan sudah tepat, mereka beradaptasi dari tuntutan yang keras yang memaksa mereka untuk mengembangkan usaha mereka menjadi penjual emas.
2. Goal Attainment, merupakan persyaratan fungsional yang muncul dari tindakan yang diarahkan pada tujuan-tujuannya. Namun, perhatian yang diutamakan di sini bukanlah tujuan pribadi individu, melainkan tujuan bersama para anggota dalam suatu sistem sosial. Dalam konteks masyarakat Jagabayan ini, maka tujuan bersama masyarakat adalah memanfaatkan ketidakstabilan perekonomian di Indonesia, untuk menyambung hidup masyarakat tersebut.
3. Integration, agar sistem sosial itu berfungsi secara efektif sebagai satu kesatuan, harus ada paling kurang satu tingkat solidaritas di antara individu yang termasuk di dalamnya. Perangkat pemerintahan lokal, dalam hal ini Rukun Tetangga maupun Rukun Warga dapat menjadi jembatan bagi terciptanya soliaritas antar penduduk Jagabayan.
4. Laten Pattern Maintenance, para anggota ,masyarakat bisa letih dan jenuh serta tunduk pada sistem sosial lainnya di mana mungkin mereka terlibat. Karena itu semua sistem sosial harus berjaga-jaga bilamana sistem itu suatu saat kocar-kacir dan para anggotanya tidak lagi bertindak atau berinteraksi sebagai anggota sistem.
Jika menurut pandangan Parsons masyarakat diluar etnis Cina melakukan adaptasi terhadap apa yang terjadi pada saat itu, maka pandangan berbeda justru dikemukakan oleh beberapa tokoh, seperti pandangan Stephen K Sanderson (1993:12 ; Nazsir, 2009: 18). Menurut pandangannya bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat pribumi dan keturunan Arab itu dikarenakan mereka ingin merebut sumber-sumber daya ekonomi yang selama ini dikuasai oleh masyarakat Tionghoa melalui perdagangan emasnya. masyarakat Tionghoa yang dalam hal ini menjadi kelompok determinan, akan selalu menentukan pola-pola sosial dasar masyarakat yang didasarkan atas kepentingan ekonomi. Pandangan seperti ini tidak lepas dari anggapan Max Weber (Nazsir, 2009: 18) bahwa pertentangan antara kelas dominan dan kelas yang tersubordinasi memainkan peran sentral dalam menciptakan bentuk-bentuk penting perubahan sosial.
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Dahrendorf (Poloma, 1952 ; Nazsir, 2009: 24). Ia berpendapat bahwa distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata akan menjadi faktor yang menentukan konflik sosial yang sistematis. Jika demikian, maka penyebab konflik diantara masyarakat keturunan Tionghoa dan non Tionghoa adalah distribusi kekuasaan dan wewenang dalam hal perekonomian yang tidak merata sehingga perekonomian di daerah Jagabayan sangat didominasi oleh masyarakat Tionghoa.
Lebih lanjut Karel J. Veeger (1992: 93-95 ; Nazsir, 2009: 28-30) menjelaskan bahwa:
1. Kedudukan orang-orang di dalam kelompok atau masyarakat tidaklah sama. Karena ada pihak yang berkuasa dan berwenang (masyarakat Tionghoa), dan ada pula pihak yang tergantung (mayarakat non Tionghoa).
2. Perbedaan dalam kedudukan menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berbeda pula. Jika masyarakat Tionghoa ingin menguasai perekonomian di daerah Jagabayan, maka masyarakat pribumi dan Arab berusaha merebut dominasi masyarakat Tionghoa.
3. Mula-mula sebagian kepentingan-kepentingan yang berada itu tidak disadari dan karenanya dapat disebut kepentingan tersembunyi, yang tidak akan menimbulkan aksi. Pada medio tahun 1997 dimana perekonomian Indonesia sedang mengalami resesi, maka saat itulah masyarakat pribumi dan Arab mulai menyadari bahwa perekonomian di daerah itu didominasi oleh masyarakat Tionghoa. “manifest interest” terjadi, dan segera mereka memulai berusaha mengurangi dominasi Tionghoa dalam perekonomian di Jagabayan.
4. Konflik akan berhasil membawa suatu perubahan dalam struktur relasi-relasi sosial, jika kondisi tertentu telah terpenuhi salah satunya adalah perubahan struktural.


BAB 4
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Jadi, dari penjelasan sebelumnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa masyarakat di daerah Jagabayan ini terdiri atas masyarakat pribumi, masyarakat keturunan Arab, dan masyarakat keturunan Tionghoa. Sebelum tahun 1997 masyarakat Tionghoa sangat mendominasi sektor perekonomian dan sektor politik di daerah itu. Dari segi perekonomian, dapat dilihat dari adanya 11 toko emas, enam toko elektronik, tiga toko roti, dua salon, bahkan toko baju dan sepatupun dikuasai oleh masyarakat Tionghoa. Sedangkan dari segi politik, dominasi masyarakat Tionghoa terlihat dengan diangkatnya dua orang Tionghoa menjadi Ketua RW dan Ketua RT. Sedangkan Masyarakat Keturunan Arab menguasai sektor perdagangan minyak wangi, yang dari dulu memang sudah sangat terkenal. Sedangkan masyarakat pribumi, menjadi masyarakat yang memanfaatkan sektor jasa, dan sekaligus menjadi bagian dari sektor politik yang penting di daerah tersebut, yaitu menjadi ketua RT.
Pada medio tahun 1997, Indonesia terjadi krisis di segala aspek kehidupan, termasuk sektor perekonomian. Jagabayanpun tak pelak ikut merasakan dampak dari krisis tersebut. Sektor perekonomian yang dari dahulu dikuasai oleh masyarakat Tionghoa kini mulai menyebar ke masyarakat pribumi dan masyarakat Arab. Jika sebelum medio tahun 1997, masyarakat tertarik untuk berinvestasi dengan membeli perhiasan emas ke toko-toko emas yang dikuasai oleh Tionghoa, sejak medio tahun 1997 mulai juga melirik untuk berinvestasi perhiasan emas kepada masyarakat pribumi dan Arab yang biasanya membuka usahanya di pinggiran jalan. Harga jual emas yang tinggi pada tahun itu, serta harga beli para pedagang emas di pinggiran yang relatif dapat bersaing dengan harga beli pedagang emas yang berasal dari Tionghoa menyebabkan hal itu terjadi.
Keadaan demikian, dapat menimbulkan apa yang disebutkan dalam teori struktur fungsional dan teori konflik yang nantinya dapat mengakibatkan terjadinya perubahan sosial. Memang antara struktural dan konflik terdapat perbedaan dalam hal perubahan sosialnya namun keduanya tidaklah saling meolak, tetapi saling melengkapi. Orang yang bijak pasti akan memadukan keduanya untuk menelaah kehidupan sosial di daerah itu agar memperoleh suatu gambaran yang lebih lengkap.


DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, Sri et al. (2008). Satu Dekade Pasca-Krisis Indonesia: Padai Pasti Berlalu. Yogyakarta: Kanisius.
Beilhardz, Peter. (2005). Teori-teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi (edisi revisi 2009). Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Nasikun. (2009). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Nazsir, Nasrullah. (2009).Teori-Teori Sosiologi. Bandung: Widya Padjadjaran.
Ranjabar, Jacobus. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sulendraningrat, P. S. (1984). Babad Tanah Sunda Babad Cirebon. Kota dan penerbit tidak tercantum.
Supardan, Dadang. (2008). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Wahid, Abdul. (2009). Bertahan di Tengah Krisis: Komunitas Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon (1930-1940). Yogyakarta: Ombak.

Wawancara
Suryani, Ketua RW 09 Jagabayan (10 Oktober 2009).
Nursaid, Ketua RT 01 Jagabayan (10 Oktober 2009).
Lo Tjok Fong, Ketua RT 02 Jagabayan (10 Oktober 2009).
Ade, Juri Kunci Masjid Jagabayan (10 Oktober 2009).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Revolusi Sosial Cirebon 1946

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penulisan

Selagi negara baru Indonesia mencoba menyatakan kekuasannya, muncul tantangan dari berbagai kelompok yang berusaha menerapkan visi mereka sendiri mengenai apa itu Indonesia apa yang diwakili Indonesia. Rasa krisis, peningkatan gairah, euforia, dab harapan menyebabkan munculnya banyak sekali kelompok dengan aneka tujuan, semuanya berharap memanfaatkan semangat yang tak terkendali dan membawakan berbagai kemungkinan. Beberapa memang berniat mulia tapi menggunakan cara-cara kasar; yang lain hanya gerombolan begundal dan kriminal. Perseturuan antara peralihan peraturan dan politik kemerdekaan yang sangat ekspresif terwujud tidak hanya dalam kepahlawanan fanatik, gagah berani, tetapi juag di beberapa daerah terjadi apa yang dinamakn dengan “revolusi sosial”, salah satunya adalah revolusi sosial yang terjadi di Kota Cirebon pada tahun 1946 (Elson, 2008: 185:186).

Kurangnya tulisan yang membahas menganai revolusi sosial di Jawa Barat pada umumnya dan Kota Cirebon pada khususnya ini menimbulkan rasa ketertarikan saya mengkaji lebih dalam peristiwa tersebut ke dalam makalah ini. Dengan memperhatikan pertimbangan tersebut maka saya mengangkat makalah ini dengan judul Revolusi Sosial di Cirebon: Pemberontakan Mr. Yusuf 12 - 14 Februari 1949”.


1.2. Rumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini saya membuat beberapa rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan. Rumusan masalah dapat membatasi pembahasan agar tidak melebar. Adapun rumusan masalah yang kami tetapkan adalah bagaimana:

1. Later Belakang Terjadinya Pemberontakan Mr. Yusuf?

2. Jalannya pemberontakan yang dilakukan Mr. Yusuf?

3. Dampak Pemberontakan Mr. Yusuf terhadap kehidupan sosial masyarakat Kota Cirebon?

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menjawab rumusan masalah di atas, yakni dapat menjelaskan:

1. Later Belakang Terjadinya Pemberontakan Mr. Yusuf;

2. Jalannya pemberontakan yang dilakukan Mr. Yusuf;

3. Dampak Pemberontakan Mr. Yusuf terhadap kehidupan sosial masyarakat Kota Cirebon.

1.4. Metode Penulisan

Adapun penulisan makalah yang saya buat ini adalah dengan menggunakan metode analisis kritis. Penulisan dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber yang relevan, baik itu sumber tertulis maupun sumber lisan yang berupa wawancara terhadap tokoh yang terlibat dalam peristiwa ini. Pengkritikan terhadap kebenaran sumber tersebut baik kritik eksternal maupun kritik internal; Menginterpretasikan sumber-sumber yang didapat, dan menyusunya dalam sebuah historiografi.

1.5. Sistematika Penulisan

Untuk menguraikan isi dari makalah ini, saya membuat sistematika penulisan untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi makalah. Dimulai dengan kata pengantar kemudian dilanjutkan dengan Bab 1 Pendahuluan, Bab 2 Pembahasan, Bab 3 Kesimpulan, dan terakhir Daftar Pustaka.

Dalam Bab 1 Pendahuluan berisi latar belakang masalah yang menjadi pendorong dibuatnya makalah ini, rumusan masalah sebagai batasan kajian, tujuan penulisan makalah yang ingin dicapai dari penulisan, metode penulisan yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika penulisan.

Dalam bab dua berisi landasan teoritis mengenai revolusi dan revolusi sosial. Bab tiga berisikan pembahasan tentang later belakang terjadinya pemberontakan Mr. Yusuf, jalannya pemberontakan yang dilakukan Mr. Yusuf, dampak Pemberontakan Mr. Yusuf terhadap kehidupan sosial masyarakat Kota Cirebon. Dalam bab tiga ini berisi kesimpulan dari isi materi diakhrir dengan Daftar Pustaka.

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

Secara umum revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama (http://id.wiki.detik.com).

Sztompka (2005; http://blog.unila.ac.id) memberikan gambaran bahwa revolusi merupakan puncak dari perubahan sosial. Revolusi merupakan sebuah proses pembentukan ulang masyarakat sehingga menyerupai proses kelahiran kembali. Perubahan yang terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan yang luas dan menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat. Perubahan akibat revolusi bersifat radikal, fundamental dan menyentuh langsung pada inti dan fungsi dari struktur sosial. Proses perubahan tersebut hanya memerlukan waktu yang cepat, sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep evolusi pada perubahan sosial.

Revolusi mempunyai dua wajah yang saling bertolak belakang. Wajah pertama menggambarkan revolusi sebagai sebuah mitos, sedangkan wajah kedua memberikan gambaran revolusi sebagai sebuah konsep dan bahkan teori dalam ilmu sosiologi. Kedua wajah ini mempunyai kesaling terkaitan bahkan dialektika diantara keduanya menjadi suatu bentuk kewajaran

Terdapat empat aliran dalam teori revolusi, yaitu tindakan, psikologi, struktural dan politik. Aliran tindakan disampaikan oleh Sorokin yang menitikberatkan pengamatan pada peran tindakan individu dalam revolusi. Secara garis besar terdapat dua kondisi yang mendorong terjadinya revolusi, yaitu tekanan dari bawah dan kelemahan dari atas.

Aliran psikologi mengabaikan tindakan reflek atau naluriah dan beralih pada bidang orientasi sikap dan motivasi. Revolusi disebabakan sindrom mental yang menyakitkan yang terbesar di kalangan rakyat, diperburuk karena menjangkiti banyak orang sehingga memotivasi perjuangan kolektif untuk meredakannya.

Teori struktural memusatkan pada tingkat struktur makro dengan mengabaikan faktor psikologi. Revolusi adalah hasil hambatan dan ketegangan struktural dan terutama bentuk hubungan khusus tertentu antara rakyat dengan pemerintah. Revolusi dicari penyebabnya berdasarkan konflik antar kelas, antar kelompok.

Teori Politik melihat revolusi sebagai sifat fenomena politik yang muncul dari proses yang khusus terjadi di bidang politik. Revolusi dilihat sebagai akibat pergeseran keseimbangan kekuatan dan perjuangan perebutan hegemoni antar pesaing untuk mengendalikan negara.

Revolusi dianggapnya sebagai wujud dari perubahan sosial yang paling spektakuler, yang merupakan suatu pertanda perpecahan mendsar suatu proses histories, pembentukkan ulang masyarakat dari dalam, dan pembentukan ulang manusia. Revolusi tidak menyisakan apapun seperti keadaannya sebelumnya. Revolusi menutup epos lama dan membuka epos baru. Di saat terjadi suatu perubahan sosial besar, suatu revolusi, masyarakat mengelami puncak agenya. Bagi Sztompka pada saat itulah terjadi meledaknya potensi transormasi dirinya sendiri.

Secara ringkas Sztompka juga memberikan kerangka definisi tentang revolusi yang dikerucutkan dari beberapa ahli seperti C. Johnson (1968), Gurr (1970), Giddens (1989) yang pada akhirnya menemukan tiga komponen utama yang mendasar dari revolusi yaitu:

1. Revolusi mengacu pada perubahan fundamental, menyeluruh dan multidimensional, menyentuh inti tatanan sosial.

2. Revolusi melibatkan massa rakyat yang besar jumlahnya yang dimobilisasi dan bertindak dalam satu gerakan revolusioner. Seperti yang terjadi di Jepang dengan restorasi Maiji, revolusi Attaturk di Turki, Reformasi Nasser di Mesir, Perestorikanya Gorbachev).

3. Revolusi memerlukan keterlibatan kekerasan dan penggunaan kekerasan. Walaupun ada proses revolusi di India oleh Ghandi atau gerakan sosial di Eropa Timur dan Tengah yang memaksa kematian komunisme. Seperti juga revolusi damai Solidaritas di Polandia dan revolusi Beludru di Ceko.

Proses selanjutnya dari revolusi adalah suatu tatanan masyarakat yang seperti dihidupkan kembali, harapannya adalah dengan revolusi terjadi suatu perubahan yang lebih baik, dan masyarakat menemukan kesejahteraannya. Menurut Sztompka revolusi merupakan suatu proses perubahan sosial yang paling tinggi dan menimbulkan dampak yang luar biasa jika dibandingkan dengan proses perubahan sosial yang lainnya, yaitu:

1. Menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat, seperti: ekonomi, budaya, politik, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari masyarakat, dan perubahan kepribadian manusianya. perubahan yang terjadi dan dihadilkan adalah perubahan yang menyentuh inti dari bangunan dan fungsi sosial masyarakatnya.Jika proses kesejarahan dianggap sebagai suatu proses yang relative lambat, maka proses revolusi merupakan suatu proses perubahan yang terjadi sangat cepat, tiba-tiba, seperti ledakan bom atom.

Dalam seni pertunjukkan proses perubahan yang terjadi dalam bingkai revolusi merupakan suatu pertunjukkan perubahan yang paling menonjol, waktunya luar biasa cepat, dan karena itu sangat mudah diingat.

2. Revolusi dapat membangkitkan emosional khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa, antusiasme, kegemparan, kegirangan, kegembiraan, optimisme dan harapan, perasaan hebat dan perkasa, keriangan dan aktivisme dan menggapai kembali makna kehidupan, melambungkan aspirasi dan pandangan utopia ke masa depan. Revolusi terjadi secara tidak merata di sepanjang sejarah. Kebanyakan terjadi dalam periode modern. Revolusi Besar seperti di Inggris pada tahun 1640, revolusi perancis pada tahun 1789 yang melahirkan epos modern, revolusi komunis di Rusia pada tahun 1917 dan di Cina pada tahun 1949, dan revolusi yang anti komunis di Eropa Timur, dan Tengah pada tahun 1989 revolusi ini mengakhiri periode komunis.

Sztompka (2005; http://blog.unila.ac.id) menjelaskan revolusi sosial kedalam lima hal yaitu; (1) menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat, (2) dalam semua bidang tersebut perubahannya radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan fungsi sosial, (3) perubahan yang terjadi sangat cepat, tiba-tiba, (4) membangkitkan emosional khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa, antusiasme, kegirangan, kegembiraan, optimisme, dan harapan.

Berbagai konsep revolusi yang telah disampaikan di depan mempunyai sebuah gagasan yang sama yaitu sebagai bentuk perubahan sosial yang dahsyat dan bersifat fundamental dalam merubah tatanan masyarakat dalam waktu yang relatif cepat. Terdapat faktor pencetus yang menyebabkan revolusi dapat berjalan dalam suatu masyarakat. Berbagai teori menyampaikan pendapatnya tentang faktor penyebab ini, namun kesemuanya dapat disimpulkan sebagai sebuah hasil dari ketidakadilan dalam masyarakat. Kondisi ketidakadilan atau penyimpangan inilah yang melahirkan semangat revolusi.

Akibat dari revolusi secara garis besar dapat dilihat dari tumbangnya penguasa lama dan digantikannya oleh tatanan penguasa baru. Selain merubah tatanan kepemimpinan, revolusi mampu merubah segala aspek kehidupan masyarakat

BAB 3

REVOLUSI SOSIAL DI CIREBON:

PEMBERONTAKAN MR. YUSUF 12 - 14 FEBRUARI 1949


3.1. Later Belakang Terjadinya Pemberontakan Mr. Yusuf

Secara umum Elson (2008: 186) menggambar secara umum mengenai latar belakang terjadinya pemberontakan Mr. Yusuf seperti yang disebutkan dalam penggalan kalimat berikut ini:

“Gerakan-gerakan seperti itu berusaha menghancurkan masa lalu yang kolot, serbateratur, aristokratik, dan menindas berikut segala perangkatnya, mempermalukan dan menghina para pemegang kekuasaan, serta menggantikan masa lalu itu dengan masa depan yang berani, romantik, dan egaliter”.

Ricklefs (2008: 457) juga menyebutkan secara umum sebab-sebab trjandinya revolusi sosial “.... kebanyakan revolusi sosial diakibatkan oleh persaingan antara elit-elit alternatif, kelompok-kelompok kesukuan dan kemasyarakatan atau antargenerasi; struktur-struktur kelas sosial kurang penting”.

Menurut Tan Malak (Fahsin, 2005: 118), revolusi ini rerjadi akibat dari tidak harmonisnya pertentangan kelas. Tajamnya pertentangan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya ekonomi, politik, sosial, dan psikologi. Namun, lebih lanjut mengenai latar belakang terjadinya revolusi sosial di Kota Cirebon ini, Bapak Kusnan Kusumaatmadja (salah seorang tokoh yang terlibat dalam usaha penumpasan pemberontakan Mr. Yusuf) mengatakan bahwa revolusi ini dilatar belakangi oleh keinginan pihak PKI untuk merobohkan kekuasaan pemerintah RI di Kota Cirebon. Hal ini dilakukan PKI dengan alasan bahwa pemerintah yang ada pada saat itu adalah pemerintahan yang dibentuk oleh Belanda.

3.2. Jalannya Pemberontakan

Dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa (1979) dijelaskan bahwa pada bulan Februari 1946 PKI berniat mengadakan suatu konferensi di Gedung Bioskop “Rex” Cirebon. Menjelang konferensi itu, Laskar Merahnya yang pada waktu itu dipersenjatainya lebih lengkap daripada TRI setempat, mulai merajalela di Kota Cirebon. Cara mereka saling menghormati atau memberi salam itu ialah dengan mengangkat tangan kiri dikepalkan serta menyerukan “Hidup Soviet”. Jauh berbeda dengan salam Nasional kita yang lazim pada waktu itu ialah dengan mengangkat tangan kanan dikepalkan sambil menyerukan “Merdeka!”.

Tindakan mereka semakin memuncak lagi ketika rombongan PKI dan Laskar Merah di bawah pimpinan Mr. Yusuf yang diangkut dengan kereta api dari arah Surabaya sebanyak formasi 10 gerbong, tiba di stasiun Kejaksan Cirebon. Dengan dalih bahwa Polisi Tentara dan TRI Kereta Api hendak melucuti senjata mereka, yang terdiri atas senjata-senjata ringan termasuk senapan-senapan mesin, mereka melucuti senjata-senjata para petugas di stasiun tersebut. Komandan Polisi Tentara yang mendengar tentang peristiwa itu, segera mengutus seorang perwiranya Letnan II D. Sudarsono ke markas laskar Merah yang berkedudukan di depan Balaikota (sekarang) untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Ternyata mereka memperlakukan perwira Polisi Tentara itu dengan tidak sepantasnya, sehigga Letnan Sudarsosno kemudian menuju stasiun. Di tikungan menjelang stasiun, Polisi Tentara itu tiba-tiba dilucuti senjatanya setelah diperintahkan untuk turun dari kendaraannya oleh segerombolan orang-orang bersenjata di bawah pimpinan Mr. Yusuf.

Di stasiun ia mendapatkan penjelasan dari petugas Polisi Tentara- Sersan Wasji selaku Komandan Regu, Sersan Kusnan dan Kopral Ihsan- bahwa mereka dituduh hendak melucuti senjata-senjata Laskar Merah. Petugas Polisi Tentara di stasiun tersebut akhirnya dibawa dengan paksa ke Markas Batalyon Polisi Tentara untuk dilucuti persenjataanya dan menawan anggota Polisi Tentara tersebut.

Di pihak lain terpetik kabar, bahwa Laskar Merah di bawah pimpinan Mr. Yusuf akan melancarkan serangannya terhadap kedudukan TRI di Cirebon dan akan mengambil alih kekuasan pemerintahan dalam kota, serangan tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 13 Februari 1946 dini hari. Dan kegiatan persiapannya memang telah nampak sekali (Dinas Sejarah TNI-AD, 1985: 68).

Resimen TRI Cirebon dibawah pimpinan Muffreini tidak tinggal diam melihat perkembangan-perkembangan yang berlangsung itu. Pada tanggal 12 Februari 1946 TRI mengerahkan segenap senjata yang ada untuk mengepung markas PKI/Laskar Merah di Hotel Lebrinck. Setelah terjadinya pertempuran, pihak Resimen TRI terpaksa mengundurkan diri mengingat keadaan kekuatan senjata yang tidak berimbang.

Akan tetapi Resimen Cirebon (TRI) ini tidak patah semangat. Semua kekuatan senjata yang ada di wilayahnya dikonsolidasikan. Bantuan-bantuanpun datang dari Tegal, Pekalongan, bahkan dari Militer Akademi Tanggerang. Setelah segala sesuatunya siap, maka dilakukan serangan yang kedua pada tanggal 14 Februari 1946.

Sasaran utamanya adalah Hotel Leebrinck. Pertempuran juga terjadi pula di Kejaksan dan di dua tempat di Cangkol. Akhirnya Markas PKI/Laskar Merah menaikan bendera putih, menyerah. Mr. Yusuf berhasil ditangkap hidup-hidup, dan diadili di Pengadilan Tentara dibawah pimpinan Mayor Rivai dengan hukuman empat tahun lamanya.

3.3. Dampak Pemberontakan Mr. Yusuf terhadap kehidupan sosial masyarakat Kota Cirebon

Dampak yang ditimbulkan dari adanya pemberontakan Mr. Yusuf bagi masyarakat Kota Cirebon sendiri adalah terjadinya integrasi dan konsolidasi antara masyarakat dengan Polisi Tentara TRI. Hal ini dikarenakan masyarakat sadar, bahwa mereka memiliki “musuh bersama” yang dalam konteks ini adalah tindakan yang dilakukan Mr. Yusuf dan Laskar Merah sangat merugikan bagi masyarakat. DISJAM DAM IV/Siliwangi (1979: 66) menggambar secara jelas perilaku Mr. Yusuf dan Laskar Merah seperti petikat kalimat berikut:

“Tingkah laku serta tata krama yang mereka demonstrasikan ketika itu, tidaklah sesuai dengan tata-kesopanan yang biasanya dilakukan oleh bangsa Indonesia. Mereka seolah-olah ingin menunjukkan bahwa merekalah yang paling besar sahamnya dalam Revolusi Indonesia. Lihat saja persenjataan mereka!”.

Selain itu berdasarkan tulisan DISJAM DAM IV/Siliwangi (1979: 66) dapat disebutkan beberapa contoh dari ketidaksopanan mereka, seperti:

1. Bila mereka merasa lapar, maka didatangilah warung-warung yang banyak tersebar di Kota Cirebon. Dengan angkuhnya mereka memesan makanan yang mereka kehendaki untuk kemudian memakannya dengan penuh lahap. Setelah perutnya kenyang, mereka kemudian berdiri sambil tulak pinggang serta tidak langsung memperlihatkan atau menunjukkan senjata yang mereka miliki. Bila mereka ditanya mengenai pembayarannya, maka dengan penuh keangkuhan dan mata melotot, mereka menjawab: “Buat apa bayar kalau membawa senjata....”

2. Di samping “kegagahan” mereka demonstrasikan terhadap warung-warung nasi, merekapun seenaknya melakukan perbuatan-perbuatan yang amoral terhadap Wanita Tuna Susila yang memang tidak sedikit jumlahnya di Cirebon ketika itu. Di sinipun mereka menggadakan “machtsvertoon” dengan menggunakan kekerasan senjata seperti halnya yang mereka lakukan terhadap warung-warung.

3. Guna memenuhi kebutuhan rokok mereka, maka mereka dengan seenaknya saja mendatangi Pabri Rokok B.A.T. untuk kemudian secara paksa meminta rokok yang mereka perlukan.

BAB 4

PENUTUP


4.1. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberontakan Mr. Yusuf di Kota Cirebon 12-14 Februari 1946 dikarenakan pihak PKI untuk merobohkan kekuasaan pemerintah RI di Kota Cirebon. Pemberontakan ini berlangsung dari tanggal 12 – 14 Februari 1946 dan dapat ditumpas dengan usaha para TRI yang dibantu dengan masyarakat Kota Cirebon sendiri, Mr. Yusuf sendiri akhirnya diadili di Pengadilan Militer Kota Cirebon dan mendapatkan hukuman selama empat tahun. Dampak sosial yang diakibatkan dari pemberontan ini adalah terjadinya konsolidasi, baik itu sesama TRI Kota Cirebon, antar TRI di Jawa Barat, maupun masyarakat Kota Cirebon dengan TRI sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Sejarah TNI-AD. (1985). Komunisme dan Kegiatannya di Indonesia. Kota dan Penerbit tidak tercantum.

DISJAM DAM IV/Siliwangi. (1979). Siliwangi dari Masa ke Masa (Edisi kedua). Bandung: Angkasa.

Elson, Robert Edward. (2008). The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: PT. Serambi Ilme Semesta.

Fahsin, M. Fa’al. (2005). Negara dan Revolusi Sosial: Pokok-pokok Pikiran Tan Malaka. Yogyakarta: Resist Book.

Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008. . Jakarta: PT. Serambi Ilme Semesta.

SUMBER INTERNET

Erwansyah. (2009). Teori Revolusi [Online]. Tersedia: http://blog.unila.ac.id/rone/tag/revolusi/. [23 Oktober 2009].

_____. (2009). Uraian Materi Kegagalan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia [Online]. Tersedia: http://fnonk.wordpress.com/2009/01/09/uraian-materi-kegagalan-pemberontakan-partai-komunis-indonesia/. [23 Oktober 2009].

_____. (___). Monumen Pancasila Sakti [Online]. Tersedia: http://www.sejarahtni.mil.id/index.php?cid=1827&page=15. [19 Oktober 2009].

_____. (___). Revolusi [Online]. Tersedia: http://id.wiki.detik.com/wiki/Revolusi. [23 Oktober 2009].

WAWANCARA

Kusnan Kusumaatmaja, Ketua Dewan LPRI Kota Cirebon (10 Oktober 2009).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

problem pembelajaran sejarah lokal

PROPORSI SEJARAH LOKAL:

TANTANGAN DAN PELUANG PEMBELAJARAN SEJARAH

LOKAL DI SEKOLAH

LATAR BELAKANG

Belajar sejarah pada dasanya adalah belajar tentang kehidupan masyarakat. Berbagai aspek kehidupan dapat dipelajari dalam sejarah. Pembelajaran sejarah di sekolah sebaiknya lebih mudah dipahami siswa. Dalam pembelajaran sejarah hendaknya siswa dapat melihat langsung kehidupan yang nyata. Sejarah lokal dalam konteks pembelajaran di sekolah tidak hanya sebatas sejarah yang dibatasi oleh lingkup ruang yang bersifat administratif belaka, seperti sejarah provinsi, sejarah kabupaten, sejarah kecamatan, dan sejarah desa. Bertolak dari sejarah lokal inilah siswa dapat menyadari akan kekayaan tema kehidupan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat sekitarnya, sehingga siswa akan lebih bisa memahami dan memaknai peristiwa sejarah. Dengan dilatar belakangi hal tersebut, maka akhirnya kami mengangkat suatu judul “PROPORSI SEJARAH LOKAL: TANTANGAN DAN PELUANG PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL DI SEKOLAH”.

URGENSI SEJARAH LOKAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH

Walaupun sebagian dari kalangan awam baik itu orang tua murid maupun siswa di sekolah mempertanyakan tentang adanya kegunaan pelajaran sejarah yang secara umum mereka ketahui hanyalah sebuah “cerita atau dongeng tentang masa lalu”, padahal secara kenyataannya bukan seperti itu, para ahli telah menyatakan bahwa sejarah itu memiliki kegunaan. Secara garis besar setidaknya terdapat tiga kegunaan sejarah, yaitu: guna edukatif, guna inspiratif, dan guna rekreatif dan instruktif.

Sejarah memiliki guna edukatif karena sejarah dapat memberikan kearifan bagi yang mempelajarinya, yang secara singkat dirumuskan oleh Bacon: “histories make man wise”. Sejarah yang memberikan perhatian pada masa lampau tidak dapat dipisahkan dari kemasakinian, karena semangat dan tujuan untuk mempelajari sejarah ialah nilai kemasakiniannya. Hal ini tersirat dari kata-kata Croce bahwa “all history is contemporary history”, yang kemudian dikembangkan oleh Carr bahwa sejarah adalah “unending dialogue between the present and the past” (Widja, 1988: 49-50). Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila kita dapat memproyeksikan masa lampau ke masa kini, maka kita dapat menemukan makna edukattif dalam sejarah.

Sejarah memiliki guna inspiratif karena sejarah dapat memberikan inspirasi kepada kita tentang gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang dapat digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan masa kini, khususnya yang berkaitan dengan semangat untuk mewujudkan identitas sebagai suatu bangsa dan pembangunan bangsa.

Sejarah memiliki guna rekreatif karena dengan membaca tulisan sejarah kita seakan-akan melakukan “perlawatan sejarah” karena menerobos batas waktu dan tempat menuju zaman masa lampau untuk “mengikuti” peristiwa yang terjadi. Sementara itu guna instruktif merupakan kegunaan sejarah untuk menunjang bidang-bidang ketrampilan tertentu (Notosusanto, 1979: 2-3).

Dalam hubungannya dengan guna edukatif dan inspiratif dari sejarah, dapat dikemukakan bahwa sejarah memiliki kaitan yang sangat erat dengan pendidikan pada umumnya dan pendidikan karakter bangsa pada khususnya. Melalui sejarah dapat dilakukan pewarisan nilai-nilai dari generasi terdahulu ke generasi masa kini. Dari pewarisan nilai-nilai itulah akan menumbuhkan kesadaran sejarah, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan watak bangsa (nation character building).

Pewarisan nilai-nilai dari generasi ke generasi ini dapat dilakukan dengan penggalian dan penyampaian sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah disekolah, adapun pengertiannya sebagai berikut;

“Sejarah lokal dalam konteks pembelajaran di sekolah tidak hanya sebatas sejarah yang dibatasi oleh keruangan yang bersifat administratif belaka, seperti sejarah propinsi, sejara kabupaten, sejarah kecamatan dan sejarah desa” (Agus Mulyana dan Restu Gunawan, 2007: 2). Lokal disini juga lebih dijelaskan lagi oleh Taufik Abdullah (2005: 15) bahwa:

“Pengertian kata lokal tidak berbelit-belit, hanyalah ‘tempat, ruang’. Jadi ‘sejarah lokal’ hanyalahh berarti sejarah dari suatu ‘tempat’, suatu ‘locality’, yang batasannya ditentukan oleh ‘perjanjian’ yang diajukan penulis sejarah”. Batasan geografisnya dapat suatu tempat tinggal suku bangsa, yang kini mungkin telah mencangkup dua-tiga daerah administratif tingkat dua atau tingkat satu (suku bangsa Jawa, umpamanya) dan dapat pula suatu kota, atau malahan suatu desa”.

Atas dasar nilai guna yang dimilikinya, tidak mengherankan apabila sejarah perlu diberikan kepada seluruh siswa di sekolah (dari SD sampai SMA) dalam bentuk mata pelajaran. Kedudukannya yang penting dan strategis dalam pembangunan watak bangsa merupakan fungsi yang tidak bisa digantikan oleh mata pelajaran lainnya. Namun demikian, tujuan pembelajaran sejarah itu tidak sepenuhnya dapat tercapai yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain berkaitan dengan proses pembelajarannya. Oleh karena itu, sepanjang seluruh eksponen dan komponen bangsa masih menginginkan eksistensi sebuah bangsa dan negaranya, upaya-upaya peningkatan kualitas pembelajaran sejarah sampai kapan pun masih menemukan signifikansinya. Dalam hal ini guru menduduki posisi yang penting dan strategis dalam peningkatan kualitas pembelajaran sejarah. Sehubungan dengan hal itu, guru harus selalu meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah, dengan memperhatikan empat pilar pembelajaran sebagaimana telah dideklarasikan oleh Unesco (1988), yaitu: 1) learning to know (pembelajaran untuk tahu), learning to do (pembelajaran untuk berbuat), 3) learning to be (pembelajaran untuk membangun jati diri, dan 4) learning to live together (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis) (Setiadi, 2007: 2).

Selain itu, dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 40 Ayat 1 butir disebutkan bahwa “pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh ‘kesempatan menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas”. Pasal ini memberikan peluang bagi guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan dukungan sarana, prasarana, dan fasilitas yang memadai. Pasal ini dipertegas oleh kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan yang tertuang dalam pasal 40 Ayat 2 butir a yang menyatakan bahwa pendidik berkewajiban “menciptakan suasana yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis”, sehingga interaksi belajar yang monolog dan komunikasi satu arah tidak lagi menjadi satu-satunya model pembelajaran. Pendekatan pembelajaran yang bersifat indoktrinatif dapat menghalangi aktivitas dan kreativitas siswa, sehingga menjadikannya pribadi yang pasif (Setiadi, dkk., 2007; 3).

Berdasarkan uraian di atas, maka guru dituntut untuk selalu mengembangkan diri agar meningkatkan kualitas pembelajaran sejarah kepada siswa, sehingga tujuan pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah dapat tercapai.

PENGERTIAN SUMBERDAYA SEJARAH LOKAL DALAM PEMANFAATAN BUDAYA LOKAL

Sebelum membicarakan tentang pemanfaatan sumber daya sejarah lokal untuk peningkatan kualitas pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah, kita perlu mendefinisikan istilah “sumberdaya sejarah (lokal) terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar kita memiliki pemahaman yang sama tentang istilah tersebut yang bermanfaat untuk dijadikan landasan dalam pembahasan lebih lanjut.

Istilah “sumberdaya” mengacu kepada sesuatu yang memiliki potensi dan dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan sesuatu yang memiliki potensi itu biasanya digunakan untuk pencapaian tujuan tertentu yang dapat diukur dari segi “produktivitas”. Apabila di belakang istilah itu ditambahkan dengan kata “lokal” (menjadi “sumberdaya lokal”), maka istilah itu memiliki arti bahwa sesuatu yang digunakan atau dimanfaatkan itu adalah hal-hal yang bersifat budaya [lokal] (Sedyawati, 2006: 169). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah budaya dan budaya lokal itu?

Budaya (sering juga disebut kebudayaan) adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1984: 9; dan 1986: 180). J.J. Honigmann dalam The World of Man (1959) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities, dan artifacts. Sejalan dengan hal tersebut Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan dapat digolongkan dalam tiga wujud. Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. Wujud pertama merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak (tidak dapat diraba, dipegang, atau difoto), berada di alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kebudayaan ideal ini disebut pula tata kelakukan yang berfungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan, dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini dengan cultural system (sistem budaya) yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah adat atau adat istiadat (dalam bentuk jamak). Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan tersebut dinamakan sistem sosial (social system). Wujud kebudayaan ini dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasi karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi satu dengan yang lain. Sistem sosial merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret dalam bentuk perilaku dan bahasa. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia; bersifat paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat dilihat, diraba, dan difoto. Wujud kebudayaan yang ketiga ini disebut kebudayaan fisik (material culture).

Ketiga wujud kebudayaan dalam realitas kehidupan masyarakat tentu tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Ide-ide dan tindakan menghasilkan benda-benda yang merupakan kebudayaan fisik. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk lingkungan hidup tertentu yang dapat mempengaruhi tindakan dan cara berpikir masyarakat (Koentjaraningrat, 1984: 5-6; dan 1986: 186-188).

Sementara itu, budaya lokal merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/ subetnik atau budaya daerah.

Sumber daya budaya mencakup tiga wujud kebudayaan tersebut. Dengan kata lain sumberdaya budaya tidak hanya yang bersifat kebendaan saja, dan juga tidak hanya yang berasal dari masa lampau. Dalam arti yang luas, sumberdaya budaya meliputi hasil-hasil budaya baik yang kebendaan dan dapat disentuh (tangible) (benda cagar budaya) maupun yang nonbenda (intangible) seperti konsep-konsep dan ekspresi-ekspresi budaya melalui suaradan atau gerak yang berlalu dalam waktu (Sedyawati, 2006: 94).

PEMANFAATAN SUMBERDAYA LOKAL UNTUK PEMBELAJARAN SEJARAH DAN IPS

Ada satu pertanyaan penting mengapa sumberdaya lokal perlu dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah dan IPS-Sejarah? Jawabannya adalah karena pemanfaatan khasanah sumberdaya lokal dalam pembelajaran di sekolah dapat berfungsi sebagai titik tolak untuk upaya pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadaran budaya. Pada dasarnya kesadaran sejarah mempersyaratkan beberapa hal. Pertama, pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah yang mewujudkan bangsa Indonesia, kemudian membawa bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Kedua, pengetahuan tentang upaya-upaya kekuatan-kekuatan dari luar Indonesia untuk menguasai kekuasaan di Indonesia dengan usaha-usaha dominasi ekonomi dan militer. Ketiga, pemihakan yang kuat untuk martabat dan kewibawaan bangsa dan negara Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain, setelah menyimak sejarah bangsa.

Sementara itu, kesadaran budaya ditandai oleh empat hal. Pertama, pengetahuan tentang adanya berbagai kebudayaan yang masing-masing mempunyai jati diri dan keunggulan-keunggulannya. Kedua, sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri. Ketiga, pengetahuan tentang adanya riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam. Keempat, pengertian bahwa di samping merawat dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia yang bersatu juga sedang memperkembangkan sebuah kebudayaan baru, kebudayaan nasional (Sedyawati, 2006: 330-331).

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa sumberdaya budaya (lokal) merupakan sarana untuk pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadarajn budaya.

PROPORSI SEJARAH LOKAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH DI SEKOLAH

Pembelajaran sejarah lokal di setiap sekolah memiliki proporsi yang berbeda, tetapi esensinya sama. Mengenalkan anak didik dengan sejarah yang ada di sekitarnya. Menurut salah satu guru sejarah yang kami wawancarai tentang proporsi pembelajaran sejarah lokal di sekolahnya, bisa dikatakan dalam tiga pertemuan, beliau menggunakan satu pertemuan untuk menyisipkan sejarah lokal dalam pelajarannya. Walaupun memang, pembelajaran sejarah lokal lebih mengasyikan bila metode pembelajarannya tepat. Tidak seperti sejarah nasional yang hanya dengan diskusi dan ceramah saja sudah cukup sebagai metode yang digunakan guru. Berdasarkan narasumbertesebut jika, proporsi sejarah lokal dengan sejarah nasional dapat dikatakan 70 : 30. Maksudnya, 70% adalah materi sejarah nasional, sedangkan 30% adalah materi sejarah lokal. Hal ini dilakukan agar, siswa dapat memahami dan mengerti akan kekayaan sejarah lokal yang ada di daerahnya tanpa melupakan sejarah nasional sebagai pijakan akan materi pembahasan dalam kurikulum.

SEPERTI APA ANTUSIASME SISWA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL?

Berdasarkan sharing salah satu siswa MTs N Tegal tentang pembelajaran sejarah di sekolahnya (di kelasnya), sejarah ditanggapi dengan berbagai sikap. Khusus dengan siswa ini, berbeda. Ia sedikit respek ke pelajaran yang mengutamakan penghapalan. Satu contoh waktu kami berbincang tentang materi pembelajaran sejarah lokal di kelasnya, berbeda dengan teman-temannya yang lain yang sibuk dengan dirinya sendiri dan tak fokus. Beberapa kali guru juga mengingatkan siswa-siswinya untuk diam dan fokus. Saat pelajaran sejarah lokal, hanya sedikit siswa yang masih mau mendengarkan cerita dari sang guru, salah satunya siswa yang saya wawancarai. “Sebenarnya banyak siswa yang suka dengan sejarah, cuman gurunya saja yang kadang kurang bisa menyampaikannya dengan menarik,” katanya. Dalam pembelajaran sejarah lokal di kelasnya, awalnya mereka antusias, apalagi objek cerita ada di sekitar mereka. Tapi berhubung guru tak memiliki metode yang praktis dan menarik, siswa bukan hanya acuh, tapi juga ingin cepat-cepat pelajaran itu selesai. Contoh saat menceritakan tentang sejarah Tegal. Bagaimana sosok pendiri Kota Tegal yang masih kerabat dengan raja Demak abad ke-16 datang ke sebuah pesisir yang tak berpenghuni. Hingga ia mendirikan sebuah dusun dan padepokan untuk menyebarkan syiar Islam. Cerita ini sebenarnya menarik, apalagi dengan dikaitkannya dengan Kerajaan Mataram Islam, yang ada kaitannya dengan pendiri Kota Tegal tersebut. Dengan menghubungkan cerita tersebut dengan salah satu tayangan televisi dulu tentang ‘Misteri Gunung Merapi’ yang mengambil latar sejarah Islam, khususnya kerajaan Mataram Islam.

Namun, tak sedikit juga yang memiliki tingkat keingintahuan yang bagus, dengan bekal cerita dari gurunya, ia (siswa yang kami wawancarai) dan beberapa temannya menvari sumber-sumber tulisan yang berkaitan dengan itu. Meskipun tidak ada tugas dari guru untuk mencari referensi lain tentang sejarah lokal tersebut. Hingga mereka berkunjung ke makam ‘Mbah Panggung’ atau Raden Sayyid Abdurrahman sebagai pendiri Tegal, dan makam Sultan Trenggono (salah satu pejabat Kerajaan Mataram) untuk mewawancarai petugas penjaga makamnya tentang sejarah tokoh-tokoh tersebut.

KENDALA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL

Ada banyak sekali kendala dalam pembelajaran Sejarah Lokal, baik itu yang berkenaan dengan konseptual maupun praktis. Secara konseptual salah satu kendalanya adalah seperti yang diutarakan oleh Said Hamid Hasan (2007: 189-190) pada jenjang pendidikan menengah terutama untuk sekolah umum (SMA) yang mempersiapkan peserta didik untuk meniti pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi, maka kemampuan pemahaman maupun skills yang diperlukan dalam disiplin sejarah sudah selayaknya diperkenalkan. Selain itu tujuan pembelajaran sejarah berikutnya yaitu seperti apa yang dikemukakan oleh NCHS yaitu historical thinking, historical analysis and interpretation, dan historical research capabilities dapat dikembangkan sebagai fokus utama. Selain itu juga dalam konteks yang diusulkan Departemen Pendidikan New York maka tujuannya adalah:

1. The skill of historical analysis include the ability to: explain the significance of historical evidence; eigh the importance, reliability, and validity of evidence; understand the concept of multiple causation; understand the importance of changing and competing interpretations of different historical developments.

2. Establishing time frames, exploring different periodizations, examining themes across time and within cultures, and focusing on important turning points inworld history help organize the study of world cultures an civilizations.

Kemampuan seperti diatas, menerut Hamid Hasan (2007: 190) tidak mendapatkan perhatian dalam KURIKULUM SEJARAH SMA dan MA 2004. Pemahaman terhadap peristiwa sejarah memang menonjol tetapi skills dalam sejarah serta pengembangan wawasan belum mendapatkan tempat yang seharusnya.

Permasalahan besar yang dihadapi dalam pengembangan sejarah lokal adalah ketersediaan sumber. Tulisan-tulisan mengenai berbagai peristiwa sejarah lokal belum banyak tersedia. Hal ini menjadi kedala dalam pembelajaran sejarah lokal.

Selain itu, berdasarkan wawancara dengan salah satu guru sejarah di kota Cirebon, kendala dalam pembelajaran sejarah lokal adalah waktu dan biaya. Maksudnya, dikarenakan sumbernya yang minim, dibutuhkan waktu dan biaya yang cukup menyita perhatian para guru sejarah. Hal inilah yang menyebabkan kurang antusiasmenya guru sejarah untuk menggali potensi sejarah lokal di daerahnya.

KESIMPULAN

Pemanfaatan khasanah sumberdaya budaya lokal dalam pembelajaran di sekolah dapat berfungsi sebagai titik tolak untuk upaya pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadaran budaya. Pada dasarnya kesadaran sejarah mempersyaratkan beberapa hal. Pertama, pengetahuan tentang fakta-fakta sejarah yang mewujudkan bangsa Indonesia, kemudian membawa bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Kedua, pengetahuan tentang upaya-upaya kekuatan-kekuatan dari luar Indonesia untuk menguasai kekuasaan di Indonesia dengan usaha-usaha dominasi ekonomi dan militer. Ketiga, pemihakan yang kuat untuk martabat dan kewibawaan bangsa dan negara Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain, setelah menyimak sejarah bangsa.

Sementara itu, kesadaran budaya ditandai oleh empat hal. Pertama, pengetahuan tentang adanya berbagai kebudayaan yang masing-masing mempunyai jati diri dan keunggulan-keunggulannya. Kedua, sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri. Ketiga, pengetahuan tentang adanya riwayat perkembangan budaya di berbagai tahap masa silam. Keempat, pengertian bahwa di samping merawat dan mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, kita sebagai bangsa Indonesia yang bersatu juga sedang memperkembangkan sebuah kebudayaan baru, kebudayaan nasional (Sedyawati, 2006: 330-331).

Selain Sejarah lokal merupakan sarana untuk pembentukan jati diri bangsa melalui kesadaran sejarah dan kesadaran budaya, juga sebagai pendekatan seorang guru atau pengajar untuk mengenalkan kepada anak didik tentang kearifan-kearifan lokal yang ada di sekitar mereka. Pembelajaran seperti ini akan menjadikan anak didik paham dengan sejarah diri atau lingkungannya, yang bisa menjadikan anak didik menjadi peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Dan sebagai alternatif para guru untuk menanamkan rasa memiliki terhadap sejarah sendiri, agar tidak diganggu oleh negri lain. Jika pembelajaran lokal tidak diajarkan pada generasi bangsa, dikhawatirkan sejarah-sejarah lokal yang seharusnya turun temurun dipahami generasi bangsa, sedikit demi sedikit hilang dari pengetahuan masyarakat.

Dengan demikian, sejarah lokal tidak bisa disepelekan dalam pendidikan sejarah Indonesia. Harapan kami, pembelajaran sejarah lokal di sekolah-sekolah Indonesia harus diberikan ruang, agar sejarah lokal tidak hilang sampai kapanpun dari pengetahuan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Said Hamid. (2007). Kurikulum Sejarah dan Pendidikan Sejarah Lokal dalam Sejarah Lokal; Penulisan dan Pembelajaran Sejarah. Bandung: Salamina Press.

Kartodirdjo, Sartono. (1994). Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kartodirdjo, Sartono. (1994). Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.

Koentjaraningrat, (1984). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, (1986). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Notosusanto, Nugroho. (1979). Sejarah Demi Masa Kini. Jakarta: UI press.

Sedyawati, Edi. (2006). Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Press.

Sedyawati, Edi. (2006). “Tentang Sumberdaya Budaya”, Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, Volume 1, Nomor 2, Desember 2006. Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.

Sedyawati, Edi. (2007). Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sedyawati, Edi. (2008). Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 2 Dialog Budaya Nasional dan Etnik, Peranan Industri Budaya dan Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Setiadi, Elly M., Kama A. Hakam, dan Ridwan Effendi. (2007). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sevilla, Consuelo, et al.(1993). Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press.

Smiers, Joost.( 2009). Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress.

Widja, G. (1988). Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.

Wawancara

Hadikarta S. Pd, Guru Sejarah SMAN 3 Cirebon. (23 Desember 2009).

Rochjati S. Pd. Guru Sejarah SMAN 3 Cirebon (23 Desember 2009).

M. Meiska Raihan, Siswa MTs N Tegal. (2 Januari 2010).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS