RSS

MILITER DAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA PASCA OTONOMI KHUSUS

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang sejak lahir dan merupakan sesuatu yang mutlak dimiliki serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Negara berkewajiban melindungi hak setiap warga negaranya. Hak Asasi Manusia terdapat dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1 dan setiap warga neagara berhak dilindungi haknya oleh negara karena HAM tercantum dalam UUD 1945.

Di Indonesia tidak jarang pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai daerah. Pelanggaran tersebut juga sering dilakukan oleh siapa pun tidak terkecuali oleh anggota atau aparatur negara, seperti yang terjadi di Papua pada saat pemerintah memberlakukan Otonomi Khusus di Papua pada tahung 2001-2008.

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 dan yang melatarbelakangi terjadinya Otonomi Khusus di Papua dikarenakan sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.

Namun seiring dengan adanya otonomi yang diberikan pemerintah tersebut terjadi pula berbagai pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilatarbelakangi oleh katidak berjalannya otonomi di Papua. Timbulnya gerakan-gerakan separatis yang berujung pada pelanggaran HAM baik itu oleh oknum yang dinamakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang ingin memisahkan diri dari Indonesia maupun anggota militer yang mengamankan para OPM.

Hal tersebutlah yang nantinya akan dibahas dan menjadi permasalahan utama panulisan makalah ini, adanya pelanggaran-pelanggaran HAM serta ketegangan-ketegangan karena banyaknya kasus yang terjadi di Papua.

1.2. Rumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini kami membuat beberapa rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan. Rumusan masalah dapat membatasi pembahasan agar tidak melebar. Adapun Rumusan masalah yang kami tetapkan adalah:

1. Bagaimana gambaran umum konflik Papua?

2. Mengapa militer campur tangan dalam konflik di Papua?

3. Bagaimana kondisi Hak Asasi Manusia di Papua pasca Otonomi Khusus?

4. Bagaimana proses pengadilan HAM di Papua?

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin di capai dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menjawab rumusan masalah diatas, yakni:

1. Mendeskripsikan gambaran umum konflik Papua, baik yang melatarbelakangi terjadinya konflik di daerah tersebut hingga masalah laten yang menjadi penyebab konflik tersebut.

2. Menganalisis alasan militer campur tangan dalam konflik di Papua.

3. mendeskripsikan kondisi Hak Asasi Manusia di Papua pasca Otonomi Khusus.

4. mendeskripsikan proses pengadilan HAM di Papua.

1.4. Metode Penulisan

Adapun penulisan makalah yang kami buat ini adalah dengan menggunakan metode analisis kritis. Penulisan dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan bahasan sumber tulisan. Pengkritikan terhadap kebenaran sumber tersebut baik kritik eksternal maupun kritik internal; Menginterpretasikan sumber-sumber yang didapat, dan menyusunya dalam sebuah historiografi. Kami berusaha untuk menampilkan sebuah kajian historis tentang masalah yang terjadi di Papua dengan interpretasi yang mendalam.

1.5. Sistematika Penulisan

Untuk menguraikan isi dari makalah ini, kami membuat sistematika penulisan untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi makalah. Dimulai dengan kata pengantar kemudian dilanjutkan dengan bab satu pendahuluan, bab dua landasan teoritis, bab tiga pembahasan, bab empat kesimpulan, dan terahir daftar pustaka.

Dalam bab satu kami membahasa mengenai latar belakang masalah yang menjadi pendorong dibuatnya makalah ini, rumusan masalah sebagai batasan kajian, tujuan penulisan makalah yang ingin dicapai dari penulisan, metode penulisan yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika penulisan.

Dalam bab dua berisikan landasan teoritis menganai Hak Asasi Manusia secara konseptual serta Otonomi Khusus. Bab tiga membahas tentang gambaran umum konflik Papua, campur tangan militer pada konflik di Papua, kondisi Hak Asasi Manusia di Papua pasca Otonomi Khusus, serta proses pengadilan HAM di Papua. Pada bab empat ini berisi kesimpulan dari isi materi dan diakhri dengan daftar pustaka.

BAB 2

LANDASAN TEORITIS

2.1. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.

Contoh Hak Asasi Manusia (HAM):

1) Hak untuk hidup;

2) Hak untuk memperoleh pendidikan;

3) Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain;

4) Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama;

5) Hak untuk mendapatkan pekerjaan.

Ada pun pembagian bidang, jenis dan macam Hak Asasi Manusia di dunia, yaitu:

1. Hak Asasi Pribadi (Personal Right)

a) Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah tempat;

b) Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat;

c) Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan;

d) Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.

2. Hak Asasi Politik (Political Right)

a) Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan;

b) Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan;

c) Hak membuat dan mendirikan partai politik (parpol) dan organisasi politik lainnya;

d) Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi.

3. Hak Asasi Hukum (Legal Equality Right)

a) Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan;

b) Hak untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS);

c) Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum.

4. Hak Asasi Ekonomi (Property Right)

a) Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli;

b) Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak;

c) Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll;

d) Hak kebebasan untuk memiliki susuatu;

e) Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

5. Hak Asasi Peradilan (Procedural Right)

a) Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan;

b) Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.

6. Hak Asasi Sosial Budaya (Social Culture Right)

a) Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan;

b) Hak mendapatkan pengajaran;

c) Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.

Sebenarnya, konsep HAM ini juga diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 ayat 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998.

Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari:

1. Hak untuk hidup.

Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.

2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.

Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas.

3. Hak mengembangkan diri.

Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

4. Hak memperoleh keadilan.

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.

5. Hak atas kebebasan pribadi.

Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.

6. Hak atas rasa aman.

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

7. Hak atas kesejahteraan.

Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.

8. Hak turut serta dalam pemerintahan.

Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.

9. Hak wanita.

Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.

10. Hak anak.

Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

Sebagai warga negara yang baik, kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.

Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak Asasi Manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar Hak Asasi Manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan sehingga dengan adanya Komnas HAM ini diharapkan perkembangan HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh HAM di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.

2.2. Pengertian Otonomi Khusus

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus. Daerah-daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah

1. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

2. Provinsi Aceh;

3. Provinsi Papua; dan

4. Provinsi Papua Barat.

Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.

1. Bagi Provinsi DKI Jakarta diberlakukan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2. Bagi Provinsi NAD diberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan

3. Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat diberlakukan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

2.3. Konsep Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua Menurut UU Nomor 21 Tahun 2001

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.

Ada pun yang melatar belakangi terjadinya Otonomi khusus di Papua dikarenakan sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.

Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.

2.3.1. Wilayah Papua

Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing sebagai Daerah Otonom. Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik. Distrik (dahulu dikenal dengan Kecamatan) adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota; Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota.

Di dalam Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atas usul Provinsi. Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi-provinsi yang baru dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.

2.3.2. Pemerintahan

Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

1) Legislatif

Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP. Jumlah anggota DPRP adalah 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh mudah, jika jatah anggota DPRD Papua menurut UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah 100 kursi maka jumlah kursi DPRP adalah 125 kursi.

2) Eksekutif

Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan Provinsi-provinsi lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua memerlukan syarat khusus, diantaranya adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:

a) orang asli Papua;

b) setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;

c) tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan

d) tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.

3) MRP

MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP ditetapkan dengan Perdasus. Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun. Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri.

MRP mempunyai tugas dan wewenang, yang diatur dengan Perdasus, antara lain :

a) memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; dan

b) memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;

2.3.3. Partai Politik

Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.

2.3.4. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UU 21/2001. Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.

2.3.5. Perekonomian

Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan, yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat yang dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Pemberian kesempatan berusaha Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat.

2.3.6. Penegakan Hukum

1) Kepolisian

Tugas Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. Seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat, dan kebijakan Gubernur Provinsi Papua. Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua. Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Provinsi Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.

2) Kejaksaan

Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Kejaksaan Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

3) Peradilan

Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.

Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.

2.3.7. Adat Papua dan Perlindungannya

Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun. Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.

Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya. Dalam hal mendapatkan pekerjaan di bidang peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua

2.3.8. Hak Asasi dan Rekonsiliasi

Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Untuk hal itu Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua. Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.

Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.

2.3.9. Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan

Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban untuk menjamin:

a) kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

b) menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama;

c) mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan

d) memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua.

Pemerintah provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Pemerintah provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua. Pemerintah provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan.


BAB 3

MILITER DAN PELANGGARAN HAM:

Pelanggaran HAM oleh Militer di Papua Pasca Otonomi Khusus

(2001-2008)

3.1. Gambaran Umum Konflik Papua Pasca Otonomi Khusus

Konflik Papua adalah konflik yang terjadi di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia. Konflik ini terjadi sejak wilayah ini menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1963. Setelah menjadi provinsi ke-26 di Indonesia tersebut, Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah melancarkan pemberontakan berskala kecil. Pengibaran Bendera Bintang Kejora dan demonstrasi damai dianggap ilegal. Wilayah ini kaya akan sumber daya alam, semakin memanaskan konflik.

Namun, jika kita melihat secara historis, konflik di Papua ini telah terjadi jauh sebelum berintegrasinya wilayah tersebut ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Anari (2008) bahkan menyebut bahwa konflik ini telah terjadi sejak tahun 1528. Bahkan ketika berintegrasi dengan NKRI, Papua yang menjadi provinsi ke 26 Republik Indonesia tidak melalui suatu Undang-Undang tetapi hanya melalui PENPRES No. 1 tahun 1963 untuk Provinsi Papua yang berkedudukan di Jayapura dan INPRES No. 1 Tahun 2003 untuk Provinsi Papua Barat yang berkedudukan di Manokwari. PENPRES No.1 Tahun 1963 dan KEPRES No. 2 telah memberikan Otonomi Khusus Papua dengan mata uang sendiri Irian Barat Rupiah (IB. Rp) untuk menggantikan mata uang Niuew Guinea Gulden tetapi kemudian dicabut oleh Orde Baru melalui Ketetapan MPRS No.21 Tahun 1966 Pasal 6, yang berbunyi Kedudukan Khusus Irian Barat ditiadakan selanjutnya disamakan dengan Otonomi Daerah Lainnya di Indonesia. Kemudian diganti dengan REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) tetapi gagal juga ketika Orde Baru ditumbangkan oleh mahasiswa pada zaman Reformasi kemudian dikembalikan lagi ke Otonomi Khusus melalui UU No. 21 Tahun 2001 oleh Megawati Soekarno Putri.

Sebenarnya, masalah laten yang terjadi pada konflik Papua ini adalah keinginan masyarakat Papua untuk pemenuhan atas hak politik, sosial, dan ekonomi penduduk asli. Dan semuanya itu dianggap oleh masyarakat Papua belum dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintah Republik Indonesia berusaha untuk memecahkan masalah tersebut dengan mengeluarkan kebijakan otonomi khusus (otsus) di Papua. Otonomi khusus ini mulai diberlakukan sejak tahun 2001 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (http://www.setneg.go.id/). Menurut August Kafiar (2009 ; http://www.suarapembaruan.com/) sebenarnya secara konseptual salah satu tujuan penting diberlakukan Otonomi Khusus di Papua adalah berkaitan erat dengan tuntutan tentang pemenuhan atas hak politik, sosial, dan ekonomi penduduk asli Papua sebagai warga negara Indonesia yang sama dan sederajat dengan saudara-saudaranya di wilayah Indonesia lain. Bagi mereka, kucuran dana yang besar dan banyaknya program pembangunan itu adalah kewajiban pemerintah, sedangkan hak-hak tadi adalah tuntutan yang tidak bisa ditukar dengan uang. Kambuaya (2006:8; http://www.setneg.go.id/) berpendapat bahwa dengan dikeluarkannya kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan di Provinsi Papua dan Papua Barat, dengan provinsi-provinsi lainnya di tanah air, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan.

Dalam implementasinya, Otonomi Khusus ini dinilai belum mampu diimplementasikan secara efektif dan masih terdapat kesenjangan dalam realitas. Pemberlakuan kebijakan ini belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal melayani (service), membangun (development), dan memberdayakan (empowerment) masyarakat. Akibat belum berjalannya Otonomi Khusus, tampak pada beberapa hal sebagai berikut:

1. Laporan Biro Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan United Nations Development Project (UNDP) mengenai Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2004 yang berjudul: The Economics of Democracy; Financing Human Development in Indonesia (www.bps.go.id/), mengemukakan bahwa secara nasional, kualitas sumber daya manusia Papua berada pada posisi yang sangat rendah. Angka Human Development Index (HDI) Papua pada tahun 2002 hanya mencapai 60,1, berada pada peringkat ke-29 dari 32 provinsi.

2. Menurut Siti Komariah (2009 ; http://www.setneg.go.id/) Dalam pandangan Masyarakat Adat Papua pada evaluasi yang dilakukan terhadap implementasi kebijakan Otonomi Khusus Papua. Otonomi Khusus tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat adat Papua. Sebagai konsekuensi dari penilaian ini, Dewan Adat Papua (DPA) pada bulan Agustus 2004 atas nama masyarakat adat, menyatakan menolak dan mengembalikan Otonomi Khusus Papua.

3. Masih banyak di antara komponen masyarakat Papua yang belum memahami secara baik dan benar hakikat Otonomi Khusus Papua. Hal ini terbukti dari adanya berbagai persepsi, penafsiran, bahkan kebijakan yang keliru, baik dari para elit politik Papua, para praktisi, akademisi, maupun masyarakat luas terhadap materi muatan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

4. Belum memadainya perangkat hukum sebagai landasan taktis dan teknis dalam mengimplementasikan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Selama enam tahun implementasi Otonomi Khusus Papua, perangkat hukum dalam bentuk Peraturan Daerah Istimewa (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang sudah dirumuskan dan ditetapkan hanya empat Perdasi. Padahal Undang-Undang Otonomi Khusus Papua mengamanatkan pembuatan 17 Perdasi dan 11 Perdasus.

5. Sejumlah institusi yang pembentukannya diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, masih belum terbentuk, antara lain: Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan Peradilan Adat.

6. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, juga mengamanatkan perubahan struktur dan kewenangan pemerintahan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Misalnya, perubahan kecamatan menjadi distrik atau desa menjadi kampung.

Ditetapkannya Otonomi Khusus di Papua ternyata belum memberikan solusi atas tuntutan masyarakat di daerah tersebut. Terbukti pasca ditetapkannya kebijakan pemerintah tersebut di tanah papua, pelanggaran HAM baik secara fisik dan psikis masih terjadi. Haluk (2009) menemukan beberapa pelanggaran HAM yang terjadi di Papua pasca ditetapkannya Otonomi Khusus.

3.2. Campur Tangan Militer Pada Konflik di Papua

Sistem demokrasi adalah keniscayaan bagi negara modern. Huntington (2001: 4) seorang realis yang fokus pada isu-isu peradaban, demokrasi dan hubungan sipil-militer, mendefinisikan demokrasi, sebagai “suatu bentuk pemerintahan, berdasarkan sumber wewenang bagi pemerintah, tujuan yang dilayani oleh pemerintah, dan prosedur untuk membentuk pemerintahan”. Oleh karena itu negara sebagai organisasi yang besar diberikan wewenang oleh masyarakatnya untuk menjalankan kewajiban tersebut. Tujuan negara adalah berupaya mengkonsolidasikan tujuan dan kepentingan bersama dikalangan masyarakat secara umum.

Jadi segala sesuatu yang diberikan oleh masyarakat (seperti membayar pajak, kerelaan untuk tunduk/menurut) kepada negara dapat diukur. Ukurannya adalah sejauhmana masyarakat dapat merasakan atau mendapatkan kembali hak-haknya atau hak-haknya tidak terlanggar dan terpenuhi. Russell Hardin (1999: 22) mengatakan: “we need goverment in order to maintain the order that enables us to invest effort in our own wellbeing and to deal with others in the expectations that we will not be violated”.

3.2.1. Tugas Pokok dan Fungsi Militer dalam Negara

Dalam suatu sistem demokrasi di mana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan, maka posisi militer di dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban pokok dari sebuah institusi militer. Dengan demikian posisi militer atau angkatan bersenjata merupakan sebuah institusi yang sah atau lazim jika memang disepakati dalam sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi memproteksi masyarakat dari ancaman fisik. Edward Luttwak dalam hal ini mengatakan bahwa:

“The goverment will not only be protected by the professional defenses of the state the armed forces, the police, and the security agencies but it will also be supported by a whole range of political forces. In a sophisticated and democratic society these will include political parties, sectional interest, regional, ethnic, and religious groupings. Their interaction and mutual opposition results in a particular balance of forces which the goverment in some way represents”.

(Pemerintah tidak hanya dilindungi oleh aparatur pertahanan profesional yang dimiliki Negara – angkatan perang, polisi dan badan-badan keamanan – tetapi juga ditopang oleh kekuatan-kekuatan politik secara luas. Dalam masyarakat demokratis dan kompleks, kekuatan ini mencakup partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, regional, etnis dan kelompok-kelompok agama. Interaksi dari kekuatan ini – dan oposisi yang berjalan – menghasilkan sebuah perimbangan kekuatan terhadap pemerintah)

Lebih jauh mengenai fungsi militer dalam negara demokratis bisa kita pelajari dari prinsip-prinsp yang ditawarkan Dietrich Genschel. Prinsip-prinsip dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Militer merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif suatu tata kelola pemerintahan. Dengan demikian, militer merupakan elemen pemisahan kekuasaan dalam sistem politik yang demokratis, yang ditandai dengan pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

2. Militer berada di bawah kepemimpinan politik yang telah disahkan secara demokratis, dengan jabatan menteri pertahanan dipegang oleh sipil.

3. Militer mengikuti pedoman politik yang digariskan.

4. Militer patuh dan tunduk pada hukum.

5. Militer dibatasi oleh tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh konstitusi; secara regular menjaga keamanan eksternal negara (dari serangan atau ancaman dari luar) dan menjaga pertahanan negara. Dalam kasus-kasus tertentu dengan situasi dan batas-batas tertentu yang digariskan secara jelas. (Militer dapat dilibatkan) dalam upaya-upaya untuk menjaga keamanan internal negara dibawah komando polisi.

6. Militer bersifat netral dalam politik.

7. Militer tidak dibenarkan memiliki akses untuk memperoleh dukungan-dukungan keuangan diluar anggaran pendapatan dan belanja negara.

8. Militer dikendalikan oleh parlemen, kepemimpinan politik, kekuasaan kehakiman, dan masyarakat sipil secara umum.

9. Militer memiliki tanggung jawab yang jelas berdasarkan keahlian profesional yang dimilikinya dan dengan itu, memiliki harkat dan martabatnya.

Untuk menunjang prinsip-prinsip sebagaimana diutarakan di atas diperlukan prasyarat:

1. Kerangka konstitusi; menetapkan nilai-nilai sosial (martabat manusia dan hak asasi manusia) dan pemerintah yang berdasarkan pada hukum, menetapkan pemisahan kekuasaan (kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif), mendefinisikan peran dan tugas militer;

2. Parlemen yang berfungsi; (dipilih melalui) pemilihan secara bebas, (bersifat) multi partai, (dan memiliki) substruktur-substruktur yang perlu (seperti panitia anggaran, panitia pertahanan, ombudsman parlemen);

3. Pemerintahan sipil; dengan rantai komando (politik) yang jelas. Presiden, Menteri Pertahanan dan dengan menempatkan Kepala Pertahanan dibawah Menteri Pertahanan – di Jerman mata rantai Komando ini mulai dari Presiden ke Perdana Menteri, dan seterusnya;

4. Kekuasan kehakiman yang mandiri; tanpa pengadilan-pengadilan khusus yang berada di luar tanggungjawabnya (seperti pengadilan militer);

5. Organisasi militer; yang terstruktur, terdidik, dan terpimpin sedemikian rupa sehingga tidak mencampuri atau membahayakan masyarakat sipil, tetapi dengan tetap mempertahankan efektivitas militer yang tinggi;

6. Masyarakat sipil yang matang; yang bersatu di bawah ketentuan-ketentuan dasar konstitusi dan mengambil sikap pluralistik tetapi toleran dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada gilirannya memerlukan;

7. Publik terdidik; yang bersedia berpartisipasi dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat, mampu menyeimbangkan kebebasan individual dan kemandirian dengan komitmen terhadap kebaikan bersama (termasuk pertahanan), serta media yang bebas dan beragam;

Sementara beberapa hal pokok yang perlu ditempatkan dibawah kendali politik/parlemen adalah:

1. Hubungan sipil dan militer integrasi militer ke dalam masyarakat;

2. Kerangka hukum, kesejahteraan sosial dan keamanan;

3. Gaya kepemimpinan, pelatihan dan pendidikan;

4. Kesiapan tempur.

3.2.2. Landasan Campur Tangan TNI dalam Kasus HAM di Papua Barat

Kasus HAM di Papua merupakan kasus HAM yang terberat dikarenakan sejak berlakunya atau ditetapkannya Papua berintegrasi bersama NKRI sejak 1 Desember 1962 maka sejak itu pula Papua Barat dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer karena situasi pada saat itu masih labil, sering terjadinya gangguan baik dari dalam maupun dari luar. Semenjak beralihnya kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde Baru dominasi Militer sangat besar sehingga dalam ungkapan singkat, paradigma baru itu dirumuskan dalam jargon dalam Kontras (2005: 26) :

“tidak selalu harus di depan, tidak lagi menduduki tapi mempengaruhi, tidak lagi mempengaruhi secara langsung, tetapi tidak langsung, siap membagi peran dengan pihak sipil dalam pengambilan keputusan penting dengan komponen bangsa yang lain.” Jargon baru ini mengantikan jargon lama yang full-power yaitu “TNI sebagai stabilisator dan dinamisator”.

Jika disimak lebih dalam Paradigma Baru TNI mengisyaratkan beberapa hal penting, pertama TNI dalam perpolitikan Indonesia tidak seluruhnya mundur melainkan bersyarat yaitu sejauh tidak melucuti hak privilleg (keistimewaan) yang telah dan sedang dinikmati. Jika privilege itu terganggu maka TNI akan memberanikan diri maju kedepan baik secara langsung maupun tidak langsung. Artinya TNI tidak akan surut dari panggung politik begitu saja. Contoh dari tidak surutnya TNI dari panggung politik secara langsung itu bisa dilihat dari banyaknya para purnawirawan TNI yang menjadi pimpinan paratai politik peserta Pemilu 2004 dan menjadi calon anggota DPD dan Caleg DPR-RI. Perlu diingat bahwa sepanjang Orba, TNI itu adalah organisasi kekuatan politik yang sesungguhnya.

Kedua, Jargon itu mengisyaratkan bahwa dalam merumuskan paradigma barunya, TNI tetap sebagai kekuatan politik utama. Hal itu terlihat pada kalimat “dalam mengambil keputusan penting TNI siap berbagi peran dengan komponen bangsa yang lain”. Di masa Orba, TNI adalah institusi yang berperan secara tunggal dalam mengambil dan membuat keputusan penting. Dalam masa reformasi ini TNI siap berbagi dengan pihak kedua yaitu komponen bangsa lain, yakni pemerintahan sipil.

Ketiga, dalam berbagi peran dengan pihak sipil ini, dalam paradigma barunya TNI tidak sama sekali menyadari bahwa peranannya dimasa lalu adalah peranan yang telah menciptakan ‘kekacauan’. Disamping itu juga, TNI tidak menyadari bahwa dalam masa demokratisasi ini, sebagai norma-norma yang terpapar di depan, TNI hanyalah pelaksana dari pemerintahan sipil. Dengan kata lain TNI dengan paradigma barunya tidak mengubah secara signifikan budaya dan postur dari TNI dalam ruang sosial-politik. Dengan paradigma barunya TNI tetap berada dalam ruang konservatisme dengan kepercayaan pada supremasi sipil dalam pengelolaan negara. Hal tersebut berdampak pula terhadap kehidupan pemerintahan sekarang pasca dikeluarkan Undang-Undang Otonomi Daerah dan Militer dapat belajar dari kasus lepasnya Timor-Timur dari NKRI sehingga tindakan yang dilakukan militer di Papua Barat tidak lain dengan cara kekerasan walaupun menyangkut pelanggaran HAM demi terwujudnya stabilitas Negara.

3.3. Kondisi Hak Asasi Manusia di Papua Pasca Otonomi Khusus

Selama reformasi berlangsung kondisi hak asasi manusia tidak menjadi lebih baik dibandingkan ketika rezim Soeharto berkuasa. Aksi-aksi kekerasan dan bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia terus berlangsung dan memprihatinkan. Hampir semua peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia itu berkaitan erat dengan operasi-operasi militer penumpasan separatisme yang dilancarkan. Terbukanya ruang berekspresi dan penyampaian pendapat ketika reformasi bergulir memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat Papua untuk menyampaikan aspirasinya. Namun, ekspresi masyarakat Papua ditanggapi dengan tindakan represif aparat keamanan, apalagi ketika aspirasi merdeka terus didengungkan. Menjaga keutuhan NKRI menjadi legitimasi aparat keamanan untuk terus melakukan pengejaran dan penumpasan Operasi Papua. Akibatnya aksi kekerasan kerap dialami masyarakat biasa.

Beroperasinya perusahaan-perusahaan besar di Papua tetap mengambil peran atas terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Eksploitasi besar-besaran, kerusakan lingkungan dan penyerobotan hak adat terus berlangsung. Tuntutan masyarakat atas perlakuan tidak adil dijawab dengan kehadiran aparat keamanan dan operasi-operasi penumpasan separatisme.

Sementara itu, berlakunya Otonomi Khusus belum menjadikan kondisi Hak Asasi Manusia lebih baik dari sebelumnya. Ketidaksiapan PEMDA dan campur tangan pusat menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Sementara itu, dinamika politik lokal, praktik-praktik korupsi menjadikan Papua terus dalam keterpurukan. Sehingga berbagai bentuk hak ekonomi, sosial dan budaya terabaikan

Operasi-operasi anti separatisme terus berlanjut dan terus menimbulkan korban jiwa. Di antaranya pada bulan September 2001 tokoh OPM Merauke, Willem Onde, ditemukan tewas berlumurah darah di salah satu sungai di Asiki, pedalaman Merauke. Selain itu, tanggal 23 September 2001 dua anggota OPM tewas ditembak anggota TNI di Pos 511 Kostrad, Bonggo, Jayapura. Penembakan terjadi setelah ratusan anggota OPM dengan senjata tradisional berusaha menyerang pos tersebut. Pada bulan Oktober 2001 OPM melancarkan aksinya Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya dengan membakar sejumlah faslitias umum, dan menyerang Koramil. Sebelumnya, peristiwa itu, Kodam XVII/Trikora mengirimkan pasukan ke Ilaga. Tanggal 4 Oktober 2001 TNI berhasil merebut Lapangan Terbang Ilaga dan memulihkan keamanan di Ilaga tanpa ada perlawan dari pihak OPM yang telah melarikan diri. Walaupun demikian, aparat keamanan terus melakukan pengejaran. Dalam melakukan operasi ini aparat keamanan melakukan tindakan-tindakan kekeraran pula terhadap masyakat.

Operasi pengejaran dan penumpasan terhadap OPM di Papua terus berlanjut, pada tanggal 10 Oktober 2001 Markas Besar Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Hans Youweni di sekitar Desa Marwei Kecamatan Pantai Timur, Bonggo, Irian Jaya, dikuasai pasukan Batalyon Infantri 611. Tanggal 16 Oktober, Tim Gabungan TNI-Polri yang dipimpin Mayor Inf Isak dari Satgas Tribuana berhasil menyergap tujuh anggota Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) di sekitar Kali Kopi, Kecamatan Mimika Baru, Kabupaten Mimika. Mereka ditangkap dan ditahan di Polres Mimika. Di bulan November 2001, sebanyak 18 anggota OPM, yang dianggap sebagai pelaku pembakaran KM Jala Perkasa di Kecamatan Kimaam, Merauke, ditangkap aparat Polres Merauke. Sementara itu, pada tanggal 16 November 2001 Polsek Waropen Atas, Yapen Waropen, diserang sekitar 100 anggota OPM. Selanjutnya, pengejaran dan penyisiran dilakukan aparat Polsek.

Puncak dari operasi militer di tahun 2001 adalah penculikan dan penangkapan terhadap, Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay, pada bulan November 2001. Awalnya militer menyangkal bahwa Kopassus sebagai pelakunya. Pembunuhan Theys ini telah membuat suasana tegang di Papua semakin meningkat. Demostrasi dan kerusuhan berlangsung di beberapa daerah di Papua.

Pada tahun 2001 aparat keamanan juga membentuk para-militer (milisi), di antaranya pada bulan Oktober 2001 Kodim 1702 Jayawijaya membentuk Satgas dengan jumlah anggota 170 orang. Pada awal 2002 tercatat pula pembentukan Barisan Merah Putih (BMP) oleh sejumlah tokoh Papua di Jakarta (termasuk mantan wakil Gubernur, J. Djopari). Tujuannya untuk menjaga keintegrasian Papua dalam NKRI, dan menghilangkan segala kegiatan yang beraspirasi kemerdekaan. Dalam kerangka ini pun Kodim membentuk Satgas Merah Putih pada awal 2002. Sementara itu, Eurico Guterres juga melakukan aktivitas membentuk barisan milisi di Timika. Namun, aktivitasnya kemudian dihentikan atas permintaan unsur pimpinan daerah Mimika dan Provinsi Papua.

Kebijakan Presiden Megawati tampak berbeda dengan Gus Dur dalam menangani masalah Papua. Tahun 2002 operasi militer memburu separatisme terus berlanjut bahkan terjadi penambahan pasukan di Papua. Pada tanggal 28 Mei 2002 satu kompi Pasukan Tempur Kodam I Bukit Barisan dikirim ke Papua, bergabung dengan satuan lainnya untuk membasmi gerakan separatisme di daerah tersebut. Situasi di Papua terus tak menentu sementara aparat keamanan semakin arogan. Pada tanggal 4 Agustus 2002 sedikitnya 20 anggota Polda Papua menganiaya Frengky Rengrenggulu di Jayapura. Tindakan main hakim sendiri 20 anggota penegak hukum itu mengakibatkan wajah Frengky babak belur, 8 buah gigi rontok dan lengan kirinya ditikam dengan sangkur. Papua semakin bergolak setelah terjadi peristiwa penembakan terhadap konvoi kendaraan karyawan P.T. Freeport di kilometer 62-63 dari Tembagapura ke arah Timika pada tanggal 13 Agustus 2002. Dalam peristiwa tersebut 3 karyawan P.T. Freeport tewas, termasuk 2 orang warga AS, dan 12 orang lainnya luka-luka.

Pengerahan pasukan digelar untuk memburu para pelaku penembakan. Diduga keras pelakunya adalah militer dalam kaitannya dengan bisnis pengamanan Freeport. Sementara pihak militer menyatakan bahwa pelakunya adalah OPM sehingga operasi penumpasan OPM kembali mendapat legitimasinya. Pada bulan Desember, tim gabungan Polsek Demta dan Satgas TNI yang bertugas di daerah itu mengklaim telah menggerebek pusat logistik di Jayapura, dan menangkap dua orang anggota OPM.

Sementara itu, pada tanggal 17 Desember telah terjadi kontak senjata antara OPM pimpinan Matias Wenda dengan TNI di perbatasan Jayapura-Papua Nugini (PNG). Peristiwa ini berawal dari penyerangan terhadap mobil pejabat provinsi yang sedang menjemput Duta Besar RI di PNG di perbatasan. Di penghujung 2002 kembali lagi terjadi peristiwa penembakan, istri dan anak Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, serta Ny Yeni Ireuw Meraudje ditembak oleh orang tak dikenal di perbatasan Jayapura-Papua Nugini (PNG) saat dalam perjalanan dari Jayapura menuju Vanimo (PNG). Aksi penembakan diperbatasan tersebut terus terjadi di tahun 2003. Di antaranya di awal 2003 Konvoi tim olah TKP Mabes Polri yang akan menyelidiki kasus penembakan istri direktur ELSHAM diberondong peluru oleh sejumlah orang bersenjata di perbatasan RI-PNG. Akibat insiden ini Danrem 172/Praja Wira Yakti Letkol Inf Agus Mulyadi mengeluarkan perintah pengejaran dan pengepungan terhadap OPM pimpinan Matias Wenda.

Sementara itu, OPM terus meningkatkan serangannya dengan menyerang Kodim 1702 Wamena pada tanggal 4 April 2003. Serangan itu mengakibatkan dua anggota TNI tewas. Berikutnya, TNI melakukan pengejaran dan penyisiran. Sejumlah orang ditahan dan disiksi di Markas Kodim 1702. Bahkan salah seorang diantaranya meninggal di tahanan karena disiksa. Amnesty Internasional melaporkan bahwa TNI telah melakukan penyiksaan terhadap sejumlah penduduk desa, ketika memburu penyerang Kodim 1702/Jayawijaya di Wamena, Papua. Pengejaran dilakukan oleh pasukan gabungan dari Kopasus, Batalyon 413 Kostrad, dan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat Kostrad. Pasukan. Dalam pengejaran tersebut, aparat keamanan membakar puluhan rumah penduduk, sekolah, puskesmas dan perumahan guru serta ternak yang jumpai di kampung-kampung sekitar Kuyawage. Akibatnya telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia di Wamena. Rangkaian kejadian ini dikenal dengan peristiwa Wamena.

Di samping itu, kebijakan pemerintah pusat yang membagi Provinsi Papua menjadi tiga bagian telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pelaksanaan kebijakan tersebut ditandai diresmikannya Provinsi Irjabar tanggal 6 Februari 2003. Kebijakan pemekaran Papua ini telah menyebabkan situasi Papua semakin buruk akibat pro dan kontra pemekaran. Misalnya di Provinsi Irian Jaya Tengah telah terjadi konflik antar kelompok pro dan anti pemekaran, konflik ini kemudian menjadi perang adat di Timika pada tanggal 23-27 Agustus 2003. Dalam peristiwa itu 5 orang meninggal dan 108 orang luka-luka.

Berikutnya pada tanggal 31 Agustus, terjadi pula pembunuhan terhadap 2 orang dan melukai 4 orang warga non-Papua di Timika. Pada bulan Juli 2003, Polres Jayawijaya menahan dua orang yang dituduh mengibarkan bendera Melanesia “Bintang 14” di halaman gedung DPRD Wamena. Pengibaran “bendera 14” ini tampak sebagai penanda adanya aspirasi lain yang tumbuh di kalangan masyarakat Papua, yaitu: Melanesia Merdeka. Bendera ini kembali dikibarkan pada bulan November 2003 di Manowari. Kemudian 50 orang yang dianggap pelaku ditangkap aparat kepolisian. Di daerah lain, pada tanggal 4 November 2003 sebuah operasi penyerangan oleh satuan gabungan TNI di Pegunungan Jayawijaya menewaskan gembong OPM Yustinus Murib, selain itu satuan TNI menewaskan sekitar 10 anggota OPM yang bergerak di Pegunungan Jayawijaya Tengah.

Di tahun 2004, tepatnya bulan Maret seorang pempinan OPM, Leo Wresman tewas dalam kontak senjata antara pasukan TPM/OPM dengan Satgas Kompi Rajawali Yonif 753 AFT di Desa Kamenawari 40 km arah barat Kota Sarmi. Aparat keamanan, Satgas Kompi Rajawali Yonif 753 BKO Korem 172 PWY, terus meningkatkan operasi penyisiran di tempat-tempat yang diduga menjadi persembunyian empat anggota kelompok GPK yang meloloskan diri saat terjadi kontak senjata antara TNI dengan GPK. Berkaitan dengan operasi tersebut, seorang ibu, bernama Fransina Sawen (27), diamankan anggota TNI di Koramil Sarmi. Sementara itu, dalam kaitannya dengan pelaksanaan Pemilu tahun 2004, pada bulan April, sekelompok orang tak dikenal yang jumlah sekitar 20 orang dengan bersenjatakan panah, tombak, kapak dan parang menghadang Petugas Pengamanan (PAM) Pemilu dan petugas Panwalu yang akan melaksanakan pendistribusian logistik di Kampung Yowit Distrik Okaba Kabupaten Merauke.

Tanggal 20 April, Aparat Kepolisian bentrok dengan kelompok orang tak dikenal bersenjata kelewang dan panah di desa Mariendi, Distrik Purwata, Kabupaten Bintuni, Irian Jaya Barat. Akibatnya beberapa orang dari kelompok tersebut tewas. Di Manokwari, terjadi penahanan terhadap tiga orang anggota OPM, menyusul insiden berdarah di hutan belantara distrik Babo, Kabupaten Teluk Bintuni, Irian Jaya Barat tanggal 20 April. Dalam insiden tersebut satu orang anggota OPM tewas ditembak pasukan Brimob. Sementara di daerah Garade Kampung Munia, perbatasan Distrik Mulia dengan Distrik Ilu, Kabupaten Puncak Jaya, pada tanggal 17 Agustus 2004, dua anggota kelompok sipil bersenjata pimpinan Guliat Tabuni tewas tertembak dalam kontak senjata lawan TNI selama dua jam di daerah Garage Kampung Munia. Di bulan Oktober, 6 orang tewas dalam aksi penghadangan dan penembakan yang dilakukan kelompok sipil bersenjata (KSB) terhadap iring-iringan kendaraan PT Modern di Kampung Munia, Distrik Ilu, Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Sementara di Kabupaten Puncak Jaya, terjadi pembunuhan warga sipil non-Papua pada tanggal 12 Oktober 2004 menyusul dilakukannya operasi militer gabungan pasukan Kopasus, TNI AD, Polisi dan Brimob yang memburu Goliat Tabuni. Militer menuding kelompok Goliat Tabuni sebagai pelakunya. Sebelumnya, pada bulan September aparat militer telah menangkap dan akhirnya menembak mati pendeta Elisa Tabuni dalam keadaan tangan terikat tali. Sedangkan anaknya berhasil melarikan diri dalam keadaan tangan terikat karena tidak mengetahui keberadaan Goliat Tabuni. Berikutnya, dalam rangka operasi tersebut, militer menangkap dan mengintimidasi pendeta Yason Kogoya. Tanggal 17 Oktober, pasukan militer melancarkan operasi darat dan udara terhadap penduduk sipil.

Helikopter TNI menembak dan meluncurkan bom-bom ke perkampungan penduduk sipil. Walaupun bom tersebut tidak meledak, menyebabkan sekitar 5000-an penduduk mengunsi ke hutan. Bergantinya Presiden setelah Pemilu 2004 belum merubah kondisi Papua. Rangkaian kekerasan masih terjadi, di antaranya pada bulan Desember 2004 aparat kepolisian membubarkan aksi ratusan warga Papua - yang menamakan diri Parlemen Jalanan Rakyat Sipil untuk Politik di Papua - saat mengibarkan bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Jayapura. Beberapa hari sebelumnya, aparat kepolisian telah mengeluarkan larangan resmi. Operasi penumpasan terus terjadi sepanjang tahun 2005 dan awal 2006.

Situasi yang buruk selama reformasi menjadi alasan bagi 43 warga Papua meminta suaka di Australia di awal bulan Januari 2006. Berikutnya di bulan Januari 2006 telah terjadi penembakan di Distrik Waghete, Kabupaten Paniai yang mengakibatkan 1 orang meninggal dan tiga warga sipil lainnya terluka. Di bulan Februari 2006, terjadi penembakan terhadap 3 orang pendulang emas di tepi Sungai Aikwa dalam operasi penertiban penambangan liar di Distrik Tembagapura. Sementara pada bulan Maret 2006, demostrasi yang menuntut penutupan PT. Freeport berlangsung, yang diakhiri dengan terbunuhnya beberapa aparat keamanan di depan kampus Universitas Cendrawasih. Kekerasan sepanjang reformasi tersebut menunjukkan bahwa situasi Papua belum menjadi baik. Begitu pula pelaksanaan Otsus belum mampu meredam gelombang kekerasan di Papua. Rangkaian kekerasan tersebut berakibat buruk pada kondisi Hak Asasi Manusia bagi warga Papua. Di bawah ini beberapa kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi sepanjang reformasi.

3.3.1. Peristiwa Wasior (2001)

Peristiwa ini bermula dari penyerangan oleh sekelompok orang bersenjata terhadap PT Darma Mukti Persada (DMP) di Kecamatan Wasior pada tanggal 31 Maret 2001. Dalam peristiwa tersebut tiga orang pegawai PT DMP menjadi korban. Pada tanggal 13 Juni 2001 terjadi lagi penyerangan terhadap base camp CV Vatika Papuana Perkasa (VPP) di desa Wondiboi. Dalam peristiwa ini 5 orang anggota Brimob tewas dan 1 orang warga sipil tewas.

Setelah peristiwa tersebut, Polda Papua melakukan pengejaran dan penyisiran terhadap pelaku penyerangan ke berbagai desa dan kecamatan di sekitar Wasior. Dalam proses pengejaran tersebut diduga telah terjadi pula pelanggaran berat Hak Asasi Manusia. Sehingga Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap peristiwa ini. Kesimpulan hasil penyelidikan dan semua berkasnya telah diserahkan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan. Tetapi, sampai sekarang hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.

3.3.2. Peristiwa Pembunuhan Theys (November 2001)

Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay hari Sabtu, 10 November 2001 diculik. Esok harinya, ia ditemukan telah tewas di Koya Tengah, Kecamatan Muara Tami, Kabupaten Jayapura. Jenazah Theys ditemukan tertelungkup di jok mobil dengan wajah babak belur dan luka di pelipis, dahi, dan leher. Peristiwa ini menyulut kemarahan masyarakat Sentani, daerah asal Theys. Ratusan warga Sentani membakar dua rumah toko, dua bank (BRI dan BPD Irja), dan 12 bangunan lainnya, situasi pun mencekam sampai ke hari-hari berikutnya. Penculikan yang berakhir pembunuhan ini diduga terkait erat dengan aktivitas politik Theys dan kawan-kawannya. Saat ia dibunuh, Theys berstatus sebagai tahanan luar dan sedang diadili di Pengadilan Negeri Jayapura dengan dakwaan melakukan sejumlah kegiatan makar dengan tujuan memisahkan Irian Jaya dari NKRI. Banyak pihak berpendapat bahwa pembunuhan Theys adalah upaya terakhir untuk membungkam keinginan rakyat Papua untuk merdeka.

Desakan dari berbagai pihak mengharuskan Pemerintah membentuk Komisi Penyelidik Nasional (KPN) untuk menyelidik kasus pembunuhan Theys. KPN menemukan adanya keterlibatan Kopassus dalam pembunuhan Theys. Menyikapi temuan tersebut, pada tanggal 03 Januari 2003, tujuh anggota Kopassus didakwa dalam pengadilan militer di Surabaya. Dakwaannya adalah secara bersama-sama atau sendiri sengaja melakukan penganiayaan sehingga menyebabkan hilangnya nyawa Theys. Pemeriksaan kasus Theys melalui pengadilan militer ini ditolak oleh sejumlah pihak, alasan utamanya adalah karena kasus Theys adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Setelah beberapa kali sidang akhirnya pada bulan April 2003 pengadilan militer memutuskan bahwa ketujuh terdakwa terbukti bersalah dan dihukum 2-3,5 tahun penjara. Putusan ini sangat mengecewakan masyarakat Papua karena dinilai tidak memenuhi rasa keadilan.

3.3.3. Peristiwa Wamena (2003)

Pada bulan April 2003 telah terjadi pembobolan gudang senjata api milik Kodim Wamena. Setelah peristiwa ini TNI melakukan operasi pengejaran dan penyisiran di Komnas HAM telah melakukan penyelidikan dalam peristiwa ini dan menyimpulkan telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Namun, walaupun hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut telah disampaikan kepada penyidik Jaksa Agung, sampai sekarang kasus tersebut belum ada tindak lanjutnya.

3.3.4. Penetrasi Modal dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua

Saat ini setidaknya terdapat tiga situs utama sumber daya alam yang menjadi sasaran eksploitasi di Papua, yaitu: pertambangan, kayu (hutan) dan gas alam. Pertambangan diwakili oleh P.T. Freeport Indonesia, penebangan kayu oleh perusahaan-perusahaan HPH, dan gas alam oleh P.T. LNG Tangguh. Beroperasinya ketiga perusahaan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung turut menyumbang praktik-praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua. Bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di antaranya praktik-praktik diskriminasi dan pelarangan atau pembatasan aktivitas ekonomi oleh pihak perusahaan, perebutan tanah, perusakan lingkungan, dan praktik-praktik represif aparat keamanan yang berkolaborasi dengan perusahaan.

3.3.5. Freeport

Sebelum Papua bergabung dengan NKRI, PT. Freeport Indonesia sudah melakukan kegiatan produksi tidak lama setelah menandatangani kontrak karya dengan Indonesia. Gunung Ertsberg yang mengandung banyak mineral dieksploitasi. Padahal, daerah tersebut merupakan tempat masyarakat sekitar menggantungkan hidupnya. Berdasarkan kontraknya dengan pemerintah Indonesia, Freeport membangun istana tempat berlangsungnya penambangan. Kota Tembagapura dibangun, masyarakat sekitar diusir, lahan luas tempat berburu dicaplok tanpa ganti rugi. Perlakuan seperti ini mengundang perlawanan dari masyarakat setempat, protes masyarakat kerap mengganggu aktivitas perusahaan sehingga diperlukan pengamanan. Ancaman dari OPM menjadi legitimasi bagi kehadiran aparat

Keamanan di sekitar wilayah tambang. Gunung Rrasberg yang bersebelahan dengan Ertberg, pada tahun 1988 ditemukan mengandung cadangan mineral yang sangat besar. Sejak mengeksploitasi gunung tersebut, Freeport menjadi penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia, dan mendongkrak pentingnya Papua bagi Indonesia. Kekayaan melimpah yang dihasilkan Freeport menarik minat keluarga/kroni Soeharto dan petinggi-petinggi militer untuk ikut menikmati kekayaan yang dihasilkan Freeport. Di sisi lain, masyarakat sekitar tidak diperhatikan dan tetap miskin. Dalam kondisi ini kecemburuan sosial dapat saja terjadi, terutama pada masyarakat pendatang yang terlihat berlimpah setelah ikut menikmati recehan Freeport.

Kekerasan makin meningkat di Timika setelah terjadi penembakan karyawan Freeport pada tahun 1994 oleh orang tak dikenal. Freeport meminta bantuan pengamanan dari tentara sehingga AD mengirimkan pasukan tambahan. Operasi militer digelar dan akibatnya 37 orang warga Papua telah dibunuh oleh pasukan tentara. Freeport dan militer membawa bencana bagi kondisi hak asasi manusia di Papua. Perlakuan tidak adil Freeport terhadap masyarakat sekitar telah pula menyebabkan konflik antara suku Amungme dan suku Dani sehingga sebelas orang tewas pada tahun 1997.

Arus reformasi di tahun 1998 menjadikan Freeport sebagai salah satu sasaran reformasi. Terutama berkaitan dengan aktivitasnya terhadap lingkungan, pembagian keuntungan, dan perlakuan adil kepada masyarakat sekitar sehingga ada tuntutan peninjauan kembali terhadap ketentuan-ketentuan kontraknya dengan pemerintah. Di sisi lain, walaupun Freeport telah menyadari kesalahannya – di antaranya pada tahun 2000 dan 2001 telah menandatangani kesepakatan dengan masyarakat Kamoro dan Amungme mengenai serangkaian proyek ekonomi dan sosial – gangguan keamanan terus meningkat di wilayah Freeport sehingga kehadiran aparat keamanan terus dibutuhkan. Serangan-serangan terhadap Freeport kerap terjadi, misalnya pada tanggal 25 Mei 2002 sekitar 20 orang mendobrak gedung-gedung Freeport di kota perusahaan Kuala Kencana.

Selain itu, kebijakan Freeport telah mengakibatkan terjadinya penembakan pada tahun 2006 di Distrik Tembagapura. Berawal dari adanya penambangan liar di sepanjang Sungai Aikwa sebagai tempat pembuangan limbah tambang berupa tailing. Limbah tersebut ternyata masih mengandung emas sehingga mengundang kegiatan mendulang emas bagi masyarakat masyarakat sekitarnya, di antaranya penduduk Kampung Wa’a dan Banti, Distrik Tembagapura. Mereka berduyun melakukan penambangan liar dan hasilnya dijual di Kota Timika dengan harga Rp 80.000 hingga 130.000 per gram. Bagi Freeport, aktivitas tersebut dinilai mengganggu sehingga diperlukan penertiban oleh aparat gabungan petugas satuan pengamanan Freeport. Akibatnya pada bulan Februari 2006, terjadi pengusiran dan berakhir dengan kerusuhan yang menimbulkan korban. Di antaranya dua satpam Freeport mengalami luka-luka akibat dipanah oleh pendulang, sementara itu 3 orang pendulang mengalami luka tembak.

Peristiwa ini menambah kebencian masyarakat terhadap Freeport semakin meninggkat sehingga aksi penutupan satu-satunya jalan menuju lokasi penambangan Grasberg dari pemukiman karyawan dilakukan keesokan harinya. Aksi ini memaksa Freeport menghentikan kegiatan penambangan selama beberapa hari. Aksi penutupan tersebut mengundang pula aksi massa berupa unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di Jakarta, Manado, dan Jayapura pada tanggal 26 Februari 2006. Aksi berikutnya di Jakarta (27 Februari 2006) berakhir dengan bentrokan. Aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut hingga bulan Maret 2006 yang menuntut penutupan P.T. Freeport. Namun, aksi ini berakhir setelah terjadi insiden berdarah di depan Universitas Cedrawasih yang menewaskan beberapa aparat keamanan.

3.3.6. Perusahaan-Perusahaan Kayu

Selain tambang, penebangan kayu merupakan sumber kekayaan yang cepat mendatangkan kekayaan di Papua. Perusahaan terbesar yang ada di Papua adalah Djajanti Group, yang pemegang sahamnya termasuk keluarga Suharto serta mantan pejabat-pejabat tinggi dan petinggi-petinggi milter. Perusahaan lainnya adalah Barito Pacific Timber dan Hanurata. Setelah Suharto jatuh, monopoli industri hutan menghadapi tantangan dari baru dari daerah. Misalnya pada kawasan bagian barat Sorong, hutan-hutan tengah ditebang oleh pengusahan yang bekerjasama dengan Bupati Sorong serta perwira-periwira aparat keamanan. Eksploitasi besar-besaran terjadi di daerah Sorong yang menyimpan banyak pohon merbau. Aktivitas-aktivitas illegal logging banyak terjadi di daerah ini yang melakukan penyelundupan kayu gelondongan.

Selain itu di Bintuni juga terjadi kasus penyelundupan dan penebangan kayu ilegal besar-besaran. Di Bintuni beroperasi PT. Djajanti Gorup selama puluhan tahun. Diduga, para pelakunya di-backing orang-orang kuat. Dalam melakukan aktivitasnya, perusahaan ini sering tidak mengindahkan batas-batas wilayah adat. Terkadang pula ganti rugi yang diberikan tidak setimpal dengan kerugian yang dialami masyarakat. Tuntutan dari masyarakat dianggap mengganggu aktivitas perusahaan. Sehingga perusahaan melegitimasi pendirian-pendirian pos pengamanan di sekitar perusahaan-perusahaan tersebut. Lagipula, diindikasikan bahwa aparat keamanan di sana melakukan bisnis kayu. Protes masyarakat sering dihadapi dengan operasi-operasi aparat keamanan yang berakibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Misalnya pada tanggal 31 Maret telah terjadi penembakan oleh sekelompok orang bersenjata terhadap tiga orang karyawan perusahaan kayu di Wasior. Akibat peristiwa ini dikerahkan pasukan Brimob untuk memburu para pelaku dan melindungi perusahaan kayu yang lainnya. Aksi ini menimbulkan ketakutan luar biasa bagi masyarakat sekitar. Apalagi pada tanggal 3 Mei pasukan tersebut menyerang penduduk sipil, 6 orang dinyatakan tewas.

Sementara itu, pada tanggal 21 April 2004 telah terjadi penghadangan terhadap aparat kepolisian yang mengawal uang ganti PT. Djayanti Group untuk warga Babo dari Kampung Meried ke Babo, Kabupaten Bintuni, Irian Jaya Barat. Uang Rp 150 juta rupiah dinilai tidak sepadan untuk mengganti hak ulayat seluas 250 hektar, padahal masyarakat menuntut ganti rugi sebesar Rp 300 juta. Akibat penghadangan itu, 2 orang penghadang tewas oleh aparat kepolisian.

Walaupun telah ada pelarangan illegal logging pada tahun 2001, aktivitas tersebut terus berlangsung. Banyak pelaku illegal logging tertangkap namun proses hukumnya terlihat mandeg. Berdasarkan siaran pers LBH Papua dan ELSHAM pada tanggal 2004, sepanjang 2001-2004 telah terjadi lima kasus illegal logging, namun kasus-kasus tersebut belum ditindaklanjuti pihak berwenang. Di antaranya:

1) Pada tahun 2001 terdapat 8 kasus ilegal loging dengan 8 pelaku yang semuanya warga Indonesia dengan kerugian negara 1.122 batang kayu olahan jenis merbau;

2) Pada tahun 2002 tendapat 7 kasus ilegal loging dengan pelaku 10 orang WNI dengan kerugiarkan negara 2145 batang kayu log jenis merbau, 34 unit alat berat serta 1000 M3 kayu olahan jenis merbau;

3) Pada tahun 2003 terdapat 2 kasus di Desa Mayado dan desa Barma Kecamatan Merdey Kabupaten Manokwari yang dilakukan oleh PT Arta Mas dan PT Trilyon Abadi Perkasa melibatkan 17 WNA asal Malaysia dan 3 WNI serta menggunakan 77 alat berat dan 840 batang kayu log jenis merbau yang saat ini masih disidangkan di Pengadilan Negeri Manokwari;

4) Pada bulan Januari 2004 pihak TNI AL telah menangkap kapal asing berbendera Vietnam yang mengangkut ribuan kubik kayu dari Sorong yang ditaksir kerugian negara sekitar 17 milyar namun kasus ini tidak jelas penyelesaiannya;

5) Pada Januari 2004 terdapat satu kasus di distrik Bintuni Kabupaten Teluk Bintuni yang dilakukan oleh PT.Marindo Utarma Jaya yang berkedudukan di Jakarta dengan direktur Yudi Firmansyah dan melibatkan 15 WNA asal Malaysia dengan menggunakan 117 unit alat berat, 3 tongkang, 4 unit tug boat dan 3 unit crane serta menghasilkan 10.000 batang kayu log.

3.3.7. LNG Tangguh: Potensi Konflik dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Sumber gas bumi yang kaya di Papua mengundang perusahaan asing yang besar untuk beroperasi di sana. Di antaranya adalah proyek LNG Tangguh yang dilaksanakan BP. Proyek ini akan mengambil gas bumi di Teluk Berau-Bintuni di bagian barat Papua. Sebagian besar ladangnya merupakan daerah lepas pantai, dan menyalurkannya melalui jalur pipa menuju pabrik di daratan. Rencananya proyek ini pada tahun 2006 sudah mulai mengeskpor gas bumi tersebut. Proyek LNG Tangguh ini akan menggunakan lahan seluas 3.000 hektar. Di areal itu akan terjadi pemindahan penduduk. Pada bulan Juli 2004, sekitar 101 KK dari 127 KK yang berada di Kampung Tanah Merah Lama (TML) Distrik Babo, Kabupaten Teluk Bintuni telah memilih untuk dipindahkan ke Kampung Tanah Merah Baru (TMB) dan 26 KK ke Kampung Onar.

Walaupun telah ada pendekatan yang sangat berbeda dengan Freeport, proyek ini akan berakibat sangat besar terhadap petani dan nelayan yang menghuni teluk, selain terhadap ekonomi dan masyarakat pedalaman, termasuk kota-kota Sorong, Manokwari, dan Fakfak. Pencemaran lingkungan akibat aktivitas LNG Tangguh merupakan ancaman utama bagi masyarakat Papua. Perselisihan-perselihan dengan masyarakat setempat dapat terjadi, terutama mengenai hak atas tanah yang dijadikan areal LNG Tangguh. Selain itu, ancaman juga datang dari aparat keamanan walaupun masyarakat telah secara tegas menolak kehadiran aparat keamanan di lokasi proyek.

3.3.8. Otonomi Khusus dan Kondisi Hak Asasi Manusia

Sejak 1 Januari 2002 secara resmi diberlakukan otonomi khusus (Otsus) bagi Papua, sejak itu pula nama Irian Jaya diganti dengan Papua. Namun, pemberlakuan Otsus ini belum disertai dengan perangkat peraturan perundang-undangan lainnya. Aktivitas pemprov pada tahun pertama disibukkan dengan sosialisasi dan edukasi UU Otsus Papua tersebut ke birokrasi di seluruh Papua sembari menyiapkan perangkat-perangkat pendukung, di antaranya MRP. Dalam tahun pertama, perangkat yang paling penting, yaitu Majelis Rakyat Papua, juga belum terbentuk akibat pemerintah pusat begitu lamban menyusun peraturan pemerintahnya. Di sisi lain, belum siapnya Otonomi Khusus, pemerintah pusat berencana untuk melaksanakan pemekaran Papua menjadi tiga Provinsi. Rencana tersebut telah menimbulkan pro-kontra di antara elit politik lokal dan masyarakat Papua. Masing-masing mendesak pemerintah untuk menjalankan pemekaran dan menghentikan pemekaran. Sampai tahun 2003, isu politik di Papua dipanaskan dengan pro-kontra pencabutan UU Nomor 45 Tahun 1999 dan Inpres nomor 1 tahun 2001 tentang pemekaran wilayah Papua.

Ketidaksiapan pemeritah daerah dan pro-kontra pemekaran Papua mengakibatkan kondisi Hak Asasi Manusia memburuk di dua ranah sekaligus. Praktik-praktik korupsi, eksploitasi Sumber Daya Alam untuk mengejar pendapatan daerah, kebijakan penataan kota, dan arus investasi yang dibuka lebar telah menambah persoalan bagi pemenuhan Hak Asasi Manusia di Papua. Konflik horizontal yang berujung pada kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia serta kondisi Hak ekosob yang belum tertangani yang menyebabkan peristiwa-peristiwa kelaparan, serangan dan wabah penyakit, gagal panen kerap terjadi di tahun-tahun berikutnya. Konflik yang terjadi akibat pro-kontra pemekaran adalah Peristiwa Timika yang terjadi pada tanggal 23 Agustus 2003. Pasca pendeklarasian propinsi Irian Jaya Tengah, telah berakibat 8 orang meninggal dunia, 112 orang luka-luka, aksi pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya serta beberapa individu mendapat teror dan intimidasi.

Di Papua setidaknya terdapat tiga wabah penyakit yang belum tertangani dengan baik, di antaranya adalah HIV/AIDS, Muntaber, dan TBC. Dalam kasus penyebaran HIV/AIDS, Provinsi Papua yang berpenduduk 2,3 juta jiwa dikategorikan siaga satu plus. Sampai Desember 2002, terdapat 1.263 kasus dari 724 1.263, terdiri dari 724 HIV dan 539 AIDS. Kasus besar di Merauke, yakni 527 kasus terdiri 307 AIDS dan 220 HIV. Pada bulan maret saja di Merauke terdapat lebih dari 600 kasus HIV/AIDS. Laju penyebaran virus ini hampir 95% ditularkan melalui hubungan seksual. Sementara itu, pada tahun 2003, data yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Papua sampai akhir Agustus 2003 terdapat 1018 kasus yang terdiri dari 382 AIDS dan 636 HIV.

Dalam kasus muntaber, di awal tahun 2004 diberitakan sebanyak 38 warga Distrik Borme, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, meninggal dunia akibat terserang diare. Kasus diare ini mewabah di 10 desa di Kecamatan Borme. Kesepuluh desa tersebut adalah Desa Sigipur, Arima, Orban, Taramlu, Nongge, Palur, Weime, Humharu, Werde, dan Desa Borme. Saat itu jumlah penderita diare sebanyak 1.857 orang, kasus terbesar terdapat di Desa Taramlu, yakni sekitar 270 orang. Sementara itu di tahun 2006 diberitakan pula sekitar 100 warga Kabupaten Jayawijaya dilaporkan meninggal dunia akibat muntah berak yang melanda daerah itu sepanjang 13 Maret-24 April 2006. Wabah ini menyerang sekitar 630 orang. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Jayawijaya, jumlah korban meninggal akibat wabah muntah berak (muntaber) sejak 13 Maret-23 April 2006 mencapai 90 orang.

Sementara korban meninggal di RSUD Wamena per 24 April 2006 sebanyak 10 orang sehingga total korban meninggal dunia sebanyak 100 orang. Kebanyakan para korban berasal dari Kota Wamena dan distrik di sekitar Wamena. Wabah muntaber ini terus menyebar ke beberapa wilayah di Kabupaten Jayawijaya, tercatat 9 distrik terserang, diantaranya Kurulu, Hom-Hom, Musatfak, Wamena, Pugima, Assolokobal, Bolakme, Asologaima, dan Hubikosi. Korban terus meningkat hingga pada akhir April 2006 tercatat total korban mencapai 2.090 orang dan 141 orang meninggal dunia. Sementara itu, terdapat juga penyakit TBC yang belum tertangani di Papua. Tercatat setidaknya sebanyak 200 orang lebih di Pegunungan Bintang menderita. Ancaman lainnya adalah gizi buruk dan kelaparan. Pada tahun 2003 tercatat sekitar Sekitar 27,3 persen balita masih menderita kekurangan gizi.

Ancaman kelaparan terus menghantui Papua, pada tahun 2000 telah terjadi kelaparan di Bonggo, sebelah timur Jayapura, yang mengakibatkan 17 Transmigran mati kelaparan. Sebagian besar disebabkan kekurangan makan dan kondisi hidup yang sangat buruk. Pada tahun 2006 kelaparan terjadi di Yahukimo.

3.4. Proses Pengadilan HAM di Papua

Kasus pelanggaran HAM di Papua dinilai tidak jelas dan banyak pelaku kasus pelanggaran HAM Papua tidak terungkap, sehingga dibutuhkan adanya Pengadilan HAM di Papua, namun ironisnya hingga sekarang ini belum ada pengadilan yang mampu memecahkan permasalahan HAM yang terjadi di daerah tersebut.

Salah satu kasus pelanggaran HAM di Papua yang sampai saat ini masih belum jelas adalah Kasus Abepura. Kasus yang terjadi pada tahun 2005 ini masih belum menemui titik terang. Berbagai pihak yang merasa simpati, seperti Solidaritas Nasional Untuk Kasus Abepura. Lembaga ini adalah gabungan dari lembaga-lembaga yang ada dan peduli terhadap permasalahan penegakan HAM di Papua, seperti LBH Papua, ALDP, SKP Keuskupan Jayapura, JPIC Sinode GKI, KONTRAS Papua, ELSHAM Papua, Dewan Adat Papua, LPDAP, STT GKI, STFT Fajar Timur, AMPTPI, AMP, HMI Jayapura, PMKRI Jayapura, GMKI Jayapura, Parlemen Jalanan, Tim Kemanusiaan Papua, Komunitas Survivor Abepura, Solidaritas Perempuan Papua, LP3A-P, IMM Jayapura, Front Pembebasan Penindasan Papua, Asrama Ninmin, FNMP, DEMMAK.

Dukungan penuntasan kasus pelanggaran HAM di Papua ini tidak hanya datang dari LSM lokal saja, bahkan LSM internasional pun ikut peduli terhadap kasus yang terjadi tanah Papua. Bahkan Franciscans International, LSM Internasional yang bermarkas di Jenewa, Swis, telah melayangkan surat kepada Leandro Despouy, Pelapor Khusus PBB tentang Kemandirian Hakim dan Pengacara. Dalam surat tertanggal April 2004, kedua lembaga meminta agar pertama, beliau mendesak Pemerintah Indonesia agar menjamin supaya persidangan berjalan dengan adil, tidak memihak, dan memenuhi kriteria pengadilan HAM internasional; kedua, memantau dari dekat jalannya persidangan; dan ketiga, melaporkan segala perkembangan kepada prosedur khusus PBB yang terkait.

LSM-LSM internasional lainya, seperti Amnesty International, Human Rights Watch, yang terus memantau kasus ini sejak awal tidak ketinggalan langkah. Dalam pernyataan pers Amnesty International pada 7 Mei 2004 di London (Inggris) ini mendesak Pemerintah Indonesia supaya menjamin terselenggaranya pengadilan HAM yang adil, jujur, dan memenuhi standar pengadilan HAM internasional (http://keadilandipapuaindonesia.blogspot.com/).

Apa yang dilakukan beberapa lembaga sosial yang merasa simpati terhadap kondisi HAM di Papua ini pada dasarnya adalah menuntut ketegasan dari pemerintah Indonesia agar bertindak dan tidak menutup mata terhadap banyaknya kasus pelanggaran HAM terutama oleh pihak militer yang terjadi di bumi Papua.


BAB 4

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Keadaan Papua dengan status Otonomi Khusus dari pemerintah tidak demikian menjadikan Papua aman damai serta tentram. Justru di balik itu semua timbul berbagai macam konflik serta pelanggaran-pelanggaran HAM. Hal tersebut terjadi karena memang Papua belum siap untuk diberikan hak Otonomi Khusus untuk mengurus wilayahnya sendiri. Banyaknya potensi Sumber Daya Alam tidak sesuai dengan Sumber Daya Manusia yang dimiliki. Pelanggaran serta banyaknya kasus di Papua sendiri menjadikan Papua suatu daerah yang rawan konflik dan masih sulit menyelesaikannya di ranah hukum.

Wilayah Papua perlu penenganan yang lebih serius lagi dari pemerintah agar dapat tetap menjadi bagian dari Indonesia serta kekayaan alamnya pun dapat dimanfaatkan oleh warga masyarakat Papua sendiri. Penyelesaian dalam pelanggaran HAM juga perlu diperhatikan oleh pemerintah agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan.

Penyelesaian yang berlarut-larut akan menjadikan wilayah Papua semakin tidak stabil maka gerakan separatis seperti OPM semakain kuat ingin memisahkan diri dari wilayah Republik Indonesia ini. Peran pemerintah sangatlah penting untuk kembali menstabilkan keadaan di Papua agar masyarakatnya dapat hidup nyaman aman tentram tentunya dengan Sumber Daya Alam yang mereka nikmati sendiri dan tidak dieksploitasi oleh negara lain.

DAFTAR PUSTAKA

Alim, M. (2001). Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstiitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta: UII Press.

Amiruddin, (1999). Mengenai TNI sebagai organisasi politik, “Dwifungsi ABRI: Perspektif Sejarah dan Masa Depannya.” Dalam Diponegoro 74: Jurnal HAM dan Demokrasi, YLBHI, III/07/1999. hal. 21-28. Jakarta: YLBHI.

Anari, J. (2008). Analisis Penyebab Konflik Papua. Papua Barat: Organisasi Pribumi Papua Barat (OPPB).

Bahar, S. (1997). Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Budiardjo, M. (2010). Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Elson, R. E. (2008). The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Genschel, D. (2002). Makalah berjudul “Tempat dan Peran Militer Dalam Masyarakat Sipil Yang Demokratis. Pengalaman Reformasi Militer Jerman”

Hardin, R. (1999) “Do We Want Trust In Government?” Dalam Democracy and Trust, edited by Mark E. Warren. New York: Cambrigde University press.

Huntington, S. P. (1989). Democratization In The Late Twentieth Century. (Gelombang Demokratisasi Ketiga : terjemahan oleh Asril Marjohan 2001). Jakarta: Grafiti.

KOMNAS HAM. (1998). Membangun Jaringan Kerjasama Hak Asasi Manusia. Jakarta: KOMNAS HAM.

Kontras. (2005). Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia Catatan KontraS Paska Perubahan Rezim 1998. Jakarta: KontraS.

Muzaffar, C. (1995). Hak Asasi Manusia dalam Tata Dunia Baru (Menggugat Dominasi Global Barat). Bandung: Mizan.

Undang-Undang RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Widjojo, M. S. et al. (2010). Papua Road Map Negotiating The Past, Improving The Present, and Securing The Future. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sumber Internet

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan United Nations Development Project (UNDP. (2004). The Economics of Democracy; Financing Human Development in Indonesia [Online]. Tersedia: http://www.bps.go.id/. [1 Oktober 2010].

Fauzi, M. L. (2007). Konsep Hak Asasi Manusia. [Online]. Tersedia: http://mlatiffauzi.wordpress.com/. [04 Oktober 2010].

Haluk, M. (2010). Gambaran Umum Kondisi Ham Pasca Otonomi Khusus Di Tanah Papua [Online]. Tersedia: http://www.wartapapuabarat.org/. [1 Oktober 2010].

Kafiar, A. (2009, September 8). Memaknai Manfaat Otonomi Khusus Papua bagi Penduduk Asli. Suara Pembaruan [Online]. Tersedia: http://www.suarapembaruan.com/. [1 Oktober 2010].

Karim, Y. (2010, 16 Juni). Bom Waktu Konflik Papua. Papua Barat News [Online]. Tersedia: http://www.papuabaratnews.com/. [1 Oktober 2010].

Komariah, S. (2009). Otonomi Khusus dan Percepatan Pembangunan di Tanah Papua [Online]. Tersedia: http://www.setneg.go.id/. [1 Oktober 2010].

Lembaga Studi & Advokasi Indonesia. (2009). Catatan Kondisi Hak Asasi Manusia di Papua [Onlne]. Tersedia: http://www.elsam.or.id/. [1 Oktober 2010].

Memburu Keadilan di Papua Indonesia [Online]. Tersedia: http://keadilandipapuaindonesia.blogspot.com/. [5 Oktober 2010].

Suwandi, M. (2002). Pokok_Pokok Pikiran Konsepsi Dasar Otonomi Derah Indonesia (dalam Upaya Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang Demokratis dan Efisien). [Online]. Tersedia: http://www.indonesia-ottawa.org/. [04 Oktober 2010].

Tim Lesperssi. (2008). Konflik Domestik Pasca Soeharto [Online]. Tersedia: http://lesperssi.org/. [1 Oktober 2010].

Universitas Paramadina. (2010). Diskusi Masalah Konflik Papua [Online]. Tersedia: http://www.paramadina.ac.id/. [1 Oktober 2010].

Wikipedia. (___). Hak Asasi Manusia. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/. [04 Oktober 2010].

Wikipedia. (___). Otonomi Khusus. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/. [04 Oktober 2010].

Wikipedia. (___). Otonomi Khusus Papua [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/. [04 Oktober 2010].

Wikipedia. . (___). Konflik Papua [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/. [1 Oktober 2010].

_____. (2006). Pengertian, Macam, dan Jenis Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berlaku Umum-Global Pelajaran Ilmu PPKN/SMP Indonesia. [Online]. Tersedia: http://organisasi.org/. [04 Oktober 2010].

_____. (2009). Tugas Kuliah Tentang Otonomi Daerah. [Online]. Tersedia: http://tutorialkuliah.blogspot.com/. [04 Oktober 2010].

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar