RSS

REORGANISASI DAN RASIONALISASI TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT (TNI-AL) 1948-1950:

Dari Pembentukan Komisi Reorganisasi (KRAL) hingga Terbentuknya Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL)

1. Latar Belakang Masalah Penelitian

Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia yang diwakili oleh Soekarno dan Hatta menyatakan kemerdekaannya dari tangan penjajah. Namun sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia tidak mempunyai tentara yang resmi. Padahal keberadaan tentara ini sangat penting bagi negara terutama bagi Indonesia yang pada saat itu baru lahir dan dalam kondisi perpolitikan yang masih relatif labil. Organisasi kemiliteran memang sudah ada pada saat itu, namun baru sebatas Laskar. Menurut Sundhaussen (1988: 16) hal tersebut dinilai kurang efektif.

Laskar tersebut tidak punya senjata, tidak terlatih, tidak berdisiplin, dan tidak memiliki pemimpin yang berpengalaman. Selain itu, mereka sering bersilisih paham dengan pemerintah Soekarno dan tidak mau menerima parintah dari pemimpin nasional yang tidak bersikap tegas dalam menentang pendaratan pasukan-pasukan Sekutu dan Belanda. Pasukan Laskar tersebut juga sering terlibat dalam bentrokan kekerasan satu sama lain karena persoalan ideologi dalam usaha mereka untuk memiliki senjata.

Akhirnya pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia membentuk tiga badan yaitu Komite Nasional Indonesia, Partai Nasional Indonesia dan Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Dalam lingkungan BPKKP ini lah dibentuk satu badan keamanan yang dinamakan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Untuk pelaksanaan tugas keamanan dan ketertiban di pantai, lautan dan daerah-daerah pelabuhan dibentuk BKR Laut yang diresmikan pada 10 September 1945.

Kehadiran BKR Laut ini tidak terlepas dari peranan tokoh-tokoh bahariawan yang pernah bertugas di jajaran Koninklijke Marine ketika penjajahan Belanda dan Kaigun pada zaman pendudukan Jepang. Dalam perkembangannya, BKR Laut ini kemudian bermetamorfosa menjadi Tentara Keamanan Rakyat Laut (TKR) pada tanggal 5 Oktober 1945. TKR Laut ini bermarkas besar yang terletak di Yogyakarta dipimpin oleh Kepala Staf Umum Laksamana III M. Pardi. TKR Laut ini kemudian berkembang. Atas dasar untuk lebih memprofesionalkan organisasinya maka dibentuklah Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).

Di awal berdirinya, pasukan ini belum bisa memenuhi kebutuhan akan senjata dan berbagai perlengkapan perang lainnya. Padahal tentara dan senjata adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Apalagi pada saat itu pemerintah berniat untuk membentuk badan ketentaraan yang permanen guna melindungi kedaulatan negara.

Pada awal terbentuknya, Angkatan Laut Republik Indonesia ini mempunyai struktur organisasi yang disebut dengan sistem Korps, yakni:

1) Korps Pelaut atau Corps Armada (C. A.) yang terdiri atas Korps Navigasi dan Korps Machine Stoom Dienst (M. S. D.);

2) Corps Mariniers (C.M);

3) Korps Polisi Tentara Laut (P. T. L.);

4) Korps Kesehatan;

5) Korps Perhubungan.

Pada tahun 1948, Hatta yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia mengajukan usul untuk mengadakan Reorganisasi dan Rasionalisasi serta membangun kembali angkatan bersenjata dan seluruh aparat negara. Sundhaussen (1988: 63-64) menjelaskan maksud dari usulan kebijakan Hatta tersebut, yakni:

Tujuan dasar kebijakan tersebut adalah untuk menciutkan jumlah personil angkatan bersenjata, meningkatkan efesiensinya, dan menempatkannya kembali di bawah pimpinan pemerintah. Tujuan yang disebut paling akhir itu sangat penting, karena kesatuan-kesatuan tempur saat itu mulai menguasai daerah-daerah kantong atau daerah-daerah front mereka secara mandiri dengan menempuh kebijaksanaan mereka masing-masing.

Pemerintah menerima baik usulan Hatta tersebut, dan pada tanggal 2 Januari 1948 Soekarno menandatangani sebuah dektrit yang memerintahkan agar semua kekuasaan di bidang pertahanan di pusatkan dalam kendali menteri pertahanan. Sebuah Staf Umum Angkatan Perang akan membatu tugas menteri tersebut. Staf ini dibentuk di dalam lingkungan kementerian pertahanan dan dikepalai oleh Komodor Suryadharma (yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Udara) dan sebagai wakilnya dipilihlah Kolonel T.B. Simatupang. Di bawah kementrian itu akan ditempatkan sebuah Markas Besar Pertempuran yang dipimpin oleh Sudirman yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil. Semua kesatuan tempur akan ditempatkan di bawah pimpinan taktis dan stategi badan ini (Sundhaussen, 1988: 64).

Sesuai dengan keputusan itu pula, pada tanggal 17 Maret 1948 Hatta membentuk Komisi Reorganisasi ALRI serta mengangkat Kolonel R. Soebijakto sebagai ketuanya. Adapun tugas KRAL, adalah sebagai berikut:

1) Di Kementerian Pertahanan diadakan Staf Umum dan Staf Khusus Angkatan Laut.

2) Pimpinan adalah seorang Kepala Staf Angkatan Laut.

3) Wakil pimpinan adalah seorang Wakil Kepala Staf Angkatan Laut.

4) Di luar Kementerian hanya diadakan pangkalan-pangkalan atau Pusat Pendidikan (Training Centre).

5) Dalam Angkatan Laut, sementara tidak diadakan tentara Laut (Mariniers).

6) Tentara Laut dileburkan dalam TNI Angkatan Darat. Anggota yang ingin tetap dalam Angkatan Laut, dalam waktu satu bulan harus membuat surat permohonan kepada Menteri Pertahanan melalui Panglima Besar Angkatan Perang Mobil.

7) a) Polisi Tentara Angkatan Laut yang berdekatan dengan Pangkalan Angkatan Laut dimasukkan dalam Angkatan Laut dan dijadikan Polisi Militer Angkatan Laut.

b) Yang berada di luar pangkalan, dilebur dengan Polisi Tentara menjadi Polisi Militer Angkatan Darat di bawah Komando Teritorium Angkatan Darat.

8) Selama Kepala Staf Angkatan Laut dan Wakilnya belum diangkat maka dalam masa peralihan Ketua/ Wakil Ketua Komisi memimpin Angkatan laut atas nama Menteri Pertahanan.

9) Supaya organisasi Angkatan Laut segera terlaksana, semua perintah-perintah yang dikeluarkan oleh Kateua/Wakil Komisi atas nama Menteri Pertahanan harus dilaksakan dengan segera dan tertib.

10) Semua anggota Angkatan Laut yang tidak menjalankan perintah-perintah tersebut akan dipecat dari jabatannya dan akan disidang oleh Hakim Militer.

Dampak dari ditetapkannya Reorganisasi dan Rasionalisasi di TNI AL juga mengakibatkan meleburnya Divisi I dan Divisi II Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) dan digabungkan ke dalam kesatuan Angkatan Darat. Corps Mariniers (C. M) bekas Pangkalan IV ALRI Tegal yang pada saat itu sesuai instruksi Menteri Pertahanan menjadi bagian kesatuan 21, 22, 23 dan 24 dari Divisi II TLRI Jawa Tengah di bawah komando Divisi Diponegoro Angkatan Darat yang kemudian dikenal sebagai Resimen Samudera yang terdiri dari lima Batalion, yakni:

1) Batalion 173 dikomandani oleh Letnan Hartono berkedudukan di Parakan.

2) Batalion 174 dikomandani oleh Letnan Mochamad Joenoes berkedudukan di Wonosobo.

3) Batalion 175 dikomandani oleh Letnan Moekijat berkedudukan di Parakan.

4) Batalion 176 dipimpin oleh Letnan Soewadji berkedudukan di Temanggung.

5) Batalion 177 dipimpin oleh Letnan Wiranto Soewono berkedudukan di Temanggung.

Selain kelima Batalion tersebut, terdapat pula Batalion 178 dengan Komandannya Letnan Glendeh Soetomo yang berkedudukan di Juana.

Reorganisasi tentara juga mengakibatkan dibentuknya Corps Armada (C. A.) yang dalam pelaksanaannya Corps ini terbagi dalam enam wilayah, yakni:

1) C. A. I, berkedudukan di Blitar di bawah pimpinan Mayor Oentoro Koesmardjo.

2) C. A. II, berkedudukan di Cilacap di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeparman.

3) C. A. III, berkedudukan di Cirebon di bawah pimpinan Mayor Tirtaatmadja.

4) C. A. IV, berkedudukan di Pekalongan di bawah pimpinan Mayor R. Soehadi.

5) C. A. V, berkedudukan di Juanda di bawah pimpinan Mayor Sardjoeno.

6) C. A. VI, berkedudukan di Tulungagung di bawah pimpinan Kolonel Rais Sastrosoegondo.

Pada tanggal 9 Oktober 1948, Menteri Pertahanan melalui surat keputusan No. A/565/1948 tentang kepangkatan ALRI dalam rangka Reorganisasi dan Rasionalisasi menetapkan berdirinya Korps Komando dalam lingkungan ALRI. Korps ini mulai melakukan seleksi penerimaan anggotanya pada tahun 1949 pasca disepakatinya hasil dari Konverensi Meja Bundar (KMB). Dari seleksi tersebut, diterimalah anggota Korps Komando sebanyak 1200 orang yang 95% anggotanya adalah berasal dari Corps Mariniers IV Tegal.

Dalam pelaksanaan Reorganisasi di Tentara Nasional Indonesia ini juga menumbulkan kekecewaan bagi beberapa pihak, salah satunya adalah golongan Atmadji (Bagian Sejarah KKO-AL, 1971: 9). Atmadji sebelum terjadinya Reorganisasi sendiri menjabat sebagai Kepala TLRI (Tentara Laut Republik Indonesia). Organisasi ini sesuai keputusan Komisis Reorganisasi Angkatan Laut harus melebur ke dalam Angkatan Darat. Atmadji yang merasa kecewa dengan keputusan tersebut akhirnya terlibat dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia Madiun.

Dari beberapa pemaparan tersebut, peneliti memfokuskan kajian yang menarik untuk dikaji yaitu bagaimana proses Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut? Alasan pengambilan judul tentang masalah tersebut yakni: Pertama, kurangnya penulisan sejarah terutama sejarah militer, khususnya tentang sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Beberapa tulisan tentang sejarah militer di Indonesia, mayoritas membahas tentang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Sedangkan seperti yang kita ketahui, di Indonesia tidak hanya Angkatan Darat saja yang berperan dalam sejarah Indonesia. Masih ada Angkatan Laut serta Angkatan Udara yang juga turut aktif dalam dinamika sejarah militer di negara tersebut. Kedua, pengambilan masalah tentang Reorganisasi dan Rasionalisasi di Angkatan Laut dikarenakan terdapat fenomena unik yang terjadi pada dinamika kemiliteran yang ada pada organisasi militer tersebut. Seperti, beberapa organisasi yang ada di Angkatan Laut ketika berlangsungnya Reorganisasi dan Rasionalisasi tersebut dimasukkan ke dalam Angkatan Darat khususnya Daerah Komado IV Diponogoro yang berada di Jawa Tengah, konflik internal yang terjadi dalam Angkatan Laut antara perwira lulusan KNIL dengan perwira lulusan Laskar, konflik yang terjadi akibat dari kebijakan Komisi Reorganisasi Angkatan Laut yang menimbulkan kekecewaan bagi beberapa pihak yang organisasinya harus dilebur ke Angkatan darat atau bahkan dibubarkan (seperti golongan Atmadji), pembentukan Korps Komando yang sebenarnya merupakan metamorfosa dari Corps Mariniers yang sempat dibubarkan. Fenomena-fenomena tersebut memang tidak berdampak besar seperti yang terjadi dalam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat hingga berdampak nasional dengan terjadinya peristiwa Juli 1952. Namun, yang terjadi dala Angkatan Laut ini justru akan melahirkan tentara sangat diandalkan oleh presiden Soekarno. Tercatat beberapa tokoh Angkatan Laut khususnya Korps Komando yang merupakan orang kepercayaan dari Soekarno, seperti Jenderal Hartono, Jenderal Usman dan Ali.

Tahun kajian yang peneliti fokuskan yakni dari tahun 1948 hingga 1950. Hal tersebut didasarkan pada tahun 1948 ini Hatta selaku Perdana Menteri Republik Indonesia pada saat itu mengusulkan untuk dilakukannya Reorganisasi dan Rasionalisasi tentara, dan pada tahun yang sama tepatnya pada tanggal 2 Januari 1948 Soekarno mengesahkan usul tersebut (Sundhaussen, 1988: 64). Tahun 1950 dijadikan tahun akhir kajian dikarenakan peneliti ingin melihat konsekuensi dari adanya Reorganisasi dan Rasionalisasi tersebut setelah berlangsung selama dua tahun.

Berdasarkan fakta di atas, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji permasalahan tentang Reorganisasi dan Rasionalisasi dalam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Sekaligus peneliti juga ingin mengetahui konsekuensi dari adanya peristiwa tersebut terhadap dinamika kemiliteran dalam organisasi militer tersebut. Oleh karena itu, peneliti merumuskan permasalahan tersebut dalam sebuah proposal penelitian yang berjudul REORGANISASI DAN RASIONALISASI TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT (TNI-AL) 1948-1950: Dari Pembentukan Komisi Reorganisasi (KRAL) hingga Terbentuknya Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL).

2. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan beberapa pokok pemikiran yang dipaparkan di atas terdapat satu permasalahan utama yang akan dikaji yaitu “bagaimana proses reorganisasi dan rasionalisasi yang terjadi pada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL)?” Agar permasalahan yang akan dikaji lebih jelas dan fokus, penulis akan merumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh Komisi Reorganisasi Angkatan Laut (KRALRI) terhadap pengintegrasian Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut?

2. Bagaimana pengaruh terbentuknya Korps Komando terhadap pengintegrasian tentara dalam Angkatan Laut?

3. Apa saja hambatan yang terjadi pada proses Reorganisasi dan Rasionalisasi dalam militer Angkatan Laut itu?

4. Bagaimana dampak dari adanya Reorganisasi dan Rasionalisi TNI-AL terhadap dinamika perpolitikan nasional?

3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menjawab berbagai pertanyaan permasalahan yang telah dirumuskan sebagai berikut, yakni untuk :

1. Mendeskripsikan pengaruh dari Komisi Reorganisasi Angkatan Laut (KRALRI), baik itu tugas, fungsi serta konsekuensi yang ditimbulkan dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh komisi tersebut terhadap pengintegrasian tentara Angkatan Laut Republik Indonesia.

2. Menjelaskan pengaruh terbentuknya Korps Komando terhadap pengintegrasian tentara di Angkatan Laut, baik itu pengaruh secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap proses integrasia tentara,

3. Menganalisis hambatan-hambatan yang terjadi pada proses reorganisasi dan rasionalisasi di dalam militer Angkatan Laut itu, baik itu yang berasal dari internal Angkatana Laut itu sendiri hingga hambatan eksternal dari pihak lain selain Angkatan tersebut.

4. Menganalisis dampak dari adanya Reorganisasi dan Rasionalisi TNI-AL, diantaranya tentang kepemimpinan dalam organisasi militer tersebut, hingga tentara yang profesional.

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Memperkaya penulisan mengenai sejarah khususnya sejarah militer di Indonesia. Sehingga nantinya dapat menimbulkan wawasan baru dan mengembangkan sejarah militer yang belum terkaji oleh para sejarawan.

2. Memberikan pengetahuan tentang dinamika perkembangan militer di Indonesia, khususnya dinamika yang terjadi di Angkatan Laut Republik Indonesia.

3. Memperkaya tulisan akademis tentang dinamika yang ada di Angkatan Laut Indonesia, karena selama ini penulisan tentang organisasi militer tersebut dinilai relatif kurang.

4. Kajian Pustaka

Dalam kajian ini, peneliti menggunakan beberapa teori dan pendapat para tokoh tentang konsep kemiliteran. Dengan menggunakan beberapa teori tersebut, diharapkan nantinya akan membantu peneliti dalam mengkaji permasalahan tentang Reorganisasi dan Rasionalisasi yang terjadi pada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Adapun beberapa teori dan pendapat para ahli tersebut diantaranya adalah:

1. Teori Konflik

Munculnya konflik internal dalam Angkatan Laut ini disebabkan oleh distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata. Hal ini sependapat dengan Dahrendorf (Nazsir, 2009: 24) yang mengatakan bahwa distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata akan menjadi faktor yang menentukan konflik sosial yang sistematis. Hal senada juga diungkapkan oleh Weber (Beilharz, 2005: 369). Beliau mengemukakan bahwa konflik dalam arena politik sebagai sesuatu yang sangat fundamental. Konflik tersebut merupakan pertentangan untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh sebagian individu dan kelompok tertentu terhadap yang lain. Begitu pula dengan konflik yang terjadi dalam TNI-AL ini. Munculnya konflik internal dalam Angkatan Laut ini disebabkan oleh distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata.

Konflik ini mulai terlihat jelas ketika dipilihnya Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) dengan pangkat Mayor, Kolonel Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Komodor Suryadharma sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), serta Subijakto sebagai Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL). Dengan diangkatnya mereka, maka semakin mempertegas dominasi perwira-perwira mantan KNIL dalam jabatan strategis militer Indonesia. Hal ini menimbulkan kecemburuan dari para perwira yang berasal dari mantan PETA atau perwira yang berasal dari organisasi kelaskaran dan pemuda.

2. Teori tentang Elemen Kekuatan Negara

Morgenthau (Rudy, 2009: 97-102) menyatakan bahwa terdapat dua elemen penting untuk memperkuat kekuatan negara, yakni:

a) Elemen power yang nyata (tangible)

b) Elemen power yang tidak nyata (intangible)

Kekuatan militer dianggap penting dalam usaha memperkuat negara dan untuk menjaga kedaulatan negara. Kedaulatan negara menurut Budiardjo (2010: 54) dijadikan unsur penting dalam pembentukan negara di samping harus adanya wilayah penduduk, serta pemerintah. Maka untuk menjaga kedaulatan tersebut dibutuhkan militer yang kuat. Morgenthau mengklasifikasikan elemen militer tersebut sebagai elemen power yang nyata (tangible), sebagaimana diungkapkan bahwa:

Elemen power ini sangat erat kaitannya dengan gagasan tradisional yang mengatakan bahwa power didukung oleh kekuatan militer. Baik kekuatan militer maupun mobilitasnya bisa dianggap sebagai elemen yang nyata karena kekuatan dan mobilitas tersebut bisa diukur menurut anggaran yang dikeluarkan untuk tujuan pertahanan dan keamanan (Morgenthau dalam Rudy, 2009: 97-102)

Melanjutkan apa yang diungkapkan oleh Morgenthau, Hayati dan Yani (2007:71) juga mengemukakan bahwa:

Untuk mengetahui seberapa jauh keefektifan dari kekuatan militer ini, maka kita harus berhadapan dengan berbagai hal, yakni: keterampilan dan pendidikan pasukan, mutu kepemimpinan, motivasi, moril, kesetiaan, pertempuran yang pernah dialami, strategi, dan taktik.

Jika melihat pendapat tersebut, dominasi yang dilakukan oleh perwira lulusan KNIL jelas untuk menjaga kekuatan negara. Matanasi (2007: 24-26) menjelaskan bahwa memang para anggota KNIL diberikan keterampilan dan pendidikan pasukan, disamping juga diajarkan tentang kepemimpinan dan berbagai pengalam perang yang telah mereka alami.

Untuk membuat tentara ini kuat sehingga mendukung negara yang memiliki kekuatan, maka menurut Coplin dan Marbun (2003: 124) ada tiga kriteria yang harus diperhatikan, yakni:

a) Jumlah pasukan

b) Tingkat kepelatihan

c) Sifat perlengkapan militernya.

Kebijakan Hatta tentang perlu diadakannya Reorganisasi dan Rasionalisasi dalam tubuh militer Indonesia ini jelas dimaksudkan untuk memperkuat militer negara ini. Dalam implikasinya, kebijakan tersebut akan menciptakan susunan militer yang baik dan sempurna. Hal tersebut kemudian dipertegas oleh Machiavelli (2008:101) yang mengatakan bahwa untuk membuat tentara yang baik, tentara tersebut haruslah warga sipil dari negara tersebut yang sudah dilatih militer, bukan malah menyewa tentara bayaran.

5. Metode dan Teknik Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini tadalah metode historis. Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1986: 32). Sebagaimana dikemukakan pula oleh Ismaun (2005: 35) bahwa metode ilmiah sejarah adalah proses untuk menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peningggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan cerita sejarah yang dapat dipercaya.

Mengenai langkah-langkah dalam penelitian ini menurut Sjamsuddin (2007: 85-239) antara lain sebagai berikut :

1. Heuristik, yaitu proses pengumpulan sumber-sumber sejarah yang berhubungan dengan skripsi ini. Dalam tahap ini, penulis melakukan pencarian sumber-sumber sejarah baik yang berupa wawancara, buku, dokumen, maupun artikel. Realisasi dari tahap ini, penulis mencaba mengunjungi beberapa perpustakaan yang dianggap mempunyai sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji. Diantaranya penulis mengunjungi Perpustakaan UPI, Perpustakaan TNI Angkatan Darat, Perpustakaan TNI Angkatan Laut, Perpustakaan Dinas Sejarah Tentara Nasional Indonesia, Perpuastakaan Nasional, Perpustakaan Arsip Nasional, dan Perpustakaan Marinir. Selain itu, penulis juga mencoba mengkaji sumber-sumber artikel dari internet yang dianggap relefan dengan pembahasan ini.

2. Kritik Sumber, merupakan langkah selanjutnya dari metode ilmiah sejarah yang dilakukan ketika sumber-sumber sejarah telah ditemukan. Kritik sumber terbagi kedalam dua, yaitu Kritik Eksternal dan Kritik Internal. Kritik Eksternal ditujukan untuk menilai otentisitas sumber sejarah. Dalam kritik ekstern dipersoalkan bahan dan bentuk sumber, umur, dan asal dokumen, kapan dibuat, dibuat oleh siapa, instansi apa, atau atas nama siapa. Dalam tahapan ini, penulis mencoba menilai sumber-sumber sejarah tersebut berdasarkan ketentuan dari kritik eksternal. Kritik Internal lebih ditujukan untuk menilai kredibilitas sumber dengan mempersoalkan isinya, kemampuan pembuatannya, tanggung jawab dan moralnya. Pada tahap ini, penulis membandingkan isi dari sumber-sumber sejarah dari satu penulis buku dengan penulis buku lainnya dengan maksud agar fakta-fakta sejarah yang diperoleh lebih valid untuk mendukung pembahasan yang akan dikaji.

3. Interpretasi adalah proses pemberian penafsiran atas fakta-fakta sejarah yang telah dikritisi melalui kritik sumber. Dalam hal ini, proses ini dilakukan untuk memberikan makna pada fakta-fakta sejarah agar dapat mendukung peristiwa yang dikaji. Dalam tahap ini, penulis memberikan penafsiran pada fakta-fakta sejarah yang diperoleh selama penelitian dengan menghubungkan beberapa fakta menjadi suatu kesatuan makna yang sejalan dengan peristiwa tersebut.

4. Historiografi merupakan tahapan terakhir dari metode ilmiah sejarah dalam penulisan skripsi ini. Dimana dalam historiografi ini, fakta-fakta yang telah melalui berbagai macam proses kemudian disusun menjadi satu kesatuan sejarah yang utuh sehingga terbentuklah suatu skripsi. Dalam proses ini, penulis mengerahkan seluruh daya pemikiran dan menuangkannya ke dalam skripsi dengan tujuan untuk menghasilkan suatu sintesis dari seluruh penelitian yang telah dilakukan.

Untuk mendukung hasil sintesis, peneliti menggunakan pendekatan interdisipliner yaitu pendekatan yang menggunakan satu disiplin ilmu yang dominan, yang ditunjang oleh ilmu-ilmu sosial lainnya. Dalam hal ini, penulis mengambil satu disiplin ilmu yaitu ilmu sosial yang berupa ilmu politik, psikologi, serta sosiologi.

Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Studi Kepustakaan, yaitu mencari sumber baik berupa buku, artikel dan dokumen yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, yang kemudian dikaji untuk memperoleh solusi dalam memecahkan permasalahan penelitian.

2. Studi Dokumenter, yaitu suatu cara dalam pengumpulan data melalui media visual berupa foto-foto, gambar, serta arsip-arsip yang diambil pada waktu melakukan penelitian di lapangan.

3. Wawancara, adalah suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan yang dilakukan melalui percakapan dengan beberapa narasumber yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji.

6. Sistematika Penulisan

Mengenai sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode dan teknik penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Menjelaskan secara singkat tentang sumber-sumber kepustakaan yang dijadikan sebagai bahan referensi yang berhubungan dengan pokok pembahasan yang juga disertai dengan analisis yang dapat mempermudah dalam pemecahan masalah tersebut.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Menjelaskan secara rinci tentang cara kerja penulis dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan sumber-sumber yang sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Dalam ilmu sejarah, langkah-langkah tersebut meliputi : Heuristik, Kritik Sumber, Interpretasi, dan Historiografi.

BAB IV TINJAUAN HISTORIS TENTANG REORGANISASI DAN RASIONALISASI TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT (TNI-AL) 1948-1950

Bab ini merupakan bagian utama dari skripsi yang berisi tentang kajian-kajian seperti yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Ada pun rumusan masalahnya yaitu mendeskripsikan proses terbentuknya Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), mendeskripsikan proses kerja dari Komisi Reorganisasi Angkatan Laut (KRALRI), menjelaskan latar belakang terbentuknya Korps Komando, menganalisis dampak dari adanya Reorganisasi dan Rasionalisi TNI-AL, serta menganalisis hambatan yang terjadi pada proses reorganisasi dan rasionalisasi di dalam militer Angkatan Laut itu.

BAB V KESIMPULAN

Merupakan bagian terakhir dari skripsi yang berisi pernyataan dan saran yang terangkum dari hasil analisis semua fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji dari penulis yang diutarakan secara ringkas dan jelas.

DAFTAR PUSTAKA

Az-Zaghul, I. A. (2004). Psikologi Militer. Jakarta: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup.

Bagian Sejarah KKO-AL. (1971). Korps Komando AL: Dari Tahun ke Tahun. Jakarta: Bagian Sejarah KKO AL.

Beilharz, P. (2005). Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Bhakti, I. N. (2005). “Teori dan Praktek Hubungan Sipil-Militer di Indonesia”, dalam Dinamika Reformasi Sektor Keamanan. Jakarta: Imparsial.

Budiardjo, M. (2010). Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Coplin, W. D. dan Marbun, M. (2003). Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritik. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Dinas Sejarah TNI-AL. (1973). Sejarah Tentara Nasional Angkatan Laut (Periode Perang Kemerdekaan) 1945-1950. Jakarta: Dinas Sejarah TNI-AL.

Dinas Sejarah TNI-AL. (1959). Sejarah Perkembangan Angkatan Laut 1945-1950. Jakarta: Dinas Sejarah TNI-AL.

Elson, R. E. (2008). The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.

Hayati, S. dan Yani Ahmad. (2007). Geografi Politik. Bandung: PT. Rafika Aditama.

Huntington, S. P. (2003). Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Miiter-Sipil. Jakarta: PT. Gamedia Widiasarana Indonesia.

Ibrahim, I. (2010). Indonesian Special Force: Pasukan Khusus Indonesia. Yogyakarta: MataPadi Presindo.

Ismaun. (2005). Sejarah Sebagai Ilmu. Bandung: FPIPS UPI Bandung.

Machiavelli, N. (2008). The Prince: Sang Penguasa (Terjemahan Natalia Trijaji). Surabaya: Selasar Surabaya Publishing.

Marbun, B. N. (2007). Kamus Politik (Edisi Revisi). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Matanasi, P. (2007). KNIL (Koninklijk Nedherlandsche Indische Leger): Bom Waktu Tinggalan Belanda. Yogyakarta: MedPress.

Muchri dan Sudarto, Sugeng. (1980). TNI-AL dalam Gambar 1945-1950. Jakarta: Dinas Sejarah TNI-AL.

Rudy, T. M. (2009). Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran dan Kegunaan. Bandung: PT. Rafika Aditama.

Sjamsuddin, H. ( 2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak

Skinner, Q. (1992). Machiavelli: Dilema Kekuasaan dan Moral. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Sundhaussen, U. (1988). Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES.

Nazsir, N. (2009).Teori-Teori Sosiologi. Bandung: Widya Padjadjaran.

Sumber Internet

Departemen Pertahanan Republik Indonesia. (2008). Buku Putih Pertahanan Indonesia [Online]. Tersedia: http://www.kemhan.go.id/. [7 Desember 2010].

Korps Marinir. (___). Sejarah Marinir [Online]. Tersedia: http://www.marinir.mil.id/. [26 November 2010].

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. (___). Sejarah TNI AL [Online]. Tersedia: http://www.tnial.mil.id/. [26 November 2010].

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar